Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Bibit Korban Bisnis Karbon

Bisnis karbon dikhawatirkan hanya menguntungkan korporasi untuk mengokupasi lahan dan hutan. Masyarakat adat terusir.

8 Februari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAMPIR setahun tak mendengar kabar Melchor Group, Mika Ganobal dan koleganya di kelompok masyarakat sipil SaveAru tetap waswas. Mereka khawatir Melchor—kelompok usaha yang berencana mengembangkan bisnis karbon dengan memanfaatkan bentang alam di Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku—diam-diam mendapatkan izin untuk beroperasi di wilayah masyarakat adat suku Fanan, yang mencakup belasan desa di Aru.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bagi Mika, Melchor tak ubahnya Menara Group, meski kemasan bisnisnya berbeda. “Mereka sama-sama hendak menguasai tanah kami,” kata Mika, yang kini menjabat Camat Aru Utara Timur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Satu dekade lalu, Mika yang telah berstatus aparatur sipil negara bergerak bersama sejumlah tokoh pemuda mengkampanyekan #SaveAru, gerakan melawan Menara Group yang ketika itu hendak membangun perkebunan tebu seluas hampir 500 ribu hektare di Kepulauan Aru. Bersama ribuan warga Kepulauan Aru, mereka turun ke jalan pada medio 2013 untuk menolak rencana perseroan mengeksploitasi hutan dan lahan. Gerakan ini membuahkan hasil. Menara Group terusir dari Aru.

Adapun Melchor Group baru mencuat belakangan. Kelompok usaha yang dibangun oleh pengusaha sekaligus politikus, Peter F. Gontha, dan koleganya ini akan menjajal ceruk bisnis pada pasar penyeimbangan karbon alias carbon offset. Pemerintah beberapa tahun terakhir memang terus mengupayakan terbentuknya pasar karbon, yang dianggap sebagai salah satu solusi menekan emisi gas rumah kaca.

"Kami baru tahu rencana tersebut dari terbitnya surat Gubernur Maluku pada 20 Juni 2022,” kata Mika.

Surat yang dimaksudkan Mika merujuk pada Surat Gubernur Maluku Nomor 522/1671, 1672, 1673, dan 1674 perihal rekomendasi pemberian perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH) kepada empat entitas perusahaan yang ditengarai terafiliasi dengan Melchor Group. Surat tersebut ditujukan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), yang berwenang mengeluarkan PBPH.

Kabar keluarnya surat rekomendasi tersebut mengejutkan warga setempat. Seperti halnya Mika dan para pegiat lingkungan hidup yang tergabung dalam SaveAru, Ketua Majelis Adat Kepulauan Aru Eli Darakay termasuk yang merasa kecolongan akan rencana Melchor menguasai hutan di Aru. Pasalnya, kata Eli, perwakilan Melchor pada awal kunjungannya menyatakan berniat mengembangkan usaha budi daya kepiting bakau, teripang, dan rumput laut.

"Sekarang tiba-tiba berubah mengajukan konsesi untuk perdagangan karbon," kata Eli. “Dari sisi masyarakat hukum adat Kepulauan Aru, kami belum mendapat penjelasan soal keberadaan Melchor ini.” 

Aksi penolakan Masyarakat Adat Marafenfen di Pangkalan Udara TNI AL. Dok. Masyarakat Adat Marafenfen

Waswas Aru Dikuasai Para Tamu

Hal yang bikin Eli cemas, upaya masyarakat adat Aru untuk mendapatkan pengakuan tak secepat rencana pemberian izin kepada korporasi. Dia menjelaskan, sejauh ini upaya untuk mengakui hak masyarakat adat Aru baru dirintis setelah penerbitan Peraturan Daerah Kabupaten Kepulauan Aru Nomor 2 Tahun 2022 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Aru Ursia-Urlima. Regulasi ini baru sebatas mengatur pengakuan dan perlindungan, belum sampai pada penetapan masyarakat hukum adat serta wilayah adatnya. 

Menurut Eli, Pemerintah Kabupaten Kepulauan Aru tengah berupaya merampungkan pemetaan partisipatif yang diperlukan untuk proses penetapan wilayah adat. Karena itu, Eli berharap semua rencana pemberian izin investasi ditunda sampai masyarakat adat Aru mendapat pengakuan dari negara. "Kami akan menolak (rencana investasi) selama pemerintah belum merampungkan pengakuan hak masyarakat hukum adat Aru, termasuk wilayah hutan adat," ujarnya.

Pemetaan partisipatif untuk mengidentifikasi tanah adat yang disebutkan Eli, antara lain, tengah dirancang di Desa Kobamar, Kecamatan Aru Utara Timur, tempat tinggal Mika Ganobal. Sepandangan dengan Eli, Mika bersama perwakilan puluhan organisasi di sejumlah daerah menghidupkan lagi #SaveAru pada pertengahan Desember lalu. Berbeda dengan perlawanan sedekade lalu, gerakan koalisi masyarakat sipil tersebut mengirim surat pernyataan sikap kepada Menteri LHK dan Gubernur Maluku atas rencana investasi carbon offset di Kepulauan Aru, yang dianggap sebagai bentuk perampasan hak wilayah adat masyarakat adat Aru.

Mereka mendesak Kementerian LHK menghentikan perizinan PBPH yang tengah diusulkan untuk diberikan kepada Melchor Group dan entitas anak usahanya. Mereka juga berharap Gubernur Maluku meninjau ulang dan merevisi kebijakan rencana tata ruang wilayah (RTRW) Provinsi Maluku, terutama di Kabupaten Kepulauan Aru. "Keberadaan Melchor di wilayah kelola masyarakat Aru berpotensi meminggirkan hak-hak masyarakat atas ruang sumber daya alam yang selama ini menjadi sumber penghidupan masyarakat," demikian tertulis dalam surat pernyataan sikap koalisi #SaveAru kepada Menteri LHK dan Gubernur Maluku.

Made with Flourish

Kekhawatiran Mika, Eli, dan koalisi #SaveAru bukan tanpa sebab. Setidaknya hingga Selasa, 6 Februari lalu, portal perizinan KLHK masih mencatat keberadaan empat perseroan dalam peta usulan PBPH di kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) Kepulauan Aru. Usulan PBPH seluas total 345,43 ribu hektare—atau hampir setara enam kali luas wilayah DKI Jakarta—tersebut dipecah-pecah menjadi tujuh bagian, yaitu atas nama PT Alam Subur Indonesia Unit 1, PT Alam Subur Indonesia Unit 2, PT Amanah Bumi Aru Kita 2, PT Amanah Bumi Arukita 1, PT Andalan Restorasi Umaru, PT Bumi Lestari Internasional Unit 1, dan PT Bumi Lestari Internasional Unit 2. 

Hasi penelusuran Tempo pada data perseroan terbatas yang dikelola Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menunjukkan perusahaan-perusahaan tersebut terafiliasi dengan Melchor Group. Bisnis kelompok usaha ini dikendalikan dari lantai 11 unit D dan E District 8, Prosperity Office Tower, Sudirman Central Business District (SCBD), Jakarta Selatan. Markas Melchor ini juga menjadi kantor sejumlah perusahaan afiliasinya, seperti PT Muller Karbon Kapital Indonesia, PT Rantai Oxygen Indonesia, PT Perisai Alam Sejahtera, dan PT Melchor Artha Lestari.

Pada Rabu siang, 7 Februari lalu, Tempo mendatangi kantor tersebut untuk menyerahkan surat permohonan wawancara dan konfirmasi kepada manajemen Melchor. Seorang pegawai menerima surat tersebut seraya menyatakan bahwa Peter F. Gontha, pendiri sekaligus Komisaris Utama Melchor Group, tengah berada di luar kota. "Baru pada Senin pekan depan akan berkantor," kata pegawai itu.  

Lewat layanan pesan WhatsApp, Peter F. Gontha menyatakan belum dapat menjawab pertanyaan Tempo karena sedang berada di Kota Ambon, Maluku. Dia berjanji bakal menjawab pertanyaan pada pekan depan. “Mohon pengertiannya,” kata Peter. Tempo juga sempat menghubungi Presiden Direktur Melchor Group Rudi Poespoprodjo melalui surat elektronik dan WhatsApp. Namun Rudi juga belum menjawab pertanyaan Tempo hingga berita ini diturunkan.

Sejumlah anggota masyarakat adat yang bersiap melakukan tradisi berburu. Dok. Save Aru

Salah Kaprah Melihat Aru

Eko Cahyono, peneliti Papua Study Center yang bergabung dalam koalisi #SaveAru, menjelaskan bahwa masyarakat adat di Kepulauan Aru sejak awal kompak menolak keberadaan konsesi korporasi. Sikap penolakan serupa dialamatkan kepada Melchor, kendati kelompok usaha ini hendak mengembangkan bisnis karbon yang semestinya akan mengupayakan pelestarian hutan sebagai penyerap emisi. “Sebab, yang dibutuhkan masyarakat Aru saat ini adalah pengakuan hak sebagai masyarakat adat, hak atas wilayah adat, termasuk hutan, dari negara," kata Eko.

Dia justru sangsi proyek carbon offset di Kepulauan Aru dilatarbelakangi oleh upaya mitigasi krisis iklim. Eko menduga pengembangan konsesi bisnis karbon hanya kedok anyar pebisnis untuk menguasai lahan di Kepulauan Aru, yang sebelumnya berulang kali telah diupayakan lewat rencana lawas investasi perkebunan tebu hingga peternakan sapi. 

Dia mengingatkan bahwa pemerintah juga baru mengaktifkan lagi izin pemanfaatan hutan PT Wana Sejahtera Abadi (WSA). Konsesi WSA seluas 54.560 hektare, yang dulu berupa izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam (IUPHHK-HA), kini beralih menjadi PBPH pada hutan produksi (HP). 

Seperti yang sudah-sudah, menurut Eko, gempuran investasi berbasis penguasaan lahan dan hutan itu datang tanpa mempertimbangkan keberadaan masyarakat adat dan hak-haknya. "Pemerintah selalu menganggap Kepulauan Aru sebagai wilayah tak berpenghuni," ujarnya. 

Padahal, Eko mengingatkan, masyarakat Kepulauan Aru telah diteliti oleh penjelajah Alfred Russel Wallace pada 2 Juli 1857. Selama lima tahun di Maluku, Wallace memotret jalur perdagangan para pedagang Bugis dari Makassar menuju Dobo, yang kini menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Kepulauan Aru. 

Bisnis Karbon untuk Siapa?

Gembar-gembor bisnis karbon merebak ketika pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon. Tujuannya sebagai upaya pengendalian emisi gas rumah kaca dan pencapaian target kontribusi yang ditetapkan nasional. KLHK juga turut memberlakukan aturan internal Nomor 21 Tahun 2022 tentang Tata Laksana Penerapan Nilai Ekonomi Karbon. Disusul kemudian penerbitan Peraturan Menteri LHK Nomor 7 Tahun 2023 tentang Tata Cara Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan.

Dikuatkan lagi oleh Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 14 Tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon Melalui Bursa Karbon. Kini ada ratusan korporasi pemegang konsesi pengolahan hasil hutan sedang mengajukan permohonan perubahan status usaha menjadi penyedia jasa lingkungan perdagangan karbon atau restorasi ekosistem.

KLHK sejak September tahun lalu masif mendorong perusahaan-perusahaan sektor kehutanan mendaftar dalam Bursa Karbon pada Bursa Efek Indonesia. Mekanismenya adalah mencatatkan korporasi dalam Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN PPI). Perdagangan karbon ini juga bertujuan mencapai target kontribusi yang ditetapkan secara nasional (NDC) dalam penurunan emisi gas rumah kaca hingga 140 juta ton setara karbon dioksida pada 2030.

Acara peluncuran Bursa Karbon Indonesia (IDX Carbon) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, 26 September 2023. Tempo/Tony Hartawan

Direktur Eksekutif Komunitas Konservasi Indonesia Warsi, Rudi Syaf, masih ragu akan komitmen pemerintah dalam upaya mengembangkan bisnis karbon di dalam negeri. Terutama lantaran pemerintah belum merampungkan mekanisme dan tata kelola bisnis karbon yang masih awam. “Sampai saat ini, semua bisnis yang bersifat carbon trading itu masih ditunda karena regulasi dan alasan risiko terhadap masyarakat,” tutur Rudi pada Senin, 5 Februari lalu.

Masalah utama yang dipersoalkan Rudi adalah paradigma bisnis karbon yang justru masih mencontoh mekanisme tata kelola pengusahaan hutan alam. Tata kelola itu adalah mereplikasi sistem PBPH-HT dan PBPH hutan alam atau dulu disebut hak pengusahaan hutan (HPH) yang rakus akan penguasaan serta eksploitasi lahan dan hutan. Sistem ini memicu penggundulan hutan hingga konflik tenurial antara korporasi dan masyarakat setempat.

Hal sama juga diberlakukan pada bisnis perdagangan karbon yang lebih banyak dikuasai oleh korporasi-korporasi raksasa. Mereka kemudian menguasai ratusan ribu hektare lahan dan hutan sebagai wilayah usahanya. Rudi mengatakan, biarpun bisnisnya nanti berbentuk pelestarian hutan, bakal tetap memicu konflik dengan masyarakat adat yang tinggal di dalam konsesi. “Apalagi pemerintah bahkan sampai kini tidak mengatur bagaimana nanti pelibatan masyarakat dalam bisnis karbon ini.” 

Semestinya pemerintah memprioritaskan masyarakat adat sebagai penyelenggara utama bisnis dagang karbon. Hal ini akan mendorong pengakuan hak atas hutan adat atau hak kelola hutan melalui mekanisme perhutanan sosial. Juga menciptakan kesadaran masyarakat dalam menjaga hutan. Rudi sudah membuktikan itu melalui beberapa program dampingan Warsi di Jambi, Sumatera Barat, Bengkulu, Kalimantan Utara, dan provinsi lain.

Dalam beberapa tahun belakangan ini, Warsi menjalankan program skema pohon asuh di desa-desa dampingan. Skemanya adalah menawarkan orang atau lembaga memberikan donasi Rp 200 ribu untuk setiap pohon yang dirawat oleh masyarakat desa binaan. Hasilnya, beberapa desa yang berada di lanskap Bukit Panjang Rantau Bayur atau Bujang Raba, Kabupaten Bungo, Jambi, berhasil menjaga ekosistem hutan. Rudi berharap masyarakat desa dampingannya itu juga diprioritaskan untuk masuk skema perdagangan karbon.

Made with Flourish

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar belum menjawab pertanyaan Tempo ihwal mekanisme pelibatan masyarakat adat sebagai penyelenggara bisnis dagang karbon. Siti mengarahkan Tempo bertanya kepada Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Laksmi Dhewanthi. “Sudah dibuktikan bahwa dalam Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 justru tidak ada diskriminasi atau tidak ada pembatasan siapa yang disebut sebagai masyarakat. Jadi semua bisa ikut jadi penyelenggara,” kata Laksmi.

Dia juga menegaskan bahwa pemerintah menolak istilah bisnis karbon, mengingat tujuan utama pemerintah bukan berdagang. Perdagangan karbon yang diperkenalkan dalam Peraturan Presiden Nomor 98 tersebut bertujuan mengurangi emisi gas rumah kaca. Hal ini dilakukan untuk mencapai target emisi. Bisnis hanya merupakan manfaat tambahan ketika memitigasi atau berupaya mengurangi emisi gas rumah kaca.

Sebelumnya, Laksmi menjelaskan syarat penyelenggara bisnis karbon yang diwajibkan memiliki SRN PPI. Sistem ini bakal melahirkan sertifikat pengurangan emisi (SPE) yang didapat setiap perusahaan. “SRN bukan semata-mata untuk melakukan perdagangan karbon. Tapi, untuk melakukan perdagangan karbon di Indonesia atau seluruh mekanisme nilai ekonomi karbon, termasuk result based payment, perdagangan emisi, dan offset emisi, harus melalui SRN," ucapnya pada 9 November 2023.

Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon OJK Inarno Djajadi pernah mengatakan Bursa Karbon yang tercatat di Bursa Efek Indonesia telah mencatatkan volume perdagangan sebesar 464.843 ton setara karbon dioksida. Akumulasi nilai transaksinya Rp 29,45 miliar pada medio 26 September hingga 27 Oktober 2023. “Ke depan, Bursa Karbon masih memiliki potensi yang sangat besar karena terdapat 3.180 pendaftar yang tercatat di SRN PPI dan tingginya potensi unit karbon yang ditawarkan,” ucapnya pada 30 Oktober 2023.

AVIT HIDAYAT
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
Âİ 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus