Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Menuju 30 Persen Kawasan Lindung

Konferensi Biodiversitas Perserikatan Bangsa-Bangsa atau COP15 Montreal menuntut setiap negara mengalokasikan 30 persen wilayahnya sebagai kawasan lindung pada 2030. Luas daerah konservasi di Indonesia baru 12 persen. Jatna Supriatna, guru besar biologi konservasi Universitas Indonesia, menulis sejumlah langkah yang pemerintah dapat lakukan untuk memenuhi target tersebut.

5 Januari 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Akhir tahun lalu, Konferensi Biodiversitas ke-15 Perserikatan Bangsa Bangsa (COP15) menyepakati Kerangka Kerja Biodiversitas Kunming-Montreal 2022 yang memuat empat tujuan dan 23 target pelestarian keanekaragaman hayati di muka bumi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Salah satu target yang cukup kontroversial adalah penetapan kawasan lindung (protected areas) minimum 30 persen masing-masing dari total wilayah daratan, perairan darat, laut, dan pesisir di setiap negara pada 2030.

Indonesia, sebagai salah satu negara peserta, juga harus memenuhi target tersebut. Namun pemerintah memberi catatan bahwa negara maju harus membantu pembiayaannya lantaran ongkos penetapan kawasan lindung amat besar, sekitar US$ 700 miliar (sekitar Rp 10.914 triliun).

Sejauh ini, kawasan lindung di daratan Indonesia mencapai 12,2 persen dari total luas daratan. Angka ini bisa lebih besar—mungkin melebihi 30 persen—apabila dihitung dengan kawasan hutan yang dikenai kebijakan moratorium perkebunan.

Pekerjaan rumah sebetulnya ada di lautan. Per 2021, baru sekitar 3,1 persen dari total luas lautan yang berstatus kawasan lindung. Kementerian Kelautan dan Perikanan menargetkan perluasan kawasan lindung laut hingga 30 persen baru tercapai pada 2045.

Tujuan dan target baru yang disepakati dalam COP15 lalu semestinya menjadi pemantik bagi pemerintah Indonesia untuk mengubah cara pandang pengelolaan kawasan lindung. Salah satunya adalah perubahan paradigma bahwa konservasi merupakan urusan pemerintah semata.

Padahal biodiversitas—terkait dengan seluruh makhluk hidup di muka bumi—adalah hajat hidup orang banyak, bahkan melampaui batas-batas negara. Berangkat dari pandangan ini, pemerintah harus menggerakkan seluruh elemen masyarakat untuk turut andil dalam pelestarian keanekaragaman hayati sesuai dengan tujuan global yang telah disepakati.

Menggerakkan Partisipasi

Kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) yang sebagian lahannya telah beralih fungsi menjadi ladang perkebunan terlihat dari Kayu Aro Barat, Kerinci, Jambi, 14 Desember 2022. ANTARA/Wahdi Septiawan

Paradigma lama memuat urusan pelestarian biodiversitas melalui penetapan kawasan lindung yang tidak boleh dirambah siapa pun. Namun, selain sudah usang, pandangan ini justru memicu sejumlah masalah sosial, misalnya eksklusi masyarakat tradisional yang hidup di suatu kawasan lindung.

Sedangkan pandangan baru merekomendasikan kawasan lindung yang memuat sejumlah area dengan peruntukan tertentu agar lebih inklusif serta mengakomodasi kepentingan sosial, ekonomi, dan ekologi yang lebih luas.

Di dalam kawasan lindung, ada area tertentu yang dikhususkan untuk perlindungan spesies. Namun ada juga area-area khusus, dari perikanan tradisional di lautan hingga pertambangan (dengan standar operasional yang amat ketat) di daratan.

Hal ini diperkuat oleh Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) sejak 2008 yang memiliki panduan penetapan kawasan lindung untuk mengharmoniskan konservasi dengan masyarakat.

Salah satu contohnya di Taman Nasional Gede Pangrango dan Taman Nasional Gunung Halimun Salak di Jawa Barat. Kawasan lindung ini merupakan sumber air bagi jutaan warga Jabodetabek. Pengelola kawasan ini semestinya menghitung jasa ekosistem yang timbul karena pemanfaatan air tersebut, lalu memungut bayaran dari korporasi yang menyedot airnya. Nantinya dana itu dapat digunakan kembali untuk aktivitas konservasi di taman nasional.

Aktivitas ekowisata juga menjadi sektor usaha berkelanjutan yang menjanjikan. Pemerintah dapat melibatkan masyarakat dan pihak swasta untuk mengelola area tertentu di dalam kawasan lindung untuk menjaga kelestariannya sekaligus menjadi pengungkit aktivitas ekonomi di sekitarnya.

Di Indonesia, ada praktik ekowisata bersama warga sekitar Taman Nasional Gunung Leuser di Kabupaten Tangkahan, Sumatera Utara. Di Tangkahan, warga desa memanfaatkan sekitar 17.500 hektare kawasan taman nasional menjadi kawasan wisata alam liar.

Contoh lainnya dapat dilihat di Hawaii, yang memiliki kawasan lindung laut seluas 150 juta hektare sejak 2016. Di kawasan ini, pemerintah Amerika Serikat masih membolehkan aktivitas perikanan tradisional dan pariwisata.

Berakar dari Riset

Taman Nasional Gunung Gede Pangrango di Cibodas, Jawa Barat. TEMPO/Subekti

Karena mengakomodasi berbagai fungsi, pengelolaan kawasan lindung yang inklusif mungkin akan lebih rumit ketimbang sekadar memasang "pagar-pagar" di kawasan lindung. Untuk itu, pemerintah membutuhkan panduan-panduan yang berbasiskan bukti ilmiah untuk meredam risiko kerusakan ataupun konflik yang ada di kemudian hari.

Hal pertama yang harus dilakukan adalah melakukan gap analysis atau analisis ketimpangan. Berapa banyak perluasan kawasan lindung yang dibutuhkan di darat dan laut untuk memenuhi target COP15?

Berikutnya, pemerintah harus melakukan riset untuk mengidentifikasi daerah-daerah potensial yang dapat menjadi kawasan lindung. Penelitian lanjutan juga dibutuhkan untuk mengenali area-area penting bagi kelangsungan populasi suatu spesies ataupun aktivitas manusia, seperti pariwisata, kehutanan, dan perikanan.

Kawasan lindung ini juga dapat mencakup ruang hidup bagi masyarakat adat. Namun pengelolaan area tersebut perlu diawasi. Jangan sampai kearifan adat tercemar oleh pengaruh pihak-pihak luar yang hanya ingin mengeksploitasi area tersebut. Harus ada mekanisme reward and punishment untuk menjaga kelangsungan wilayah adat.

Perubahan Regulasi

Peraturan di Indonesia masih belum mengakomodasi kebijakan kawasan lindung yang inklusif, misalnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Aturan ini sudah berusia lebih dari tiga dekade sehingga membutuhkan perubahan-perubahan.

Sejak beberapa tahun lalu, Dewan Perwakilan Rakyat mulai merencanakan perubahan ini. Demi pemenuhan target COP15, perubahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 harus menjadi proyek prioritas, terutama perlunya memasukkan kebijakan kawasan lindung yang multiguna.

Tak hanya di tingkat pusat, pakar-pakar konservasi juga harus bergerak ke pemerintah daerah. Harapannya, kebijakan konservasi lebih menekankan tanggung jawab bersama, bukan hanya pemerintah pusat.

---

Artikel ini pertama kali terbit di The Conversation.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus