Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Bersama Sembuhkan Bumi

Gabungan usaha pengembang dan pelestarian lingkungan. Mahal, tapi layak diduplikasi.

12 Oktober 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEPALA lelaki berambut perak itu luar biasa keras. Hampir enam puluh tahun usianya. Tapi dia tak gampang menyerah. ”Soal remeh-temeh, biaya, peralatan terbatas, tidak boleh menghalangi mimpi saya,” kata Boedi Krisnawan Suhargo.

Impiannya cukup indah. ”Saya ingin mengobati bumi,” kata mantan eksekutif di berbagai perusahaan pengembang ini. Mimpi yang punya makna mendalam di tengah perubahan iklim dan rentetan bencana belakangan ini.

Pekan lalu, Tempo menyambangi area yang menjadi titik awal Boedi mewujudkan mimpi: seratus hektare lahan kritis di Desa Jagabaya, Kecamatan Parung Panjang, Bogor. Villa Hutan Jati, nama kawasan ini, didedikasikan sebagai lahan percontohan tentang ikhtiar mengobati bumi yang rusak akibat eksploitasi manusia. Motonya: ”Bersama Sembuhkan Bumi”.

Tak bisa disangkal, bumi Parung Panjang sakit parah. Tanah perbukitan di kawasan ini dipangkas tanpa ampun selama berpuluh tahun. Bebatuan di Gunung Sindur diambil untuk bahan bangunan. Tanah liat diangkut untuk bahan baku industri keramik, genting, dan batu bata. Puluhan truk memadati jalanan Parung Panjang, membawa isi perut bumi, menuju Jakarta saban hari.

Parung Panjang pun merana berselimut debu menyebalkan. Kawasan ini tampak seperti kepala dengan pitak di sana-sini. Sumur-sumur penduduk, yang digali sampai kedalaman 100 meter, kerontang tak berair. ”Tos lami petani teu tiasa tatanem (sudah lama petani di sini tak bisa bertanam dengan baik),” kata Oman, 40 tahun, penduduk Desa Grombong, tiga kilometer dari Villa Hutan Jati.

l l l

Awalnya, Boedi tak berniat membangun proyek rehabilitasi lahan kritis. ”Dulu saya ingin membangun kompleks perumahan yang komplet, dilengkapi sarana bagi penghuninya untuk mencari nafkah,” kata kakek empat cucu ini.

Agustus 2006, datanglah titik yang mengubah perjalanan hidupnya. Stroke menghantam Boedi yang sedang berada di puncak karier. Kakinya nyaris lumpuh. Mata dan mulutnya tak bisa terkatup. Tipis harapan untuk kembali hidup normal.

Tiga bulan Boedi berada pada kondisi menyedihkan. Hingga kemudian datang seorang kawan lama yang mengantarkannya kepada ibu tua ahli tusuk jarum di Sunter, Jakarta Utara. Tanpa diduga, pada terapi sesi pertama, lutut yang lumpuh langsung bisa digerakkan. Mata dan mulutnya bisa terkatup. ”Ibu tua itu bilang, saya punya kui jin, malaikat pelindung, sehingga tusuk jarum langsung kena saraf yang tepat,” kata lulusan Sekolah Tinggi Teknologi Nasional tahun 1974 ini.

Dua bulan menjalani terapi tusuk jarum, suami Maggy Margaretha ini banyak merenung. Sampai akhirnya, Desember 2006, dia memutuskan mundur dari posisi sebagai pemimpin di sebuah perusahaan pengembang dan memusatkan energi pada perbaikan lingkungan. ”Saya khawatir tak punya waktu banyak,” kata Boedi, yang lahir di Rembang, Jawa Tengah, 9 Desember 1951.

Maka dimulailah sebuah jalan panjang berliku demi mengobati lahan merana di Jagabaya. Kualitas tanah mesti dipulihkan. Butuh tiga sampai enam bulan untuk membuat tanah jadi sehat walafiat dan siap ditanami.

Pertama, lapisan batu cadas dikerok dengan alat berat. Kadar keasaman (pH) tanah, yang di level 4-5, mesti ditarik ke angka normal, yakni 7. Caranya dengan menimbun tanah dengan kapur dan daun singkong.

Tahap berikutnya, ”Lahan ditimbun dengan puluhan sampai ratusan karung kompos, tergantung kondisi lahan,” kata Bambang, 38 tahun, salah satu anggota staf Villa Hutan Jati. Kompos dibuat langsung di kawasan, dengan bakteri penghancur sampah yang dibiakkan dari usus sapi. ”Supaya lebih terjamin kualitasnya,” kata Bambang, sarjana ekonomi yang lebih cinta membaui tanah gembur.

Bukan hanya tanah, kualitas air juga wajib dipulihkan. Boedi merancang danau buatan seluas 1,8 hektare dengan kedalaman 3-6 meter. Lahan untuk danau buatan ini terlebih dahulu disiapkan, antara lain diberi lubang biopori yang cukup dalam dan rapat. Berhubung tanah sudah kelewat keras, ”Tak bisa melubangi dengan alat biopori manual. Mesti pakai alat berat yang dirancang khusus,” kata Boedi.

Teknik biopori inilah yang kemudian terbukti meningkatkan daya serap air danau. Jadi, ”Danau ini enggak pernah kekeringan meskipun kemarau,” ujarnya. Saban hari, air danau ini diambil sampai dua tangki (10 ribu liter) untuk menyirami tanaman di setiap jengkal tanah Villa Hutan Jati.

Jurus menyembuhkan tanah dan air ini menarik perhatian David Ardhian, peneliti dari Institut Pertanian Bogor. ”Langkah ini adalah upaya menggenapi siklus hidrologi. Resapan tanah, tanaman di sekitar danau, dan biopori membuat ketersediaan air terjaga,” kata David, yang juga peneliti senior di Nastari, lembaga yang berfokus pada pertanian.

Berbagai program penghijauan yang digelar pemerintah, David melanjutkan, gagal karena dilakukan serba instan dan sepotong-sepotong. Waduk Kedungombo, Jawa Tengah, yang dibangun dengan pengorbanan penduduk, misalnya, kering-kerontang karena tak dibuat dengan konsep terpadu. Kapasitas resapan air tidak diperhatikan. ”Maunya cepat, proses konservasi tanah dan air dilewati,” kata David.

l l l

Tanah siap. Air tersedia. Boedi melangkah ke tahap berikutnya, bertanam. Kini, memasuki tahun ketiga Villa Hutan Jati, sudah 41 hektare lahan yang terolah dan ditanami.

Pohon jati (Tectona sp.), jenis jati emas, menjadi pilihan utama karena perhitungan ekonomis. Sepuluh tahun lagi, pohon jati makin langka dan mungkin dilarang diperdagangkan bebas. Keberadaan hutan pun bukan mustahil sudah berubah menjadi perkebunan sawit. ”Jadi, tanaman jati yang dikelola di kebun dengan konsep ramah lingkungan pasti mendapat tempat di pasar,” kata Boedi.

Sejumlah investor menyambut konsep Boedi. Ada 20 orang yang menanam saham untuk pengelolaan lahan sampai tahap penanaman. Nilai investasinya Rp 600 juta untuk tiap dua hektare lahan. Kelak, pada tahun ketujuh, pohon jati sudah bisa dipanen untuk keperluan industri.

Harris Chandra, pengusaha, salah satu investor Villa Hutan Jati, menaruh respek pada usaha Boedi. ”Saya tahu persis, ini enggak mudah,” kata Harris, ”mahal pula.” Tak aneh bila Boedi dijuluki sebagai sosok yang keras kepala. Dia tahan banting menggabungkan dua konsep yang selama ini cenderung berlawanan: pengembang dan konservasi lingkungan.

Benar, ongkos menyembuhkan bumi ala Boedi Krisnawan memang mahal. Proses memulihkan kesehatan tanah, misalnya, menelan Rp 150-300 juta per hektare. ”Makin rusak lahan, makin mahal,” kata Boedi.

Perawatan lahan dan tanaman juga tidak murah. Daun-daun jati mesti dipangkas rutin. ”Dua tahun pertama konsentrasi pertumbuhan adalah meninggi, berikutnya baru membesarkan batang,” ujar Bambang.

Saat ini ada 40-an petani yang terlibat dalam pemeliharaan Villa Hutan Jati. Mereka tinggal di rumah bambu yang terpencar di antara lahan jati. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, para petani menanam tanaman pangan di antara kebun jati. Ada jagung, padi, sayur pakcoy, cabai, juga tanaman rosela. ”Hasilnya untuk kepentingan bersama,” kata Asep, seorang petani. ”Anak-anak bisa berjualan teh rosela di sekolah. Lumayan buat nambah uang saku.”

Hebatnya lagi, seluruh area Villa Hutan Jati diterangi dengan tenaga surya. Panel energi surya terpasang di atas kantor dan rumah bambu yang dihuni petani. Panelnya masih mahal, Rp 4 jutaan, untuk sumber energi yang setara dengan 30 watt.

Konsep yang terpadu membuat Villa Hutan Jati menjadi unit yang amat mahal. Total jenderal, menurut Boedi, uang yang telah dihabiskan untuk kawasan ini mencapai Rp 50 miliar—termasuk Rp 20 miliar untuk pembelian lahan. Jumlah itu didapat dari investor, pinjaman bank, juga tabungan pribadi. ”Saya merogoh saku amat dalam. Sampai kehabisan napas, he-he-he…,” kata Boedi.

Dengan biaya tinggi, keberlanjutan pun menjadi pertanyaan. Karena itu, Boedi menawarkan konsep pemeliharaan 59 hektare lahan yang belum terolah kepada divisi tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) atau CSR berbagai perusahaan dan pemerintah daerah di berbagai wilayah.

Keterlibatan CSR dan pemerintah daerah diharapkan dapat membuat upaya penyembuhan bumi lebih bergema. Boedi sudah menerima dua permintaan pelatihan dari Nusa Tenggara Barat dan Kalimantan Tengah. ”Saya ingin metode kami diduplikasi di tempat lain, dengan biaya yang lebih murah, karena tak perlu lagi trial and error,” katanya.

Ikhtiar Boedi memang layak digemakan lebih luas. Ada seratus juta hektare lahan kritis di Indonesia yang menanti penanganan serius. ”Saya tak mungkin mengobati seluruhnya,” kata Boedi. ”Saya bukan malaikat.”

Mardiyah Chamim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus