Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Bila Mikroba Sarapan Plastik

Beberapa perguruan tinggi mengembangkan plastik ramah lingkungan yang dapat terurai. Solusi mengurangi pencemaran tanah dan udara.

6 Agustus 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ini bukan tentang kursi lipat. Bentuknya memang unik. Sewaktu-waktu bisa tegak dan rebah. Mirip sandaran kursi yang gampang diatur dan ditekuk. Ini soal mobil. Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono memandang mobil unik itu dengan penuh perhatian dalam Indonesian Motor Show di Jakarta Convention Center pada dua pekan lalu. Ia bahkan mendekat dan menyentuh tombol panel kemudi. Setelah itu, hups! Presiden pun mengemudikannya.

Mobil dengan kursi tunggal itu masih purwarupa (prototipe), namanya i-Unit. Perancangnya Toyota Motor Corporation, Jepang. Sekalipun masih dalam tahap uji coba, Toyota tengah menyiapkannya sebagai mobil masa depan yang paling ramah lingkungan karena i-Unit seratus persen berbahan bakar listrik. Yang paling penting dari temuan mobil ini adalah sebagian besar badannya terbuat dari bioplastik. Disebut demikian karena plastiknya terbuat dari serat tanaman kenaf (Hibiscus cannabinus), sehingga bisa terurai di dalam tanah. Bahan sejenis juga dipakai pada beberapa mobil terbaru keluaran Jepang sebagai penahan benturan (bumper), penutup lantai (floor mat), serta panel di papan instrumen (dashboard).

Gerakan kembali ke alam memang tengah menjadi isu penting di kalangan pabrikan mobil. Toyota dan Mazda Motor terhitung yang paling agresif. Bukan hanya perusahaan otomotif, sejumlah perusahaan Jepang yang bergerak dalam produk-produk komersial seperti komputer, ponsel, kamera, televisi, dan printer gencar melakukan riset bioplastik. Sony, Fujitsu, NEC, Matsushita Electric Industrial, Toshiba, Ricoh, dan Fuji Xerox berada di jajaran ini. ”Tak ada pilihan ke depan, teknologi harus bisa mendaur ulang alam. Bioplastik adalah pilihan yang masuk akal,” kata Masatoshi Iji, periset bioplastik NEC.

Plastik sintetis yang selama ini diproduksi secara besar-besaran memang terbukti mencemari dan merusak struktur tanah karena sulit ”disantap” oleh mikroba. Membakar plastik juga bisa meracuni udara dengan dioksin dan karbon dioksida. Di kota Jakarta saja, plastik yang dibuang orang setiap hari sanggup menutupi 2.600 lapangan sepak bola. Padahal, setiap tahun, cuma 20 persen dari dua juta ton plastik di Indonesia yang bisa didaur ulang. Alhasil, sisanya mengendap hingga ratusan tahun di dalam tanah.

Awalnya, bioplastik tak digubris karena biaya produksinya empat kali plastik sintetis. Tetapi ketika harga minyak bumi menusuk langit, ide itu kembali dilirik. Di Indonesia, beberapa laboratorium sudah berhasil memproduksi bioplastik, contohnya Laboratorium Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. ”Bahan utamanya pati,” kata Nugraha Edhi Suyatma, salah satu penelitinya. Zat pati dihasilkan oleh padi, jagung, sagu, atau ubi dan berfungsi sebagai cadangan energi dan penguat struktur tanaman.

Limbah pati tergolong besar di Indonesia. Produksi ubi kayu saja mencapai 15,32 juta ton per tahun. Menurut peneliti bioplastik dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Profesor Sebastian Margiono, setiap ton ubi kayu menghasilkan 114 kilogram limbah padat. Harganya yang murah menyebabkan UGM beralih dari gula tebu ke pati.

Untuk menghasilkan bioplastik limbah ketela difermentasi terlebih dulu. Dengan bantuan bakteri Lactobacillus amylovorus, pati kemudian diubah menjadi glukosa (gula) dan asam laktat. Asam inilah yang berpolimerisasi menghasilkan butiran-butiran plastik. Jenis plastik yang dihasilkan dari cara fermentasi ini adalah poli asam laktat (PLA).

Bioplastik PLA ternyata elastisitasnya setara dengan plastik sintetis. Sifatnya juga termoplastik, bisa meleleh dan kembali membeku pada suhu ruang 25–35 derajat Celsius sehingga mudah dibentuk. Penelitian Hardaning Pranamuda dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi yang dipublikasikan pada 2007 memperlihatkan, selama enam bulan saja setengah plastik PLA hancur di dalam tanah. Harganya per kilogram juga setara dengan plastik sintetis.

Limbah lain yang dianggap cocok untuk bioplastik adalah cangkang udang (khitosan) yang kaya protein. ”Permeabilitasnya (daya tembus air) lebih baik dibandingkan pati,” kata Nugraha. Apalagi limbah ini jumlahnya cukup besar, 325 ribu ton per tahun. Plastik khitosan ternyata juga mengandung antimikroba alami sehingga makanan tidak cepat membusuk.

Meskipun ramah lingkungan, menurut penelitian Pranamuda, bioplastik masih mempunyai kelemahan bila ingin menggantikan plastik sintetis. Bioplastik poli e-kaprolakton (PCL), misalnya, titik didihnya terlalu rendah sehingga gampang meleleh. Plastik poli-hidroksi butirat (PHB) memerlukan terlalu banyak energi. Ada pula yang tidak tahan lingkungan lembap, yaitu jenis poli-butilena suksinat (PBS).

Hambatan terbesar bioplastik adalah tingginya biaya produksi, sekitar satu setengah kali biaya plastik sintetis. Khitosan, misalnya, berkisar Rp 300 ribu per kilogram, padahal yang sintetis sekitar Rp 200 ribuan. Perusahaan lalu mengakalinya dengan memakai komposit, yakni campuran sintetis dan bioplastik. Inilah cara yang, menurut Nugraha, cukup jitu mengurangi setidaknya setengah limbah plastik yang tak bisa diolah.

IGG Maha Adi, LN Idayanie (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus