Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Bumi Semakin Membara

Tahun ini temperatur rata-rata bumi terpanas sejak 1880. Pada 2100, diramalkan rata-rata suhu bumi naik 2,9 derajat Celsius. Lebih dari 100 pulau di Indonesia akan tenggelam.

27 September 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ILSHAT Gumerov tepekur di tengah terik matahari dengan raut tanpa daya di mukanya. Di depan matanya terhampar 700 hektare ladang gandum miliknya yang kering-kerontang. Sejak April lalu, tak setetes pun air hujan jatuh menyiram ladangnya.

Gumerov memperkirakan dua pertiga tanaman gandumnya musnah dibakar matahari. ”Ini benar-benar bencana,” kata petani di Volga, Republik Tatarstan, salah satu negara bagian di Rusia, itu awal Agustus lalu. ”Tahun ini saya rugi besar.”

Farid Valitov, pemilik peternakan di Volga, juga tak berdaya menyelamatkan 800 sapi dan 1.700 dombanya. Badai panas telah mematikan sumber pakan bagi ternaknya. ”Tak ada lagi pakan bagi ternak,” Valitov hanya bisa berkeluh-kesah. Dengan segala cara, dia mencari makan bagi ternaknya. Tapi tetap saja jumlahnya jauh dari memadai. Padahal musim dingin sudah menjelang dan Valitov mesti menumpuk cadangan pakan ternak. ”Tak ada cara lain, separuh hewan ternak saya harus disembelih.” Dia memperkirakan rugi 41 juta rubel atau sekitar Rp 11,6 miliar.

Sejak enam bulan lalu, matahari seolah bertengger di atas Rusia. Negeri Beruang Putih yang biasa dibekap salju membeku itu dipanggang matahari. Di siang hari, suhu udara di Moskow dan daerah lain di Rusia melampaui 39 derajat Celsius. Inilah suhu terpanas yang pernah terjadi di Rusia. Pada saat normal, rata-rata temperatur udara di kota-kota Rusia berkisar 25 derajat Celsius dan hutan kering-kerontang sehingga mudah sekali terbakar.

”Setiap hari ada 150 laporan kebakaran,” kata Igor Vlaznev, kepala pemadam kebakaran di Voronezh, seratus kilometer ke arah selatan dari Moskow. Walaupun pemerintah Rusia menolak mengungkapkan datanya, banyak warga negeri itu, terutama mereka yang sudah lanjut usia, menjadi korban sengatan panas.

Badai panas itu juga mengancam persediaan gandum di Rusia. Untuk memastikan ketersediaan gandum di negerinya, Perdana Menteri Rusia Vladimir Putin memutuskan menghentikan ekspor gandum. Menurut data Kementerian Pertanian Rusia, lebih dari 10 juta hektare ladang pertanian mereka rusak terbakar sengatan matahari. ”Kekeringan ini sangat-sangat tidak biasa,” ujar ahli pertanian Rusia, Dmitry Rylko. Sembilan tahun lalu, si Beruang Putih juga pernah tersengat panas matahari hingga 36,8 derajat Celsius.

Tahun ini, bumi semakin panas. Bahkan rata-rata suhu daratan dan lautan sepanjang Januari hingga Juli lalu merupakan yang terpanas sejak 1880. Badan pemantau iklim Amerika Serikat, National Oceanic and Atmospheric Administration, mencatat rata-rata suhu daratan dan lautan hingga Juli lalu 14,5 derajat Celsius, naik 0,68 derajat Celsius dibanding rata-rata temperatur bumi pada abad ke-20.

Titik-titik panas ekstrem menyebar dari Rusia, daratan Cina, Semenanjung Korea, anak benua India, hingga Finlandia. Pada 29 Juli lalu, Institut Meteorologi Finlandia mencatat, temperatur udara di Bandar Udara Joensuu di Kota Liperi 37,2 derajat Celsius. Pada musim dingin, suhu udara di Finlandia bisa membeku hingga minus 20 derajat Celsius. Temperatur terpanas di negeri ini terjadi pada Juli 1914 di Kota Turku, yakni 35,9 derajat Celsius.

Pada Mei lalu, lebih dari 100 warga Negara Bagian Gujarat di India meninggal. Mereka tak tahan terpanggang suhu ekstrem panas mendekati 50 derajat Celsius. Sebagian besar tubuh renta itu tak sanggup melawan dehidrasi. Departemen Meteorologi India menuding rendahnya kelembapan atmosfer, bersama badai panas yang berembus dari Gurun Thar dan siklus El Nino, sebagai penyebab suhu ekstrem tersebut.

Panas ekstrem di pelbagai tempat ini menunjukkan pemanasan global bukanlah omong kosong. ”Kalau Anda ikuti kecenderungan dari dekade ke dekade, inilah bukti tak terbantahkan terjadinya pemanasan global,” kata Peter Stott, Kepala Pemodelan Iklim di Kantor Meteorologi Inggris, pertengahan bulan lalu.

Berdasarkan skenario dari Intergovernmental Panel on Climate Change, Armi Susandi, Wakil Ketua Kelompok Kerja Adaptasi Dewan Nasional Perubahan Iklim, memprediksi rata-rata suhu bumi akan naik 1,4 derajat Celsius pada 2050 dan 2,6 derajat Celsius pada 2100. Dalam kondisi terburuk, kenaikan suhu bumi pada 2100 bisa menggapai 2,9 derajat Celsius.

Emisi gas rumah kacalah yang punya andil paling besar dalam pemanasan bumi—walaupun, kata Stott, mungkin saja faktor lain, seperti radiasi matahari, turut menyumbang kenaikan suhu global.

Kenaikan temperatur bumi dalam beberapa puluh tahun terakhir boleh jadi hanya kurang dari satu derajat Celsius. ”Tapi dampaknya bagi bumi benar-benar nyata,” ujar Deke Arndt, Kepala Pemantauan Cuaca National Oceanic. Glasier di pucuk-pucuk gunung salju dan bentang es di kutub sudah mulai mencair. Hujan sangat deras dan gelombang panas semakin sering terjadi.

Hanya soal waktu, dampak kenaikan suhu bumi ini juga bakal tiba di Indonesia. Dalam presentasinya di Institut Teknologi Bandung bulan lalu, Armi meramal kenaikan muka laut pada 2010 ini ”hanya” 0,4 meter dengan luas kawasan yang terendam air laut 7.408 kilometer persegi. Empat puluh tahun lagi, tinggi muka laut naik 0,56 meter, tapi luas daratan yang bakal terendam air laut empat kali lipat lebih besar menjadi 30.120 kilometer persegi.

Jika tidak ada perubahan, pada 2100 ada 115 pulau di Indonesia yang bakal hilang tenggelam. Pulau Belitung di Provinsi Bangka Belitung akan lenyap, Pulau Karimata di Kalimantan Barat terendam, dan Pulau Nusa Penida di Bali juga tenggelam.

Setelah Moskow disiksa panas sejak Maret lalu, akhirnya temperatur udara di kota itu mulai turun sejak tiga pekan lalu. ”Dibanding bulan lalu, hari ini sudah serupa surga,” kata Tatyana Yeremova, 52 tahun, sembari menikmati udara Kota Moskow. Tatyana, yang semula sangat menantikan musim panas segera tiba, sekarang berharap musim dingin segera datang.

Sapto Pradityo (NOAA, New York Times, Guardian, Reuters)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus