Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengungkap 46 kasus kematian gajah di Aceh dalam kurun 2015-2021. Perburuan liar dan konflik dengan manusia menjadi pemicu tingginya angka kematian satwa dilindungi di wilayah tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebanyak 46 kasus itu dicatat dari 528 kasus konflik gajah dengan manusia di Aceh sepanjang periode tujuh tahun tersebut. Tingginya konflik disebabkan maraknya kasus perambahan hutan, alih fungsi hutan dan praktik penebangan liar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Ini harus menjadi perhatian. Kasus-kasus perburuan liar, juga jadi risiko tinggi akan menyusutnya jumlah satwa kunci di Aceh," kata Kepala Balai Penegakan Hukum KLHK Wilayah Sumatera, Subhan, di Banda Aceh, Kamis 12 Agustus 2021.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh, A. Hanan, mengatakan penyebab kematian gajah di wilayahnya didominasi konflik satwa mamalia besar itu dengan masyarakat, yakni 57 persen. "Sementara 10 persen akibat perburuan dan 33 persen mati secara alami," katanya.
Menurut dia, untuk mencegah agar konflik tidak berkelanjutan, penting untuk menciptakan penataan ruang dengan mempertimbangkan habitat satwa di Aceh. "Pembinaan padang rumput, penanaman dan pemeliharaan pohon pelindung, pembuatan fasilitas air minum, tempat berkubang dan mandi satwa, penjarangan jenis," katanya.
Untuk faktor perburuan, penyidik di Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Aceh, Wahyudi, mengatakan sepanjang 2019 sudah ada penanganan sembilan kasus dengan penetapan 17 tersangka. Pada 2020, ada tujuh kasus dengan empat tersangka. Sedang sepanjang tahun ini sudah diusut dua kasus dengan dua tersangka.
“Ini kasusnya perburuan orang utan dan gajah mati tanpa kepala di Aceh Timur," kata Wahyudi menerangkan dua kasus terbaru.
Terpisah, penggiat lingkungan hidup yang tergabung dalam Konsorsium Bentang Alam Seblat, Bengkulu, berunjuk rasa membentangkan spanduk raksasa berisi pesan penyelamatan populasi Gajah Sumatera dari ancaman aktivitas tambang batu bara. Aksi untuk memperingati Hari Gajah Sedunia tahun ini (12 Agustus) tersebut dilakukan di kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Seblat di Kabupaten Bengkulu Utara, Jumat 13 Agustus 2021.
Tiga pawang dan gajahnya saat terlibat unjuk rasa memperingati Hari Gajah Sedunia setiap 12 Agustus di PLG Seblat, Kabupaten Bengkulu Utara, Bengkulu, Jumat 13 Agustus 2021. Mereka membentangkan spanduk sebagai bentuk protes terhadap keberadaan tambang batu bara yang dianggap mengancam habitat Gajah Sumatera di kawasan Bentang Alam Sebelat. (Foto ANTARA/Carminanda)
Spanduk bertuliskan "Coal Kill Elephant, Seblat Landscape for Future" dibentangkan penggiat lingkungan bersama pawang gajah yang hadir dengan tiga ekor Gajah Sumatera. Mereka menyebut keberadaan tambang batu bara menjadi ancaman nyata bagi habitat Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) di provinsi tersebut.
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil patroli rutin yang dilakukan dalam dua tahun terakhir ditemukan fakta jika habitat gajah di kawasan itu terus beralih fungsi dan terjadi penyempitan. Parahnya lagi, dalam kurun dua tahun terakhir telah ditemukan empat bangkai Gajah Sumatera dalam keadaan membusuk di dalam hutan. Temuan ini diduga erat kaitannya dengan terus menyempitnya habitat gajah.