Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apa pula itu? Bagaimana mengejanya: [caino] atau [chino]? Kata wong berasal dari bahasa Jawa, maknanya ’orang’, lalu kata chino dari bahasa Jawa jugakah? Tapi, sejak kapan kata chino muncul? Belakangan ini sebuah harian terkenal Indonesia memang mengeja China dan bukan Cina.
Agaknya tidak terlalu sulit mene-laah terbentuknya kata itu. Agaknya, sebagian media cetak dan elektronik menghindari kata cina, lalu diganti dengan china, tionghoa, dan tiongkok. Dua kata terakhir sudah lama muncul di Indonesia. Masih ingatkah para pembaca bahwa di zaman Presiden Soekarno ada Kedutaan Besar Republik Rakyat Tiongkok, di zaman Presiden Soeharto kedua kata itu harus diganti dengan cina? Di zaman Reformasi ini, cina, china, tionghoa, dan tiongkok muncul bersama-sama. Namun ada sebagian orang dari golongan tertentu tidak menyukai istilah cina dengan alasan kata itu bersifat menghina, kasar, serta bermakna negatif. Mereka menghendaki digunakan kata asing china (bahasa Inggris), di samping tionghoa dan tiongkok.
Pemakaian kata asing china dalam berbahasa Indonesia, baik lisan maupun tulis, tampaknya semakin meluas—digunakan oleh golongan yang tidak menyukainya atau oleh orang-orang yang merasa dirinya ”wajib” menghormati keinginan tersebut. Padahal banyak para ”keturunan” Cina yang tidak tersinggung ketika mendengar atau menggunakan kata cina. Di antara para ahli atau pemerhati bahasa, ada yang selalu berusaha menjadikan kata serapan sebagai milik sendiri. Namun, mengapa kata china, yang jelas merupakan kata asing, digunakan dalam bahasa Indonesia, tanpa ada rasa bersalah sedikit pun?
Di satu pihak kesadaran berbahasa Indonesia kita ”sangat tinggi”—semua kata serapan hendaknya diterima sepenuhnya dalam bahasa Indonesia tanpa memperhatikan kaidah yang ada; di lain pihak justru kesa-daran itu sangat rendah. Dengan sadar orang-orang tertentu menggunakan kata asing yang ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Lalu timbul pertanyaan, di mana kesetiaan kita sebagai bangsa Indonesia menjunjung tinggi bahasa Indonesia?
Frase wong Chino sebenarnya berbunyi wong cino dalam bahasa Jawa. Karena menghindari kata cino, atas dasar analogi cina menjadi china, jadilah cino menjadi chino. Jadi chino diciptakan karena menghindari cino. Padahal gabungan c dan h tidak ada dalam bahasa Jawa. Para penciptanya mengira kata cina berasal dari bahasa Inggris, china, sehingga cino juga diinggriskan menjadi chino. Bukankah ini memperlihatkan tingkat intelektualitas dan penalaran penciptanya?
Yang perlu dipertanyakan, mengapa hanya dalam bahasa Indonesia kata cina dianggap menghina, sedangkan bila menggunakan kata china (lafal dan ejaan bahasa Inggris) tidak menghina? Di mana letak kekuatan magis kata china dalam bahasa Inggris itu?
Lalu mengapa kata cina sangat dihindari? Apa makna inheren kata itu jelek dan negatif? Kata cina tidak berasal dari bahasa-bahasa di negara Cina, melainkan dari bahasa Sanskerta, chîna, yang berarti ’daerah pinggiran’. Ensiklopedia Zhongguo Baike Da cidian menyebut pada awalnya kata itu digunakan untuk menyebut nama suku-suku di sebelah utara Pegunungan Himalaya. Kemudian digunakan untuk menyebut negara Zhongguo, yang dalam bahasa Hokkian berbunyi Tiongkok dan dalam bahasa Inggris berbunyi China.
Kong Yuanzhi, seorang dosen dan peneliti budaya dari Peking University, dalam bukunya, Yindunixiya Malaixiya Tanxi (Analisis Kebudayaan Indonesia dan Malaysia) (2000: 300), mengutip kalimat dari Kitab Kumpulan Terjemahan Nama-nama (Fanyi Mingyiji, bahwa kata cina digunakan untuk menamakan negara yang berbudaya. Inilah makna asli kata cina.
Kata itu dalam bahasa Sanskerta berbunyi chîna, lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Mandarin menjadi zhina. Kata zhina ini tidak digunakan oleh orang RRT dalam berkomunikasi. Untuk menyebut dirinya se-bagai bangsa, mereka menggunakan Zhongguo ren atau Hua ren.
Kata chîna lalu masuk ke Indonesia tidak melalui bahasa Belanda atau Inggris. Di dalam kitab Mahabarata yang hadir di Indonesia sebelum orang Barat ke Nusantara, kata itu sudah tertera. Selain itu, kata cina tertera dalam Hikayat Hang Tuah dan Catatan Malaya pada abad ke-17, seperti kata Kong Yuanzhi.
Bagi mereka yang tidak menghendaki penggunaan kata cina, tolong pikirkan juga. Bagaimana dengan nama tempat Pondok Cina, haruskah diubah menjadi Pondok China; petai cina menjadi petai china, tahu cina menjadi tahu china, Bidara Cina menjadi Bidara China, pecinan menjadi pechinaan/petiongkokan/petionghoaan atau petai tionghoa, tahu tiongkok? Yang patut disadari, apakah pengubahan kata cina menjadi china/tiongkok/tionghoa serta-merta menghilangkan makna negatif yang katanya melekat pada kata cina itu? Apakah kata china/tionghoa dan tiongkok tidak dapat digunakan untuk memaki? Kalau berurusan dengan maki-memaki, semua kata dapat dibuat menjadi baik atau buruk, bergantung pada cara kita memperlakukan kawan bicara serta intonasi kalimat.
Kata cina dalam bahasa Melayu menyebar ke bahasa-bahasa daerah di Nusantara. Dalam bahasa Melayu Palembang dan bahasa Jawa, kata itu mengalami penyesuaian menjadi cino. Nah, kata cino inilah dalam harian Ibu Kota tersebut diubah menjadi chino. Bagaimana pendapat pembaca sekalian tentang hal itu?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo