Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Sebab-sebab Cuaca Panas Ekstrem Melanda Indonesia

Posisi matahari, peralihan musim, pemanasan perkotaan, dan pemanasan global membuat cuaca panas. Bukan gelombang panas.

7 Mei 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENDAPATI siklus hidup tanaman anggrek yang ia rawat di Kebun Raya Cibodas, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, tengah berubah, Destri kelimpungan. Tiba-tiba beberapa jenis tanaman anggrek tidak mau berbunga dan berbuah. Destri menduga perubahan itu terjadi lantaran kenaikan suhu udara yang memicu cuaca panas di wilayah Cibodas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Destri merupakan Peneliti Ahli Muda Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Lebih dari dua dekade, ia bertugas meneliti taksonomi pelbagai spesies anggrek di Kebun Raya Cibodas. Dalam kurun waktu itu, ia telah mengamati perubahan siklus hidup anggrek. “Beberapa tahun belakangan terjadi perubahan siklus bunga dan buah yang datang lebih cepat atau kadang sangat terlambat,” kata Destri pada Senin, 6 Mei 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Destri, terjadi perubahan karena tanaman anggrek sangat bergantung pada siklus iklim. Misalnya, ketika musim hujan sedang berhenti, pertumbuhan bunga akan menjadi terlambat. Tidak hanya pada anggrek, pohon sakura juga bergantung pada siklus hujan. Pohon asal Jepang itu kini sedang meranggas karena musim kemarau tiba-tiba saja melanda. Semestinya pohon itu dipenuhi bunga merah muda pada medio Mei hingga Juli. “Dugaannya karena cuaca yang berubah-ubah.”

Perubahan cuaca yang dirasakan Destri merupakan fenomena iklim yang semakin tak menentu di tanah Cibodas. Dalam satu waktu, cuaca dengan cepat berubah dari panas terik menjadi hujan atau sebaliknya. Musim juga berubah dengan cepat karena dampak El Nino dan La Nina. Dampak yang ia rasakan adalah peningkatan suhu yang biasanya 15 derajat Celsius menjadi 21 derajat Celsius pada saat subuh.

Peningkatan suhu ini belakangan secara intensif dipotret oleh BRIN. Peneliti dari Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN, Didi Satiadi, menyatakan beberapa negara di Asia Tenggara serta Asia Selatan tengah menghadapi peningkatan suhu udara. Ia lantas memampangkan peta citra satelit yang ditandai dengan perubahan warna gelap di India, Bangladesh, Thailand, Vietnam, Malaysia, Filipina, dan tak terkecuali Indonesia. “Suhu di Indonesia cenderung tinggi, tapi tak sepanas negara-negara lain,” ucap Didi.

Pemudik bersepeda motor berteduh dari teriknya matahari saat fenomena suhu panas di Pelabuhan Ciwanda, Cilegon, Banten, 7 April 2024. TEMPO/M Taufan Rengganis

Penyebab Cuaca Panas

Menurut Didi, ada beberapa faktor yang menyebabkan suhu yang terasa panas di Indonesia saat ini. Pertama, posisi semu matahari saat ini baru saja melintasi garis khatulistiwa. Dengan matahari hampir tegak lurus di atas Indonesia, radiasi maksimum terjadi sehingga suhu di Indonesia cenderung lebih panas.

Faktor kedua, kata dia, Indonesia saat ini berada dalam masa peralihan menuju musim kemarau pada Mei. Dengan demikian, jumlah uap air dan tutupan awan juga cenderung berkurang. Berkurangnya tutupan awan meningkatkan jumlah radiasi matahari yang mencapai permukaan bumi, yang pada gilirannya meningkatkan suhu.

Faktor ketiga, Didi melanjutkan, fenomena perubahan tata guna lahan dan pemanasan di wilayah perkotaan juga berkontribusi pada peningkatan suhu, terutama di perkotaan. Adapun faktor keempat adalah dampak dari pemanasan global yang makin terasa. Didi menyebutkan 2023 tercatat sebagai tahun terpanas yang pernah ada dan puncaknya terjadi pada April.

“Dengan demikian, posisi matahari, peralihan musim, pemanasan perkotaan, dan pemanasan global semua berperan dalam suhu yang terasa panas saat ini,” kata Didi. Kemudian dia memastikan bahwa suhu yang meningkat ini bukan sebagai gelombang panas. 

Menurut dia, gelombang panas biasanya ditandai oleh suhu maksimum harian lebih tinggi daripada suhu maksimum rata-rata hingga 5 derajat Celsius atau lebih yang bertahan selama beberapa hari. Hanya, kecil kemungkinan hal itu bakal terjadi di Indonesia. Didi mengatakan letak Indonesia berada di garis khatulistiwa yang umumnya memiliki tekanan udara rendah dan dipengaruhi rotasi bumi yang kecil.

Di wilayah Indonesia, proses konveksi cenderung lebih mudah terjadi karena tekanan udara rendah sehingga panas dapat lebih mudah tersebar dan tidak mudah terjebak di satu tempat. Selain itu, sebagai wilayah benua maritim, Indonesia memiliki kandungan air yang besar sehingga umumnya mampu menyerap panas dengan baik.

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, menyebutkan sejak lama para ilmuwan yang tergabung dalam Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim atau Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) memprediksi adanya cuaca ekstrem akibat perubahan iklim. “Sejak penandatanganan Perjanjian Paris, para ilmuwan sudah menduga bahwa suhu bumi akan meningkat 1,5 derajat Celsius dari masa pra-revolusi industri bila pola perekonomian dunia tidak berubah,” ucapnya.

Perekonomian dunia yang dimaksudkan adalah basis ekonomi yang digerakkan oleh industri yang menghasilkan emisi gas rumah kaca. Di antaranya deforestasi atau pembabatan hutan, pembakaran batu bara, dan segala aktivitas ekonomi yang mengandalkan ekonomi kotor. Tak terkecuali tumbuhnya pabrik-pabrik di banyak negara dengan mengandalkan energi yang menghasilkan emisi.

Bahkan, menurut Iqbal, negara-negara berkembang, seperti India dan Pakistan, menghadapi banjir serta cuaca panas ekstrem dalam satu waktu. Suhu udara disebut mencapai 40 derajat Celsius. Adapun Indonesia menjadi bagian dari negara yang menghadapi perubahan cuaca. Dia menyebutkan bahwa kita telah mencapai titik pendidihan suhu udara.

Penelitian Malcolm McCulloch dari University of Western, Australia, yang diterbitkan dalam jurnal Nature Climate Change menyebutkan bahwa kenaikan suhu bumi mencapai 1,7 derajat Celsius. Artinya, prediksi ilmuwan sudah terlampau. “Ini terbukti selama gelombang panas baru-baru ini yang belum pernah terjadi di Eropa selatan, Cina, dan sebagian besar Amerika Utara,” demikian yang ditulis McCulloch.

Siluet seorang anak bermain dengan latar belakang matahari bersinar saat fenomena suhu panas di Depok, Jawa Barat, 21 Maret 2024. ANTARA/Yulius Satria Wijaya

Temuan dia, dalam interval akhir periode praindustri, rata-rata suhu permukaan laut dan tanah meningkat 0,9 derajat Celsius. Angka ini jauh lebih banyak daripada pemanasan 0,4 derajat Celsius yang telah diperkirakan IPCC menggunakan kerangka waktu konvensional untuk periode praindustri. Dengan menambahkan angka itu—dengan rata-rata pemanasan global 0,8 derajat Celsius sejak 1990 hingga beberapa tahun terakhir—bumi mungkin telah menghangat setidaknya 1,7 derajat Celsius sejak masa praindustri.“Ini menunjukkan bahwa kita telah melewati target 1,5 derajat Celsius dari Perjanjian Paris,” tutur McCulloch.

Hal itu juga menunjukkan bahwa tujuan utama dari Perjanjian Paris dalam menjaga pemanasan global di bawah 2 derajat Celsius, hampir dua dekade lebih cepat daripada yang diharapkan.“Studi kami juga menghasilkan temuan lain yang mengkhawatirkan, yakni sejak akhir abad ke-20, suhu darat-udara meningkat hampir dua kali lipat dari laju permukaan lautan dan sekarang lebih dari 2 derajat Celsius di atas tingkat periode praindustri.” Hal ini konsisten dengan penurunan permafrost Arktik yang terdokumentasikan dengan baik serta peningkatan frekuensi gelombang panas, kebakaran hutan, dan kekeringan di seluruh dunia.

Peneliti Ahli Utama Klimatologi dan Perubahan Iklim di Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN Erma Yulihastin menjelaskan bahwa di Indonesia diduga telah terjadi panas ekstrem di laut. Ditambah adanya catatan-catatan panas yang disebut sebagai hot spells. “Karena data yang kami cek dari stasiun cuaca pribadi di Bekasi itu menunjukkan rekor panas ekstrem dari suhu maksimum harian yang pernah terjadi dari Desember 2023 sampai Mei 2024.”

Dalam rentang waktu tersebut, Erma mendeteksi suhu yang mencapai 40,6 derajat Celsius pada Januari lalu. Kemudian pada Februari mencapai 39,9 derajat Celsius. Pada bulan-bulan berikutnya, suhu maksimum juga berada di rata-rata 39 derajat Celsius. Dia mengatakan memang cuaca panas pada siang hanya satu atau dua jam. “Tapi, ketika sudah melampaui angka 39 derajat Celsius, itu sudah menjadi perhatian karena sudah ada tren peningkatan.”

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Zacharias Wuragil dan Alif Ilham Fajriadi berkontribusi dalam penulisan laporan ini

Avit Hidayat

Avit Hidayat

Alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas PGRI Ronggolawe, Tuban, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo sejak 2015 dan sehari-hari bekerja di Desk Nasional Koran Tempo. Ia banyak terlibat dalam penelitian dan peliputan yang berkaitan dengan ekonomi-politik di bidang sumber daya alam serta isu-isu kemanusiaan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus