Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Dari Kebun Jadi Kubangan

Pengusaha galian liar di tangerang sulit ditertibkan. perusak-perusak lingkungan ini akan dituntut bapedal.

12 Desember 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WAJAH beberapa desa di Kecamatan Legok, Cikupa, Curug, dan Serpong (Jawa Barat) telah berubah. Desa-desa itu penuh kubangan besar bekas penggalian tanah dan pasir. Tak heran bila lahan di sejumlah desa tersebut berubah menjadi lahan kritis. Sebab, para penggali pasir itu, menurut Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal), hampir tak ada yang melakukan reklamasi. Lubang-lubang bekas galian dengan kedalaman 15 sampai 20 meter tersebut, selain mudah longsor, juga menciptakan sungai-sungai kecil di dasar kubangan. Di Legok, misalnya, Bapedal menemukan sungai-sungai kecil berdebit 60 liter per detik. Di musim kemarau, menurut lembaga pengendalian dampak lingkungan itu, sungai tersebut jadi biang keladi keringnya sumur penduduk di daerah sekitar galian, karena air tanah tersedot ke sana dan mengalir percuma. "Kalau begini, dari mana penduduk mendapatkan air? Dari sungai? Sungai juga banyak yang tercemar," ujar Antung Deddy, Kepala Subdirektorat Pengendalian Pencemaran Tanah dan Lingkungan Bapedal. Lebih parah lagi, penggalian yang terlalu dalam itu juga mengakibatkan terpotongnya aliran air tanah, sehingga daerah hilir jadi kering. Kerusakan ini, menurut Bapedal, tak mungkin diperbaiki dengan memakai teknologi apa pun. Pemda Kabupaten Tangerang, yang membawahkan empat kecamatan lokasi penggalian tadi, membenarkan telah mengeluarkan 17 izin penggalian dengan konsensi areal sekitar 63 ha. Hanya saja, di samping itu juga ada penggali-penggali liar, yang tentu saja tak mengantongi izin penggalian. Areal yang dijarah para penggali liar, dalam catatan Bapedal, ada sekitar 110 ha. Repotnya, tim penertiban penggalian tanah dan pasir dari Pemda Kabupaten Tangerang tak berdaya menghadapi mereka. "Pengusaha liar ini susah ditertibkan karena banyak yang memakai katebelece dari pejabat," ujar sebuah sumber TEMPO yang tak mau ditulis namanya. Di Desa Jateke, Kecamatan Legok, misalnya, 60 warga desa yang merasa "tertipu" oleh petugas Pemda seperti tak berdaya mempersoalkan kembali tanah mereka seluas 42 ha. Padahal, kasus itu telah diajukan ke Polres Tangerang, Januari lampau, dan pertengahan November lalu disusul lagi dengan pengaduan puluhan warga Desa Jateke ke Menteri Dalam Negeri. Toh hasilnya tetap nihil. Cerita Juhari, penduduk Desa Jateke, suatu hari pada 1985 mereka didatangi oleh petugas agar merelakan tanahnya untuk kepentingan Pemerintah. "Waktu itu dikatakan tanah mau digunakan Pemerintah untuk proyek kedelai dan jagung," katanya. Namun, kenyataannya, ujar Juhari lagi, tanah itu jatuh ke tangan pengusaha. Sebagian tanah sengketa itu kini diusahakan untuk penambangan pasir, dan disebut-sebut sebagai usaha Primkopad -- koperasi milik TNI-AD. Semula penduduk, juga aparat desa, percaya bahwa usaha penggalian pasir di desa itu dilakukan Primkopad, karena truk-truk yang mengangkut galian tersebut memakai stiker Primkopad. "Mana kami berani mengusiknya? Padahal truk-truk itu membuat jalan desa kami rusak," kata mereka. Lantaran tak ada yang berani mengusik, usaha galian itu sempat berjalan lancar meski tak ada izin. Rahasianya? Konon, pengusaha itu mengandalkan secarik memo. Belakangan terungkap bahwa memo kerja sama itu disalahgunakan. Kerja sama itu ternyata hanya sebatas peminjaman angkutan dari Primkopad. Barangkali itu sebabnya usaha galian tersebut sempat ditutup sebentar. Tapi sekarang mereka beroperasi lagi. "Mungkin mereka sudah mendapat izin," kata seorang penduduk. Izin yang diajukan pengusaha itu ke Pemda Kabupaten Tangerang, setelah sengketa mencuat, tampaknya tak ada hambatan. Soalnya, pengusaha itu memiliki bukti pemilikan tanah. "Kami sedang memproses perizinan resminya," kata Benyamin Davni, humas Pemda Tangerang. Barangkali lantaran akan diizinkan itu, meski izin belum di tangan, penambangan pasir telah dilakukan lagi. Sikap merasa sebagai pemilik tanah itu agaknya banyak dianut para penambang pasir di pinggir pantai Desa Tanjungkait, Kecamatan Mauk. Padahal, dilihat dari lokasinya, daerah ini jelas bukan termasuk kawasan yang diperuntukkan Pemda Kabupaten Tangerang sebagai wilayah penambangan pasir. Tapi telah tiga tahun pasir di pinggiran pantai itu digerogoti pengusaha-pengusaha dari Jakarta. Tahun lalu, ketika masa puncak panen pasir, setiap hari sekitar 100 truk mondar-mandir mengangkut pasir ke Jakarta. Kegiatan liar ini baru berhenti sekitar tiga bulan lalu, karena pasirnya telah habis. Penderitaan tinggal bagi 50 keluarga yang berdiam di sekitar daerah bekas galian. Di musim hujan, rumah-rumah penduduk itu bagaikan berada di pulau sebuah danau. Sebentar lagi bukan mustahil rumah mereka ditelan laut, karena proses penggalian tanpa izin mempercepat proses abrasi. Menurut Antung, wajah Tangerang yang makin buruk itu tampaknya tak lagi cukup diatasi dengan penertiban saja. "Sekarang sudah pada tempatnya jika para perusak lingkungan ditindak lewat jalur hukum," ujarnya. Ia menambahkan, perangkat hukum untuk menjaring mereka sudah ada, yakni UU tentang lingkungan hidup, yang mengancam perusak lingkungan dengan hukuman 10 tahun penjara atau denda Rp 100 juta. Bapedal, kata Antung, tengah mempersiapkan tuntutan terhadap para penggali pasir yang merusak lingkungan di Kabupaten Tangerang itu. "Sekarang ini yang tengah kami tuntut adalah pengusaha galian pasir di Ciomas, Bogor," katanya. G. Sugrahetty Dyan K. dan Indrawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus