Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sebanyak enam lembaga think-tank yang tergabung di dalam Energy Transition Policy Development Forum kompak menilai bahwa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto membutuhkan komitmen kuat untuk menciptakan transisi energi yang adil dan berkeadilan. Tak sekadar transisi, tapi juga percepatannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam diskusi hari ini, Kamis 24 Oktober 2024, keenamnya yang terdiri dari Climateworks Centre, Centre for Policy Development (CPD), Institute for Essential Services Reform (IESR), Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID), International Institute for Sustainable Development (IISD), dan Purnomo Yusgiantoro Center (PYC) kemudian menyampaikan sembilan poin rekomendasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rekomendasi ini mencakup reformasi subsidi energi, pemisahan peran regulator dan operator, peningkatan kapasitas energi terbarukan dan investasi, serta pertimbangan aspek sosial untuk memastikan transisi energi yang adil dan inklusif.
Direktur Indonesia Climateworks Centre, Guntur Sutiyono, mengatakan pemerintahan baru harus memprioritaskan masalah ketahanan energi dan pemanfaatan energi bersih untuk mencapai kemandirian energi dan memerangi krisis iklim. “Dalam lima tahun ke depan, percepatan transisi energi bersih akan sangat penting untuk mencapai target emisi nol bersih dan mendukung pertumbuhan ekonomi nasional yang berkelanjutan,” kata Guntur dalam diskusi media di Purnomo Yusgiantoro Center, Jakarta Selatan, tersebut.
Manajer Program Transformasi Sistem Energi dari IESR, Deon Arinaldo, menekankan pentingnya mengintegrasikan strategi pembangunan ekonomi dengan akselerasi transisi energi. “Pemerintah Indonesia perlu merombak kerangka aturan agar mendukung pengembangan energi terbarukan serta pengakhiran operasi PLTU batu bara,” tuturnya.
Sedangkan Direktur Eksekutif IRID, Kuki Soejahmoen, menegaskan Indonesia perlu memperkuat komitmennya dalam mencapai target global emisi nol bersih. Dia juga menilai Indonesia perlu melipatgandakan kapasitas energi terbarukan dan efisiensi energi untuk memenuhi target tersebut.
“Saat ini Indonesia belum tegas terkait kontribusinya terhadap tujuan iklim global, seperti melipatgandakan hingga tiga kali lipat kapasitas energi terbarukan sekaligus melipatgandakan kapasitas efisiensi energi,” katanya.
Berdasarkan data terbaru, porsi energi baru terbarukan (EBT) dalam realisasi transisi energi di Indonesia sebesar 13,93 persen hingga kuartal kedua 2024. Target hingga akhir tahun adalah 17,9 – 19,5 persen.
Untuk itu, kata Kuki, upaya percepatan transisi energi bersih di pemerintahan Presiden Prabowo lima tahun ke depan menjadi salah satu kunci keberhasilan dalam mencapai target tersebut. “Tidak hanya untuk mencapai target emisi nol bersih tetapi juga untuk mendukung keberlanjutan pertumbuhan ekonomi nasional,” ujarnya.
Sementara itu, Filda Yusgiantoro dari PYC menyoroti peran Dewan Energi Nasional yang krusial di lanskap energi Indonesia. “DEN sebagai pusat koordinasi perlu memastikan bahwa seluruh sektor dan kementerian menjalankan kebijakan energi yang selaras dengan visi ketahanan energi nasional secara transparan dan akuntabel,” ujarnya.
Menurut dia, reformasi kebijakan dan penguatan kapasitas kelembagaan tingkat daerah juga perlu dilakukan. Termasuk di dalamnya adalah peningkatan pemahaman, peraturan dalam bentuk dinas energi khusus di tingkat kota/kabupaten, serta memperkuat peran Bappeda.
Ruddy Gobel dari CPD menyoroti pentingnya kebijakan transisi energi yang berbasis aspek manusia dan mengedepankan partisipasi masyarakat lokal. “Untuk setiap tahap kebijakan transisi energi perlu menggunakan kerangka transisi energi yang berbasis aspek manusia sebagai tema utama," kata dia.
Pilihan Editor: Unpam Gratiskan Mahasiswa Difabel, 82 Masih Kuliah Aktif