SULAWESI lama dikenal sebagai "pulau kopra". Narnun belakangan
ini, debu dan deru traktor, bulldozer dan truk-truk pengangkut
tanah dan peralatan pabrik sedang menambah julukan pulau itu
menjadi "pulau nikel". Paling tidak, julukan itu sudah dapat
berlaku bagi jazirah tenggara, mulai dari daerah sekitar
danau-danau Matana-Mahalona-Towuti di kaki pegunungan Verbeek
sampai Pomalaa di tumit Sulawesi Tenggara. Di jazirah itu, PN
Aneka Tambang dan anak perusahaan Kanada, Inco (International
Nekel Company) sedang menguliti bumi untuk menambang tanan nikel
(saprolite) yang tersembunyi dibawahnya.
Sebenarnya, bukan cuma jazirah tenggara itu saja yang kaya
nikel. Tapi juga jazirah timur laut di sebelah utara pegunungan
Verbeek. Sebab sesungguhnya, menurut ahli geologi Prof. Katili,
seluruh busur timur pulau Sulawesi yang bentuknya seperti huruf
'K' itu kaya endapan besi dan nikel. Kata ahli geologi ini,
busur timur pulau Sulawesi itu dulunya merupakan pulau yang
terpisah dari busur barat, dan terbentuk dari kerak samudera
(oceanic crust) Pasifik yang memang kaya mineral besi dan nikel
yang berasal dari kerak bumi sendiri.
Dengan kata lain, busur barat dan busur timur Sulawesi itu
dulunya dua pulau yang terpisah, yang kemudian berbenturan dan
menyatu akibat interaksi lempeng samudera Pasifik dengan lempeng
benua Indo-Australia dan lempeng benua Eurasia. Asal-usul
geologis yang berbeda itu menyebabkan busur barat yang terbujur
dari Manado sampai Ujungpandang itu miskin mineral kerak bumi,
tapi vulkanis. Karenanya ia kaya mineral hasil muntahan gunung
berapi. Tanahnya lebih subur dari pada busur timur.
Di ketiak busur timur yang kaya nikel itu, bertebaran danau
Matana, Mahalona dan Towuti yang dapat disebut 'jantung'
kegiatan pertambangan nikel Inco yang berbasis di Soroako dengan
luas konsesi 300.000 Ha. Desa yang terletak di pesisir selatan
danau Matana ini, dalam 5 tahun terakhir telah berkembang
menjadi kota tambang yang modern dengan penghuni 8.500 orang,
yang diterangi oleh listrik PLTU Soroako yang memasak air danau
Matana. Danau Matana itu adalah danau terdalam No.2 di dunia:
625 meter. Begitu dalamnya danau ini, sampai-sampai dasarnya
terletak lebih dari 200 meter di bawah muka laut. Sebab tinggi
daratan Soroako sendiri 400 meter di atas muka laut dengan
kelembaban seperti kota Bogor (curah hujan sekitar 2000
mm/tahun).
Melalui sebuah sungai kecil, air danau Matana mengalir masuk ke
tetangganya di selatan, danau Mahalona, yang jauh lebih kecil.
Dari situ air mengalir lewat sungai kecil lagi ke danau Towuti
yang terbesar di antara ketiga danau purba itu, tapi jauh lebih
dangkal dari pada Matana.
Nah, dari Towuti air tawar itu mengalir ke laut melalui sungai
Larona yang kini sedang dibelokkan alirannya sepanjang 7 Km
horisontal untuk dihempaskan dari ketinggian 150 meter kembali
ke palung sungai Larona, setelah menggerakkan turbin-turbin PLTA
(Pusat Listrik Tenaga Air) yang berkekuatan 3 x 55 Mega Watt.
Setelah PLTA yang sedang dibangun itu rampung bulan Desember
1977, PLTU (Pusat Listrik Tenaga Uap) Soroako akan dipensiunkan.
Di beberapa tempat sekitar Soroako bijih nikel itu sudah dapat
dikeruk langsung dari muka bumi. Setelah hutan belukarnya
dipangkas, tentunya. Namun umumnya, lapisan saprolite itu
tertutup oleh lapisan tanah geothite yang kaya bijih besi di
muka bumi dan lapisan limonite yang mengandung sedikit- nikel
dan banyak mineral lain di antaranya.
Seluruh lapisan tanah yang miskin nikel setebal 0 s/d 12 meter
itu harus dikupas dulu dari bukit-bukit di sekitar Soroako
ibarat mengupas kentang atau apel. Tanah yang dikeruk dengan
bulldozer dari puncak ke kaki bukit itu, sebagian dimanfaatkan
untuk membuat fundasi jalan. Sebagian lagi sekedar ditimbun di
cekungan-cekungan di mana air hujan diharapkan tidak akan
menyeretnya ke sungai atau danau.
Dikeringkan
Kelak, setelah tanah berkadar nikel itu sudah dikelupas semua
dari bukit-bukit itu, tanah penutup itu akan dipakai untuk
menyelimuti kembali bukit-bukit gundul yang bakal dihijaukan
kembali dengan rumput atau pepohonan.
Dari tambang-tambang terbuka itu, bijih nikelnya disaring di
stasiun penapis (upgrading station) dan di pabrik, sehingga
diperoleh butir-butir berpenampang kurang dari 2 inci tapi
paling tinggi kadar nikelnya. Bahan inilah yang kemudian
dikeringkan, dipisahkan kotorannya kemudian disenyawakan dengan
belerang menjadi pasir nickel matte dengan 75% nikel dan 25%
belerang. Tahun 1978, setelah pabrik nikel Soroako itu mencapai
kapasitas penuh, pabrik itu akan menelan 3 x 7000 ton tanah
nikel basah dan mengeluarkan 3 x 72 ton nickel matte sehari.
Bayangkan saja berapa banyak tanah penutup dan bijih nikel
berpenampang lebih dari 2 inci yang dipisahkan!
Pekerjaan raksasa ini tentunya mengakibatkan perusakan dan
pengotoran lingkungan yang luar biasa. Karena itu dengan
mengambil oper standar lingkungan Amerika Utara, para ahli Inco
pagi-pagi sudah mulai menyelidiki besarnya gangguan
tata-lingkungan itu sambil menyiapkan upaya penanggulangannya.
Maklumlah Indonesia sendiri belum punya standar yang resmi.
Sumber polusi dan gangguan ekologis itu ada macam-macam:
# kegiatan eksplorasi: sejak 1969 telah dibor 17 ribu lubang
dengan kedalaman sampai 200 ribu meter 1800 sumur, 11 parit
besar dan 227 parit kecil. Sumur-sumur dan lubang-lubang
percobaan itu untuk sementara dipagar dan beberapa daerah
percobaan ditutup guna mencegah kecelakaan.
# debu jalan raya: antara Malili, Soroako dan Larona sudah
dibangun 25 Km jalan baru dan akan ditambah lagi 17 Km jalan
tahun depan. Karena tidak diaspal, jalan yang lebarnya sampai 17
meter dan mampu menanggung beban truk 45 ton itu merupakan
sumber debu yang kontinyu. Untung curah hujan yang tinggi di
daerah itu membantu membasuh debu jalan itu, sehingga gangguan
pernafasan dapat dikurangi.
# konstruksi dan penambangan: pembabatan hutan dan pengupasan
kulit bumi sampai setebal 14 meter itu, sudah terang merupakan
gangguan yang utama. Di sana-sini sudah dilaporkan aliran sungai
yang terganggu, sehingga penduduk harus belajar menggali
sumurnya sendiri. Tidak kalah drastisnya adalah
pembelokan-aliran sungai Larona melalui kanal-kanal horisontal
sepanjang 7 Km itu. Memang, sepanjang hulu sungai tidak
kelihatan perkampungan penduduk. Namun tak ayal para insinyur
Inco telah merancang pintu air di kaki dam yang menghubungkan
kanal dengan danau Towuti sehingga sebagian air danau tetap
dapat mengalir membasahi palung sungai yang asli. Sekaligus
sebagai pencegah banjir.
# pabrik nikel: debu dan ampas padat ditampung kembali untuk
diperas sisa nikelnya sedapat mungkin. Polusi benda cair juga
tidak langsung diizinkan kembali ke sungai atau danau. Tapi yang
lebih menyolok adalah polusi gas, baik asap dari PLTU Soroako --
yang akan pensiun tahun 1978 -- maupun oksida belerang (S02)
yang bakal keluar dari cerobong pabrik setinggi 200 meter kalau
pabrik itu mulai bekerja tahun depan.
Makanya tiga stasiun monitor sulfur sedang dibangun di sekitar
pabrik. Sementara dokter-dokter Hyperkes Hygiene Perusahaan &
Keselamatan Kerja) dari Ujungpandang dan Jakarta sedang meneliti
ada-tidaknya efek gangguan lingkungan itu terhadap kesehatan
karyawan Inco dan masyarakat sekitarnya.
# polusi manusia dari kampung Soroako asli (Desa Nikel) yang
penduduknya kini sudah 4500 jiwa, ke danau Matana. Untuk
memecahkan kepadatan penduduk Desa Nikel yang tumbuh spontan
itu, Inco telah membangun dua perkampungan baru di Wasuponda dan
Wawandula. Baik Soroako maupun kedua perkampungan baru itu
terletak di kecamatan Nuha.
Mungkin yang perlu juga mendapat perhatian, meski belum disoroti
manajemen Inco sekarang ini, adalah polusi laut di Teluk Bone.
Khususnya di sekitar terminal minyak Tanjung Mangkasa dan
pelabuhan Balantang dekat Malili, 60 Km dari Soroako.
Soalnya, ikan-ikan dari perairan itu merupakan sumber protein
bagi sebagian besar penduduk kecamatan Nuha dan kecamatan
Malili. Setelah ekspor nikel dimulai tahun depan, kesibukan
bongkar muat di situ bakal tambah ramai begitu pula polusinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini