Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Citatah di Simpang Jalan

Penambangan batu di kawasan karst Citatah mengancam fungsi alamiah gugusan bukit kapur itu. Bila diteruskan, bisa berakibat terkurasnya cadangan air dan pergeseran tanah.

28 Juni 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JALAN sepanjang lima kilometer di kawasan pegunungan karst Citatah, Padalarang, terasa sangat panjang dan membosankan. Senin pekan lalu, mobil pribadi dan kendaraan kecil harus berjalan lambat mengekor truk biawak—sebutan warga setempat untuk truk tua bermoncong pengangkut batu kapur—yang merayap dengan raungan kencang. Asap knalpot dan debu material yang tersapu angin kerap menutupi pandangan pengemudi di belakangnya.

Puluhan truk yang berusia tiga dekade lebih itu menjadi penguasa jalan, apalagi setelah jalur Padalarang tak lagi ramai karena pengendara rute Bandung-Jakarta lebih memilih jalan tol Cipularang. Tiap truk bisa mengangkut sepuluh ton material alam, yang terdiri atas batu kapur, gamping, dan granit, dari lahan yang seharusnya menjadi kawasan konservasi itu menuju pabrik marmer yang tak jauh dari lokasi tambang.

Dua pekan lalu, Pemerintah Kabupaten Bandung Utara menghentikan kegiatan dua puluhan perusahaan tambang yang tidak mengantongi izin bupati. Penertiban itu dilakukan atas desakan penggiat lingkungan, antara lain Kelompok Riset Cekungan Bandung, karena kerusakan kawasan karst kian memprihatinkan. ”Sekitar 70 persen dari 20 kilometer bentang karst itu sudah rusak,” kata Bachtiar, anggota Kelompok Riset.

Toh, penghentian kegiatan tambang tak resmi tersebut dianggap belum cukup untuk menghentikan kerusakan di Citatah. Hingga hari ini, puluhan ”biawak” terus mengangkut material dari Citatah. Menurut Bachtiar, seluruh kawasan karst harus bebas total dari kegiatan tambang. Jika tidak, hanya dalam sepuluh tahun, dipastikan fungsi karst sebagai deposit air yang menghidupi warga di sekitarnya akan hilang.

Kawasan karst Citatah merupakan bentang batu kapur tertua di Jawa, yang terbentuk 30 juta tahun silam. Proses geologi yang terjadi sekian lama itu menghasilkan permukaan yang luar biasa, dari pembentukan lubang-lubang vertikal, sungai-sungai, dan mata air bawah tanah, hingga gua serta sistem drainase bawah tanah yang kompleks. Karst merupakan bentangan di dasar laut yang terangkat membentuk daratan baru.

Karst Citatah merupakan bagian dari karst Rajamandala yang memanjang dari Tagog Apu di Padalarang hingga Sukabumi. Bentuknya yang menyerong diyakini sebagai batas laut dangkal, dan membuktikan bahwa kawasan Bandung sekarang hingga teluk Pangandaran pernah berada di bawah permukaan laut. Beberapa kawasan itu yang ditumbuhi terumbu karang lalu mati, dan terangkat menjadi gamping.

Penelitian yang dilakukan ahli morfologi karst Universitas Gadjah Mada, Eko Haryono, membuktikan karst merupakan salah satu penangkap karbon, yang menjadi penyebab naiknya suhu bumi. Karst Citatah merupakan bagian dari karst Jawa yang menyerap hingga 1,16 juta ton karbon dioksida (CO2) setiap tahun. Penambangan akan merusak siklus hidrologi di karst sehingga tak mampu menyerap karbon.

Pemerintah pusat dan Provinsi Jawa Barat sebenarnya telah menerbitkan peraturan perlindungan kawasan karst. ”Semua kawasan karst termasuk dalam kategori kawasan lindung sebagai penyimpan air. Air bisa tersimpan di bawah karst sampai empat bulan,” kata Kepala Bidang Konservasi Sumber Daya Alam dan Mitigasi di Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah Jawa Barat, Dewi Nurhayati.

Selain menyimpan air, karst Citatah punya simpanan unik berupa situs purbakala manusia Pawon, yang ditemukan di salah satu gua di pegunungan kapur itu. Dewi menduga masih ada situs lainnya, hanya belum ditemukan. Kawasan tersebut juga berpotensi untuk dikembangkan menjadi tujuan wisata alam dengan beragam bentukan bukit kapur yang unik, di antaranya Bukit Gunung Hawu, yang terlihat mirip jembatan.

Menurut Dewi, karst Citatah mulai rusak parah setelah era reformasi 1998. Ketika itu, siapa pun merasa berhak mengambil batu. Kegiatan tambang nyaris tak terkendali hingga melibas bukit-bukit kapur yang seharusnya dilindungi. Penerbitan izin juga menjadi masalah. Penambang kadang hanya memegang izin dari camat untuk menggerus kapur. ”Padahal camat tidak punya wewenang memberikan izin,” katanya.

Akibatnya penambangan membabi buta, perbukitan Karang Panganten nyaris terpapas habis. Juga Gunung Masigit yang rompal di sejumlah sisinya. Bila kita melintas di sepanjang kawasan itu, nyaris tak ada bukit yang terlihat utuh. Satu-satunya yang masih terjaga adalah karst yang berada di bukit Gunung Manik. Bukit itu aman dari para penambang karena menjadi lokasi latihan Komando Pasukan Khusus.

Terpapasnya perbukitan kapur oleh penambang sudah menunjukkan dampak negatif. Warga desa di seputar bukit Gunung Masigit, misalnya, mulai mengeluh kekurangan air. Di Kampung Cipanyusuan—yang berarti mata air—tak ada mata air yang tersisa. ”Penambangan karst membuat kering mata air, padahal sepuluh tahun lalu saya masih mendapati satu mata air,” kata Bachtiar.

Pengambilan material yang menyebabkan menipisnya formasi karst Rajamandala dikhawatirkan akan memudahkan air meresap jauh ke bawahnya, yang disebut para pakar geologi sebagai formasi Batu Asih. Menurut Bachtiar, sifat formasi Batu Asih mirip sabun batangan jika kena air. ”Jadi formasi yang ada di atasnya bisa tergelincir. Jangan kaget kalau jalan raya bergeser. Itu yang mengerikan,” katanya.

Air hujan yang meresap hingga formasi batuan itu akan memicu gerakan tanah yang berpotensi terjadi di sepanjang Padalarang sampai Rajamandala. Kondisi itu sempat terjadi pada 1970-an. Jalan aspal bergeser, kendati aktivitas penambangan belum gila-gilaan. Nah, dengan curah hujan tinggi belakangan ini, bukan tidak mungkin terjadi pergeseran tersebut.

Tentu bukan perkara mudah menghentikan total kegiatan tambang yang sudah berumur puluhan tahun dan menyangkut hajat hidup ribuan keluarga. Kepala Bidang Konservasi Dewi Nurhayati mengatakan upaya pemerintah menawarkan alternatif usaha kepada warga kerap ditolak warga dan, sudah pasti, pengusaha tambang. ”Kami sudah melakukan usaha itu sejak dua tahun lalu,” kata Dewi.

Buat penambang, menjadi pengumpul batu seolah satu-satunya cara buat bertahan hidup. Hasilnya tak terlalu buruk untuk pekerja kasar. ”Saya pernah dapat Rp 100 ribu per hari,” kata Ita, 59 tahun. Dengan bayaran sebesar itu, berarti Ita harus mengumpulkan 20 ton bebatuan. ”Saya tidak bisa kerja yang lain, sempat jadi sopir tapi berhenti karena rabun,” kata pria yang menafkahi seorang anak dan tiga cucu itu.

Bagi penambang, sudah pasti penutupan tambang secara total akan menghentikan perputaran uang yang mencapai triliunan rupiah di kawasan itu. ”Pelarangan tambang sepekan terakhir ini saja sudah membuat sepuluh pengusaha tambang gulung tikar,” kata Asep Suherman, Ketua Asosiasi Penambang Batu. Ia juga mengkritik pemerintah yang tak melibatkan penambang dalam membahas kawasan karst Citatah.

Untuk pemecahan masalah sementara, Bachtiar mengusulkan membuat zonasi perlindungan kawasan karst. Beberapa bukit boleh dijadikan kawasan tambang, tapi ada yang dipertahankan untuk konservasi dan laboratorium alam. Pemerintah, baik pusat, provinsi, maupun kabupaten, tentu harus segera bertindak. Penundaan hanya akan menambah parah kerusakan, karena truk biawak tak henti mengangkut bebatuan.

Adek Media, Ahmad Fikri (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus