Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Sejumlah kalangan mulai merisaukan potensi limbah yang muncul di tengah gembar-gembor pengembangan proyek pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa mendesak pembuatan aturan spesifik mengenai pengolahan sampah sisa panel surya di Indonesia. Meski sebagian besar komponen pembangkit energi baru dan terbarukan (EBT) itu bisa didaur ulang, masih ada komponen yang akan mencemari lingkungan bila dibuang sembarangan. “Masalah limbah akan kelihatan ketika populasi PLTS makin banyak,” ujarnya kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari catatan IESR, komponen vital PLTS tidak berpotensi menjadi sampah berbahaya. Sisa pelindung modul surya, baik yang terbuat dari kaca maupun polimer, bisa diproses ulang oleh pabrikan. Hal itu pun berlaku untuk komponen vital lain, seperti rangka aluminium, lembar insulasi, dan kotak penyimpan sel surya atau photovoltaic (PV). Risiko limbah justru muncul dari bagian yang kecil, seperti silikon, perak, timbal, dan timah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Fabby, limbah kecil itu masih diperlakukan seperti sampah biasa oleh konsumen PLTS, terutama segmen rumah alias PLTS atap. Pembangunan PLTS di pulau terpencil pun jarang menyediakan lokasi khusus untuk pengolahan limbah elektronik. Jika tidak diantisipasi sejak dini, IESR memperkirakan limbah panel solar bisa mencapai 1,5 juta ton pada 2050. Angka itu dihitung dari proyeksi pengembangan PLTS dan disesuaikan dengan durasi pengoperasian panel surya yang berkisar 30 tahun per unit. “Makin disebar, kita makin butuh sentra pengolahan limbah PLTS. Kalau tidak, mau dibuang ke mana?”
Tampak atas proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung di atas Waduk Cirata, Jawa Barat, 14 September 2023. Tempo/Tony Hartawan
Sampai akhir 2023, realisasi EBT baru berkisar 13 persen dari target 17,9 persen pada tahun tersebut. Artinya, target bauran EBT yang dicanangkan mencapai 23 persen pada 2025, termasuk dari PLTS, sulit dicapai. Namun ambisi pemerintah untuk membangun PLTS skala besar belum berubah. Merujuk pada data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), kapasitas terpasang PLTS darat ditargetkan mencapai 4,68 gigawatt (GW) pada 2030. Lima tahun sebelum itu, regulator berharap sudah memasang 3,61 GW PLTS atap.
Pembangunan PLTS terapung alias floating solar PV menjadi ambisi berikutnya, mengingat dua pertiga wilayah Indonesia merupakan perairan. Potensi listrik dari matahari di perairan tropis ini pun mencapai rata-rata 4,8 watt-jam per meter persegi. Waduk Cirata di Purwakarta, Jawa Barat, menjadi lokasi pertama penempatan PLTS terapung berkapasitas 192 megawatt peak (MWp). Pemerintah masih melirik potensi pemasangan PLTS terapung berkapasitas total 26,65 GW di 271 lokasi.
Dalam salah satu sesi debat pemilihan presiden pada 21 Januari lalu, PLTS Cirata diungkit calon wakil presiden nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka, sebagai contoh transisi energi hijau yang layak ditiru. “Kita tidak boleh lagi (ada) ketergantungan pada energi fosil,” kata putra Presiden Joko Widodo tersebut.
Menurut Fabby, sisa limbah panel surya tidak bisa ditangani dengan regulasi yang ada. Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) ataupun PP Nomor 27 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Sampah Spesifik, kata Fabby, memerlukan biaya tinggi dan transportasi khusus. Jika diperlakukan seperti B3, limbah PLTS tak akan diperhatikan oleh investor PLTS. “Terbengkalai karena konsumen berfokus ke pengadaan baru. Apalagi harga modul surya makin murah.”
Indonesia, kata dia, bisa mencontoh penanganan limbah PLTS di beberapa negara. Asosiasi Energi Surya Jepang (JPEA), sebagai contoh, memiliki panduan khusus pembuangan limbah panel surya. Para produsen, importir, dan distributor PLTS di Negeri Matahari Terbit itu pun harus menyampaikan informasi kandungan kimia berbahaya dalam panel surya kepada pengelola limbah. Uni Eropa menerapkan prinsip Extended Producer Responsibility (EPR) agar produsen bertanggung jawab menangani sampah elektronik. Skema serupa diterapkan India dengan nama E-waste sejak 2016.
Periset Ahli Utama Bidang Teknologi Elektrokimia Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Eniya Listiani Dewi, juga mendorong penguatan aturan limbah PLTS. Tanpa panduan soal limbah, kata dia, PLTS atap sering dibiarkan mangkrak setelah rusak. “Kalaupun dibongkar, ada kekhawatiran dibuang seperti sampah biasa.”
Aktivitas pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung di atas Waduk Cirata, Jawa Barat, 14 September 2023. Tempo/Tony Hartawan
Pemerintah, dia menyarankan, bisa membangun setidaknya satu atau dua hub pengolahan sampah panel surya. Penanganan limbah bisa menjadi layanan purnajual yang disediakan produsen dan distributor PLTS. “Satu pabrik dulu pun tidak masalah asal berskala besar. Jadi limbahnya bisa diolah semua di sana,” tutur Eniya.
Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Hadi Priyanto mengatakan limbah PLTS belum terkontrol karena sebagian besar komponen vitalnya, terutama sel PV, masih cenderung diimpor. Indonesia hanya kebagian perakitannya. “Kalau bisa, kita produksi sendiri. Otomatis ada perhatian terhadap skema daur ulangnya,” kata Hadi.
Pertanyaan Tempo melalui pesan elektronik kepada sejumlah pejabat Kementerian ESDM ihwal limbah PLTS belum bersahut hingga berita ini diturunkan. Adapun Managing Director PT Utomo Juragan Atap Surya Indonesia Anthony Utomo mengakui belum ada standar khusus mengenai sampah panel surya. Hal itu pun belum didiskusikan secara khusus, mengingat usia PLTS di Indonesia masih panjang. “Memang tidak bisa disamakan dengan B3. Limbah PLTS harus diatur dengan memperhatikan prinsip keberlanjutan,” katanya, kemarin.
YOHANES PASKALIS
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo