Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Akibat Nikel Di Soroako

Perusahaan tambang nikel soroako menimbulkan banyak perubahan kehidupan penduduk setempat dan polusi udara. pihak pengusaha telah berusaha menanggulanginya juga polusi di laut bone.(ling)

27 November 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SULAWESI lama dikenal sebagai "pulau kopra". Narnun belakangan ini, debu dan deru traktor, bulldozer dan truk-truk pengangkut tanah dan peralatan pabrik sedang menambah julukan pulau itu menjadi "pulau nikel". Paling tidak, julukan itu sudah dapat berlaku bagi jazirah tenggara, mulai dari daerah sekitar danau-danau Matana-Mahalona-Towuti di kaki pegunungan Verbeek sampai Pomalaa di tumit Sulawesi Tenggara. Di jazirah itu, PN Aneka Tambang dan anak perusahaan Kanada, Inco (International Nekel Company) sedang menguliti bumi untuk menambang tanan nikel (saprolite) yang tersembunyi dibawahnya. Sebenarnya, bukan cuma jazirah tenggara itu saja yang kaya nikel. Tapi juga jazirah timur laut di sebelah utara pegunungan Verbeek. Sebab sesungguhnya, menurut ahli geologi Prof. Katili, seluruh busur timur pulau Sulawesi yang bentuknya seperti huruf 'K' itu kaya endapan besi dan nikel. Kata ahli geologi ini, busur timur pulau Sulawesi itu dulunya merupakan pulau yang terpisah dari busur barat, dan terbentuk dari kerak samudera (oceanic crust) Pasifik yang memang kaya mineral besi dan nikel yang berasal dari kerak bumi sendiri. Dengan kata lain, busur barat dan busur timur Sulawesi itu dulunya dua pulau yang terpisah, yang kemudian berbenturan dan menyatu akibat interaksi lempeng samudera Pasifik dengan lempeng benua Indo-Australia dan lempeng benua Eurasia. Asal-usul geologis yang berbeda itu menyebabkan busur barat yang terbujur dari Manado sampai Ujungpandang itu miskin mineral kerak bumi, tapi vulkanis. Karenanya ia kaya mineral hasil muntahan gunung berapi. Tanahnya lebih subur dari pada busur timur. Di ketiak busur timur yang kaya nikel itu, bertebaran danau Matana, Mahalona dan Towuti yang dapat disebut 'jantung' kegiatan pertambangan nikel Inco yang berbasis di Soroako dengan luas konsesi 300.000 Ha. Desa yang terletak di pesisir selatan danau Matana ini, dalam 5 tahun terakhir telah berkembang menjadi kota tambang yang modern dengan penghuni 8.500 orang, yang diterangi oleh listrik PLTU Soroako yang memasak air danau Matana. Danau Matana itu adalah danau terdalam No.2 di dunia: 625 meter. Begitu dalamnya danau ini, sampai-sampai dasarnya terletak lebih dari 200 meter di bawah muka laut. Sebab tinggi daratan Soroako sendiri 400 meter di atas muka laut dengan kelembaban seperti kota Bogor (curah hujan sekitar 2000 mm/tahun). Melalui sebuah sungai kecil, air danau Matana mengalir masuk ke tetangganya di selatan, danau Mahalona, yang jauh lebih kecil. Dari situ air mengalir lewat sungai kecil lagi ke danau Towuti yang terbesar di antara ketiga danau purba itu, tapi jauh lebih dangkal dari pada Matana. Nah, dari Towuti air tawar itu mengalir ke laut melalui sungai Larona yang kini sedang dibelokkan alirannya sepanjang 7 Km horisontal untuk dihempaskan dari ketinggian 150 meter kembali ke palung sungai Larona, setelah menggerakkan turbin-turbin PLTA (Pusat Listrik Tenaga Air) yang berkekuatan 3 x 55 Mega Watt. Setelah PLTA yang sedang dibangun itu rampung bulan Desember 1977, PLTU (Pusat Listrik Tenaga Uap) Soroako akan dipensiunkan. Di beberapa tempat sekitar Soroako bijih nikel itu sudah dapat dikeruk langsung dari muka bumi. Setelah hutan belukarnya dipangkas, tentunya. Namun umumnya, lapisan saprolite itu tertutup oleh lapisan tanah geothite yang kaya bijih besi di muka bumi dan lapisan limonite yang mengandung sedikit- nikel dan banyak mineral lain di antaranya. Seluruh lapisan tanah yang miskin nikel setebal 0 s/d 12 meter itu harus dikupas dulu dari bukit-bukit di sekitar Soroako ibarat mengupas kentang atau apel. Tanah yang dikeruk dengan bulldozer dari puncak ke kaki bukit itu, sebagian dimanfaatkan untuk membuat fundasi jalan. Sebagian lagi sekedar ditimbun di cekungan-cekungan di mana air hujan diharapkan tidak akan menyeretnya ke sungai atau danau. Dikeringkan Kelak, setelah tanah berkadar nikel itu sudah dikelupas semua dari bukit-bukit itu, tanah penutup itu akan dipakai untuk menyelimuti kembali bukit-bukit gundul yang bakal dihijaukan kembali dengan rumput atau pepohonan. Dari tambang-tambang terbuka itu, bijih nikelnya disaring di stasiun penapis (upgrading station) dan di pabrik, sehingga diperoleh butir-butir berpenampang kurang dari 2 inci tapi paling tinggi kadar nikelnya. Bahan inilah yang kemudian dikeringkan, dipisahkan kotorannya kemudian disenyawakan dengan belerang menjadi pasir nickel matte dengan 75% nikel dan 25% belerang. Tahun 1978, setelah pabrik nikel Soroako itu mencapai kapasitas penuh, pabrik itu akan menelan 3 x 7000 ton tanah nikel basah dan mengeluarkan 3 x 72 ton nickel matte sehari. Bayangkan saja berapa banyak tanah penutup dan bijih nikel berpenampang lebih dari 2 inci yang dipisahkan! Pekerjaan raksasa ini tentunya mengakibatkan perusakan dan pengotoran lingkungan yang luar biasa. Karena itu dengan mengambil oper standar lingkungan Amerika Utara, para ahli Inco pagi-pagi sudah mulai menyelidiki besarnya gangguan tata-lingkungan itu sambil menyiapkan upaya penanggulangannya. Maklumlah Indonesia sendiri belum punya standar yang resmi. Sumber polusi dan gangguan ekologis itu ada macam-macam: # kegiatan eksplorasi: sejak 1969 telah dibor 17 ribu lubang dengan kedalaman sampai 200 ribu meter 1800 sumur, 11 parit besar dan 227 parit kecil. Sumur-sumur dan lubang-lubang percobaan itu untuk sementara dipagar dan beberapa daerah percobaan ditutup guna mencegah kecelakaan. # debu jalan raya: antara Malili, Soroako dan Larona sudah dibangun 25 Km jalan baru dan akan ditambah lagi 17 Km jalan tahun depan. Karena tidak diaspal, jalan yang lebarnya sampai 17 meter dan mampu menanggung beban truk 45 ton itu merupakan sumber debu yang kontinyu. Untung curah hujan yang tinggi di daerah itu membantu membasuh debu jalan itu, sehingga gangguan pernafasan dapat dikurangi. # konstruksi dan penambangan: pembabatan hutan dan pengupasan kulit bumi sampai setebal 14 meter itu, sudah terang merupakan gangguan yang utama. Di sana-sini sudah dilaporkan aliran sungai yang terganggu, sehingga penduduk harus belajar menggali sumurnya sendiri. Tidak kalah drastisnya adalah pembelokan-aliran sungai Larona melalui kanal-kanal horisontal sepanjang 7 Km itu. Memang, sepanjang hulu sungai tidak kelihatan perkampungan penduduk. Namun tak ayal para insinyur Inco telah merancang pintu air di kaki dam yang menghubungkan kanal dengan danau Towuti sehingga sebagian air danau tetap dapat mengalir membasahi palung sungai yang asli. Sekaligus sebagai pencegah banjir. # pabrik nikel: debu dan ampas padat ditampung kembali untuk diperas sisa nikelnya sedapat mungkin. Polusi benda cair juga tidak langsung diizinkan kembali ke sungai atau danau. Tapi yang lebih menyolok adalah polusi gas, baik asap dari PLTU Soroako -- yang akan pensiun tahun 1978 -- maupun oksida belerang (S02) yang bakal keluar dari cerobong pabrik setinggi 200 meter kalau pabrik itu mulai bekerja tahun depan. Makanya tiga stasiun monitor sulfur sedang dibangun di sekitar pabrik. Sementara dokter-dokter Hyperkes Hygiene Perusahaan & Keselamatan Kerja) dari Ujungpandang dan Jakarta sedang meneliti ada-tidaknya efek gangguan lingkungan itu terhadap kesehatan karyawan Inco dan masyarakat sekitarnya. # polusi manusia dari kampung Soroako asli (Desa Nikel) yang penduduknya kini sudah 4500 jiwa, ke danau Matana. Untuk memecahkan kepadatan penduduk Desa Nikel yang tumbuh spontan itu, Inco telah membangun dua perkampungan baru di Wasuponda dan Wawandula. Baik Soroako maupun kedua perkampungan baru itu terletak di kecamatan Nuha. Mungkin yang perlu juga mendapat perhatian, meski belum disoroti manajemen Inco sekarang ini, adalah polusi laut di Teluk Bone. Khususnya di sekitar terminal minyak Tanjung Mangkasa dan pelabuhan Balantang dekat Malili, 60 Km dari Soroako. Soalnya, ikan-ikan dari perairan itu merupakan sumber protein bagi sebagian besar penduduk kecamatan Nuha dan kecamatan Malili. Setelah ekspor nikel dimulai tahun depan, kesibukan bongkar muat di situ bakal tambah ramai begitu pula polusinya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus