Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
EKSPANSI kebun kelapa sawit disinyalir bakal menggila selepas pemerintah berencana meningkatkan produksi minyak sawit mentah (CPO). Tujuan peningkatan produksi ini adalah menopang program bahan bakar nabati biodiesel 40 atau B40 yang akan direalisasi dalam waktu dekat. Program ini merupakan bagian dari janji kampanye presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pasangan Prabowo-Gibran tak hanya mengejar target B40, tapi juga mencanangkan pencampuran 50 persen minyak sawit ke dalam solar atau B50. Dengan B50, Indonesia dapat menekan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan kendaraan bermotor menggunakan energi baru dan terbarukan (EBT). Program ini bertujuan mencapai sasaran Kontribusi yang Ditargetkan Secara Nasional atau Nationally Determined Contribution (NDC) dari sektor energi, yakni penurunan emisi sebesar 358 juta ton setara karbon dioksida (CO2e) pada 2030.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Makin banyak kebutuhan ester metil asam lemak (FAME)—molekul yang dihasilkan dari CPO—kian banyak lahan sawit yang dibutuhkan. "Makin besar persentase biodiesel dalam solar, potensi konversi lahan dan hutan menjadi perkebunan sawit akan semakin luas," kata peneliti Direktorat Kebun Yayasan Auriga Nusantara, Sesilia Maharani Putri, pada Senin, 29 April 2024.
Pemerintah memberlakukan kebijakan B35 sejak 1 Januari 2023 ke dalam produk hilir yang kita kenal sebagai biosolar. Pencampuran 35 persen FAME ke dalam solar membutuhkan 13,1 juta kiloliter atau setara dengan 13,6 juta ton CPO. Jumlah tersebut diambil dari produksi CPO nasional yang mencapai 45,1 juta ton. Sisanya, 27 juta ton, akan diekspor dan 5 juta ton untuk kebutuhan dalam negeri, seperti produk hilir pangan dan lainnya.
Foto udara kendaraan melintas di areal perkebunan sawit milik salah satu perusahaan di Kalimantan Tengah. ANTARA/Makna Zaezar
Teranyar, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mulai memberlakukan uji coba penggunaan B40 untuk industri non-otomotif. Di antaranya bahan bakar untuk pembangkit listrik, kereta api, kapal, mesin pertanian, mesin industri, dan alat berat pertambangan. Pengujian ini dimulai pada 2022 dan akan rampung pada 2024, dengan proyeksi kebutuhan 17,57 juta kiloliter CPO.
Menurut Sesilia, target 17,57 juta kiloliter CPO merupakan target ambisius untuk memenuhi kebutuhan B40. Padahal selama ini CPO yang mampu diproduksi sebesar 45,1 juta ton, yang berasal dari sekurang-kurangnya 16,8 juta hektare lahan perkebunan sawit pada 2021. Luas tersebut termasuk kebun sawit di dalam kawasan hutan tanpa izin dan ekspansi di luar izin. Artinya, bila pemerintah berniat menambah kandungan nabati ke dalam solar, diperlukan CPO lebih banyak.
Berdasarkan hitungan Auriga Nusantara, 17,57 juta kiloliter CPO setara dengan 19,32 juta ton CPO. Jumlah tersebut tentu kurang 1,22 juta ton CPO bila produksi untuk kebutuhan dalam negeri masih 18,1 juta ton CPO. Kekurangan kebutuhan ini berpotensi membuka lahan baru untuk kebutuhan sawit seluas 1.568.513 hektare. Luas ini setara dengan dua kali wilayah Provinsi Banten.
Sesilia menyebutkan kebutuhan CPO bakal makin melonjak bila pemerintah menjalankan target ambisius berupa B50 atau 50 persen bahan bakar nabati. Berdasarkan kalkulasi Sesilia, diperlukan 20,6 juta ton CPO untuk memenuhinya sehingga makin banyak kebutuhan CPO yang harus disediakan. "Persoalannya, strategi pemerintah untuk memenuhi kebutuhan CPO masih konvensional, yakni berupa ekstensifikasi atau perluasan perkebunan sawit."
Sejak 2006, Indonesia membangun paradigma peningkatan produksi dengan cara ekspansi perkebunan sawit seluas-luasnya. Tidak mengherankan ditemukan 3,37 juta hektare kebun sawit berada di kawasan hutan tanpa izin pada 2019. Walhasil, luas kebun sawit yang semula 7,2 juta hektare pada 2000 melonjak drastis menjadi 17,7 juta hektare pada 2022. Berdasarkan data teranyar pada 2023, luas tumbuhan tropis asal Nigeria itu menembus 18 juta hektare.
Sesilia menyarankan pemerintah agar tak melulu menggenjot perluasan kebun sawit. Justru yang lebih efektif adalah peningkatan produktivitas atau program intensifikasi. Kebijakan ini merupakan cara menggenjot produksi tandan buah segar (TBS) sawit pada kebun yang ada. Terlebih rata-rata produksi sawit nasional hanya 3,97 ton CPO per hektare. "Intensifikasi selama ini tidak berjalan optimal. Padahal perusahaan-perusahaan besar, seperti Musim Mas, mampu menghasilkan rata-rata 5,27 ton CPO per hektare," ucap alumnus Universitas Lampung tersebut.
Bahayanya, bila program intensifikasi gagal, pemerintah bakal kembali menggunakan cara konvensional dengan memperluas kebun. Cara yang lazim dilakukan adalah memberi izin kepada korporasi membabat hutan alam yang tersisa. Apalagi sebelumnya ada 63 ribu hektare hutan yang beralih fungsi menjelma kebun sawit untuk memasok kebutuhan biodiesel. Hutan tersebut berada di Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Sulawesi Tengah.
#Infog Lingkungan 3-Dari Kebun Sawit ke Biodisel
Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto turut mengkritik rencana implementasi penggunaan B40. Menurut dia, kebijakan ini bakal membawa petaka dengan perluasan lahan untuk perkebunan sawit. "Sudah pasti akan ada penambahan luas lahan karena pemerintah belum melihat peningkatan produktivitas melalui mekanisme peremajaan sawit itu penting dilakukan," ucap Darto.
Laporan SPKS bersama Greenpeace Indonesia, Satya Bumi, dan Koalisi Transisi Bersih justru mendapati ekspansi kebun sawit tak berbanding lurus dengan peningkatan produksi CPO. Contohnya, pada 2022, terjadi penambahan luas kebun sawit menjadi 17,77 juta hektare atau meningkat 145 persen dibanding luas pada 2001 yang hanya 7,25 juta hektare. Dalam perbandingan pada periode yang sama, produktivitas CPO hanya naik 30 persen.
Berdasarkan hitungan mereka, pertumbuhan rata-rata tutupan sawit nasional mencapai 401,8 ribu hektare per tahun. Data ini berbanding lurus dengan tren deforestasi yang menghilangkan stok karbon sebesar 342,5 juta ton CO2e per tahun. Jumlah ini hampir setara dengan target pemerintah dalam menurunkan emisi di sektor energi. "Targetnya menekan emisi, tapi biodiesel justru melenyapkan wilayah tangkapan karbon karena adanya alih fungsi hutan menjadi kebun sawit," kata Darto.
Darto juga mempersoalkan bisnis biodiesel yang hanya menguntungkan korporasi raksasa. Pemerintah, kata dia, melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) hanya mengucurkan subsidi dana sawit biodiesel kepada perusahaan-perusahaan besar yang memiliki industri pemurnian FAME. "Padahal petani rakyat memiliki 6,7 juta hektare perkebunan sawit tidak dilibatkan dalam skema biodiesel."
Legal specialist Madani Berkelanjutan, Sadam Afian Richwanudin, turut mengingatkan bahwa pemerintah punya ambisi besar untuk mencapai penggunaan B100 atau 100 persen bahan bakar nabati yang berasal dari CPO. Rencana itu, kata dia, digembar-gemborkan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan sejak 2019. "Bisa dibayangkan berapa luas kebun sawit yang dibutuhkan. Mungkin seluruh daratan bakal menjelma petak-petak kebun sawit," ucap Sadam.
Direktur Utama BPDPKS Eddy Abdurrachman belum merespons permintaan konfirmasi Tempo ihwal rencana pemerintah menggenjot penggunaan bahan bakar nabati B40, B50, ataupun B100. Sebelumnya, dia menyebutkan pihaknya merogoh anggaran sekitar Rp 146,56 triliun untuk membayar insentif biodiesel yang dikucurkan untuk perusahaan-perusahaan produsen FAME. "Totalnya 48,19 juta kiloliter dengan jumlah dana Rp 146,56 triliun (2015-2023)," ucapnya pada 26 Juni 2023.
Tempo berupaya meminta penjelasan dari Direktur Aneka Energi Baru dan Terbarukan Kementerian ESDM Andriah Feby Misna. Namun Feby menolak menjawab ihwal rencana penggunaan B40 dan potensi ekspansi perkebunan sawit. Dia menyarankan Tempo menghubungi pejabat lain di Kementerian ESDM. "PIC-nya bukan saya lagi," tuturnya singkat.
Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM sebelumnya menyatakan telah memberlakukan uji coba penggunaan B40 selama delapan bulan. Penerapan 40 persen minyak sawit dalam bahan bakar ini merupakan uji coba lanjutan pada kendaraan darat yang sebelumnya pernah dilakukan. "Sebelumnya uji coba B40 dilakukan pada kendaraan darat dan berjalan lancar," demikian tertulis dalam keterangan resmi Kementerian ESDM.
Menteri ESDM Arifin Tasrif pernah menyatakan peningkatan biodiesel bakal menghemat devisa nasional karena mengurangi impor solar. Selain itu, akan ada peningkatan nilai tambah dari CPO yang dibuat menjadi biodiesel sebesar Rp 15,8 triliun serta penyerapan tenaga kerja yang besar pada industri refinery. "Penghematan tersebut terjadi lantaran kita bisa mengurangi impor solar, termasuk minyak mentah, karena kita bisa campur dengan FAME," kata Arifin dalam keterangan tertulis yang dipublikasikan pada 16 Januari lalu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo