Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

COP28 Dubai: Konferensi Menagih Dosa Emisi

Setiap negara akan melaporkan penurunan emisi gas rumah kaca di konferensi iklim COP28 Dubai. Indonesia belum mencapai target.

3 Desember 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Dubai, sekitar 70 ribu orang yang mewakili 197 negara akan tumplak di Dubai Expo City, lokasi Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa Ke-28 atau Conference of the Parties 28 (COP28). Di ibu kota Uni Emirat Arab, negara yang penduduknya memproduksi 27,8 ton emisi setara CO2 per tahun, itu mereka akan berembuk merumuskan cara mencegah krisis iklim.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Agenda utama pertemuan tahunan iklim negara anggota PBB, perwakilan industri, utusan lembaga masyarakat, media, dan para ahli lingkungan itu adalah menagih janji semua negara dalam upaya mengurangi emisi gas rumah kaca. Emisi gas rumah kaca adalah pemicu pemanasan global yang membuat suhu tahun ini naik 1,2 derajat Celsius dibanding pada masa praindustri 1790-1800.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam COP28 tahun ini, setiap negara harus melaporkan capaian penurunan emisi mereka seperti dalam proposal kepada PBB yang disepakati dalam Perjanjian Paris 2015. Istilahnya global stocktake. Dalam COP21 waktu itu, semua negara yang menandatangani kesepakatan harus menurunkan emisi setidaknya 50 persen dari produksi emisi global sebanyak 50 miliar ton setara CO₂.

Selain menagih penurunan emisi, COP28 yang berlangsung pada 30 November-12 Desember 2023 itu mesti menyepakati pengumpulan dana kerugian dan kerusakan atau loss and damage negara-negara maju dan industri besar. Janji pengumpulan dana US$ 100 miliar per tahun untuk membantu negara miskin dan berkembang dalam memitigasi dan beradaptasi dengan dampak perubahan itu gagal disepakati dalam COP27 di Mesir tahun lalu.

Selama lima tahun, para pelobi industri dan negara maju berhasil mengulur waktu kesepakatan dana patungan itu. Padahal, tiap kali kesepakatan itu tertunda, dana mitigasi dan adaptasi iklim yang dibutuhkan negara-negara miskin dan berkembang untuk memulihkan lingkungan yang rusak akibat krisis iklim bertambah besar.

Lebih dari 100 anak muda adat Papua mengikuti Forest Defender Camp di hutan desa milik masyarakat adat Knasaimos di Kampung Manggroholo-Sira, Sorong Selatan, yang diselenggarakan oleh Greenpeace Indonesia, 21 September 2023. Salah satu agenda acara ini adalah menyerukan penyelamatan hutan dan pengakuan masyarakat adat kepada pemerintah/Tempo/Hendrik Yaputra

Menurut Presiden COP28 Sultan Ahmed Al Jaber, agenda utama Konferensi Iklim PBB di negaranya adalah evaluasi penurunan emisi karbon setiap negara dan pengumpulan dana loss and damage. Edvin Aldrian, Wakil Ketua Kelompok Kerja I Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), mengatakan dua agenda itu berhubungan.

Global stocktake memang menjadi agenda sentral COP28. “Dari sini akan ketahuan berapa dosa emisi masing-masing negara,” kata Edvin. Jika sebuah negara dianggap tidak memenuhi target penurunan emisi yang mereka ajukan kepada PBB, negara tersebut tidak akan mendapatkan dana mitigasi dan adaptasi iklim. “Mereka malah bisa disuruh bayar,” tutur Edvin pada Selasa, 28 November lalu.

Evaluasi IPCC, panel ahli lintas negara yang dibentuk PBB, sangat krusial. Sebab, kenaikan suhu bumi kian mendekati 1,5 derajat Celsius—batas bawah bumi memasuki puncak krisis iklim. Para ahli di IPCC menghitung, dengan melihat konsentrasi gas karbon dioksida di atmosfer yang menembus 420,4 parts per million (ppm) per November 2023, target menahan pemanasan bumi yang disepakati dalam Perjanjian Paris itu tak akan tercapai.

Batas aman konsentrasi karbon dioksida—gas yang paling banyak berada di atmosfer—sebesar 350 ppm. Dengan lonjakan konsentrasi karbon dioksida itu, kenaikan suhu bumi melesat dari perkiraan awal para ahli lingkungan. Karbon dioksida berasal dari aktivitas manusia, terutama pembakaran energi fosil.

Dalam kalkulasi Climate Action Tracker, lembaga kajian pemantau krisis iklim, jikapun semua negara bisa mencapai target penurunan emisi dalam dokumen nationally determined contribution (NDC) yang mereka ajukan, suhu bumi tetap akan naik 2,7 derajat Celsius pada 2100. Batas kenaikan suhu 1,5 derajat Celsius itu kenaikan suhu yang sebisa mungkin dicegah terjadi pada 2030.

Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Laksmi Dhewanthi mengungkapkan, global stocktake merupakan agenda utama pemerintah Indonesia. Di NDC yang diajukan dalam COP27, Indonesia akan meningkatkan penurunan emisi dari 29 persen menjadi 31,89 persen dengan usaha sendiri.

Angka tersebut dihitung dari prediksi jumlah emisi Indonesia pada 2030 yang sebesar 2,89 miliar ton setara CO2. Dari siaran Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 18 Oktober 2023, penurunan emisi Indonesia masih jauh dari target. Sektor kehutanan yang punya target menurunkan emisi 214 juta ton baru bisa mencatatkan penurunan emisi 180 juta ton. Sektor energi yang diizinkan memproduksi emisi maksimal 358 juta ton pada 2030 masih menguapkan gas rumah kaca 580 juta ton.

Agenda lain yang akan dibawa pemerintah Indonesia, Laksmi menambahkan, menyangkut aksi mitigasi. Dalam COP27 ada kesepakatan Sharm el-Sheikh Mitigation Ambition and Implementation Work Programme. Indonesia berharap detail pelaksanaan program itu dibahas dalam COP28. “Kami akan menyampaikan mitigasi dengan contoh, di sektor kehutanan dan lahan, sektor energi, ataupun sektor-sektor lainnya,” ucapnya.

Dalam sektor kehutanan dan penggunaan lahan, pemerintah Indonesia akan menyampaikan penurunan emisi lewat FOLU Net Sink 2030. Program yang menyeimbangkan penyerapan dan produksi emisi gas rumah kaca ini mematok target bisa menghasilkan emisi negatif sebesar 120 juta ton setara CO2.

Program lain yang menjadi andalan pemerintah Indonesia untuk menurunkan emisi adalah perdagangan karbon dan transisi energi fosil ke energi terbarukan. Pada September lalu, pemerintah meluncurkan bursa karbon sebagai instrumen perdagangan karbon. Namun bursa yang digadang-gadang bisa mengumpulkan dana Rp 3.000 triliun itu ternyata sepi peminat. Tak jelasnya pengukuran dan mekanisme perdagangan sertifikat pengurangan emisi membuat para pelaku perdagangan karbon tak segera masuk bursa.

Para aktivis organisasi lingkungan yang mengirim perwakilan ke COP28 mengaku tidak mengetahui persis agenda atau perhatian utama pemerintah Indonesia dalam konferensi itu. Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, menyebutkan target FOLU Net Sink tidak jelas karena pemerintah tidak tegas meminta pengusaha tidak membuka hutan di area konsesi mereka. “Di sektor ini kami melihat masih ada potensi deforestasi,” ujarnya, Senin, 27 November lalu.

Manajer Kampanye Hutan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Uli Arta Siagian menambahkan, FOLU Net Sink tak menghitung potensi deforestasi dari pertambangan. Di Sulawesi atau Maluku, ada 4 juta hektare lokasi tambang nikel di kawasan hutan.

Skema perdagangan karbon juga dikritik aktivis lingkungan. Bursa karbon, menurut Iqbal Damanik, tak ubahnya pencucian hijau atau greenwashing. Industri bisa membayar kredit karbon mereka di bursa tanpa paksaan menurunkan emisi dari proses industrinya. Iqbal menyebut perdagangan karbon sebagai solusi palsu krisis iklim.

Sebab, perdagangan karbon juga memicu konflik sosial. Arman Moehammad dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara mengatakan konflik karbon telah terjadi di Pulau Aru, Maluku Utara. Di sana, sebuah perusahaan merampas lahan masyarakat adat untuk dijadikan lokasi proyek penyerapan emisi. Karena itu, Iqbal menambahkan, pemerintah akan kesulitan mencapai target penurunan emisi jika pembangunan ekonomi masih mengandalkan industri ekstraktif. “Lepas dari industri ekstraktif juga sulit karena bohir politik pengusaha di sektor itu,” katanya. 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Konferensi Menagih Dosa Emisi"

Abdul Manan

Abdul Manan

Meliput isu-isu internasional. Meraih Penghargaan Karya Jurnalistik 2009 Dewan Pers-UNESCO kategori Kebebasan Pers, lalu Anugerah Swara Sarasvati Award 2010, mengikuti Kassel Summer School 2010 di Jerman dan International Visitor Leadership Program (IVLP) Amerika Serikat 2015. Lulusan jurnalisme dari kampus Stikosa-AWS Surabaya ini menjabat Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Indonesia 2017-2021.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus