Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI sebuah pondok bambu di kawasan Babakan Siliwangi, Sabtu dua pekan lalu, sejumlah mahasiswa Institut Teknologi Bandung dan beberapa tokoh Kota Kembang berkumpul. Mereka berdiskusi dan membacakan petisi. Topik diskusi adalah nasib kawasan tersebut.
Petisi yang disebar secara online itu sebelumnya telah diserahkan kepada Pemerintah Kota Bandung. Isinya: menolak pengalihan fungsi Babakan Siliwangi menjadi kawasan komersial. Alasan mereka, Babakan Siliwangi, sebagai ruang terbuka hijau, sangat dibutuhkan Kota Bandung sebagai peningkat kualitas lingkungan.
”Yang kami tolak adalah pengalihan fungsi lahannya dari ruang terbuka hijau menjadi fungsi lain, bukan pembangunannya,” ucap Shana Fatina Sukarsono, Presiden Keluarga Mahasiswa Institut Teknologi Bandung.
Babakan Siliwangi merupakan satu-satunya hutan dalam kota yang tersisa di Bandung. Kawasan ini berfungsi, antara lain, sebagai pengendali kelembapan, penjaga iklim mikro, daerah resapan air, dan penghasil oksigen. Berdasarkan rencana tata kota sebelumnya, kawasan Babakan Siliwangi ini memang diperuntukkan sebagai ruang terbuka hijau dan bukan untuk kawasan komersial.
Sebagai ruang terbuka hijau, Babakan Siliwangi layak dipertahankan. Sebab, dari data Badan Pengendalian Lingkungan Hidup 2007, ruang terbuka hijau di Kota Bandung kini tersisa 8,76 persen. Padahal idealnya sebuah kota harus memiliki ruang terbuka hijau seluas 30 persen dari total luas kota, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Adapun luas Kota Bandung adalah 16.700 hektare. Artinya, luas ruang terbuka hijau Kota Bandung minimal 5.000 hektare. Namun kenyataannya total ruang terbuka hijau Bandung tinggal 1.465,90 hektare. Jika Babakan Siliwangi seluas 2,2 hektare hilang, dipastikan persentase ruang terbuka hijau Kota Bandung semakin berkurang.
Sebagai daerah resapan air, Babakan Siliwangi memiliki peran penting. Menurut data Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Bandung 2006, akibat berkurangnya persentase ruang terbuka hijau di Bandung, setiap tahun permukaan tanah di Kota Kembang ini menyusut sekitar 42 sentimeter. Di Babakan Siliwangi sendiri permukaan air tanah berada pada kedudukan 14,35 meter dari sebelumnya 22,99 meter.
Rencana Pemerintah Kota Bandung mengalihfungsikan Babakan Siliwangi sebagai daerah komersial tak hanya menuai protes dari mahasiswa dan penduduk setempat. Chay Asdak, peneliti di Universitas Padjadjaran, misalnya, melihat ruang publik di Bandung sudah semakin berkurang.
Menurut Chay, pembangunan di kawasan tersebut sebenarnya sudah lama direncanakan. Namun, karena desakan warga, Pemerintah Kota Bandung menghentikan rencana tersebut. ”Sekarang rencana itu diteruskan lagi padahal wali kota berkomitmen menjaga lingkungan,” ujarnya.
Kecaman lain datang dari dosen arsitektur Institut Teknologi Bandung, Ridwan Kamil. Menurut dia, rencana ini akan memperparah kesemrawutan Kota Bandung. ”Selama ini kondisi Bandung sudah semrawut, terutama di akhir pekan,” katanya.
Master desain urban dari University of California, Berkeley, Amerika Serikat, ini menilai pemerintah kota tak transparan. Bahkan ia mendengar, selain restoran, di Babakan Siliwangi akan dibangun fasilitas lain, seperti bioskop dan apartemen. ”Ini berarti akan memunculkan lalu-lalang lalu lintas dan mengurangi ketersediaan air,” ucapnya.
Babakan Siliwangi adalah ruang terbuka hijau yang terletak beberapa puluh meter dari Sasana Budaya Ganesha Institut Teknologi Bandung. Di tempat itu ada restoran milik pemerintah kota yang sudah lama tak berfungsi lantaran pernah terbakar. Tak jauh dari bekas restoran itu terdapat sanggar seni yang kerap dipakai seniman Bandung beraktivitas, terutama seni lukis. Menurut Tisna Sanjaya, seniman Bandung, selain untuk berkesenian, Babakan Siliwangi merupakan tempat bermain dan belajar anak-anak soal lingkungan.
Ridwan berharap Pemerintah Kota Bandung dapat mengembangkan Ba-bakan Siliwangi dengan menata tempat itu menjadi tamanyang penuh dengan aktivitas warga kota. ”Bandung bisa meniru Yogyakarta yang membeli tanah-tanah kosong untuk dijadikan ruang terbuka hijau di kota itu,” katanya.
Meski mendapat kecaman dari sejumlah pihak, Pemerintah Kota Bandung tak terpengaruh. ”Rencana pembangunan restoran itu saat ini masih diproses,” ujar Kepala Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kota Bandung Juniarso Ridwan.
Pemerintah Bandung telah mengikat perjanjian kerja sama dengan PT Esa Gemilang Indah, yang akan menjadi pengembang. ”Desain gambarnya masih dikoreksi, misalnya ketinggian bangunan sedang disesuaikan,” ujar Juniarso.
Terkait dengan sejumlah kecaman terhadap rencana ini, menurut Juniarso, pihaknya mengaku senang dan terbuka menerimanya. ”Ini menunjukkan kepedulian warga Kota Bandung terhadap pembangunan kota,” katanya.
Juniarso mengatakan rencana awal pembangunan di lokasi itu adalah restoran. Namun, dia mengakui, tidak menutup kemungkinan ada pembangunan lain selain restoran yang berdiri di kawasan Babakan Siliwangi.
Dari pola dan gambar bangunan yang ada, restoran tersebut berbentuk rumah panggung dan dilengkapi miniteater terbuka. Lokasi tetap di bekas rumah makan yang terbakar dan menggunakan sekitar 20 persen lahan yang tersedia. Adapun 80 persen lahan yang ada tetap digunakan seperti sekarang.
Widiarsi Agustina, Alwan Ridha Ramdani, Rana Akbari Fitriawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo