Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Mengapa Denda Pemutihan Tambang Susut?

Denda administratif pemutihan tambang dinilai tak mampu menutup kerusakan lingkungan. Hitungan denda rentan dikorupsi.

31 Maret 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERJARAK delapan kilometer di barat daya Persemaian Mentawir—pusat pembibitan pohon untuk Ibu Kota Nusantara—di Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, membentang kubangan raksasa yang terabaikan. Kubangan yang dulu tambang batu bara yang luasnya lebih dari 100 hektare itu berada di perbatasan Desa Mentawir dengan Kelurahan Kariangau, Balikpapan Barat, Kota Balikpapan. Di dalamnya, ada setidaknya dua lubang tambang sepanjang tiga lapangan sepak bola yang terisi air berwarna hitam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saat Tempo meninjau bekas tambang batu bara itu pada Selasa, 12 Maret 2024, terlihat melintas tiga truk pengangkut batu bara dari tambang lain yang tengah mengarah ke dermaga perusahaan tambang di pinggir sungai di hulu Teluk Balikpapan. Di depan gerbang tambang, berdiri pos yang tampak tak terurus. Di dekat pos, terpancang papan nama bertulisan: “Areal ini dalam pengawasan dan penyelidikan Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan”.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menerapkan sanksi lantaran pemegang konsesi, PT Mandiri Sejahtera Energindo (PT Mandiri Sejahtera), yang diperkirakan mulai menggangsir tambang itu sejak 2008, tidak mengantongi dokumen persetujuan penggunaan kawasan hutan (PPKH). Padahal lokasinya tepat di tengah hutan produksi tetap yang disahkan KLHK pada 2014. Bahkan ada bagian yang masuk kawasan hutan lindung. Area itu juga bagian dari hutan mangrove yang terdapat dalam peta Badan Restorasi Gambut dan Mangrove.

Pihak yang membabat kawasan hutan tanpa izin sejatinya bisa terkena ancaman pidana paling lama 10 tahun penjara dan denda maksimal Rp 5 miliar. Namun pemerintah memberi ampunan melalui penerbitan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). Dalam Pasal 110A dan 110B, UU Cipta Kerja mengatur impunitas melalui pengenaan denda administratif bagi perkebunan sawit di kawasan hutan tanpa izin. Regulasi ini kemudian diadopsi untuk memutihkan tambang tanpa izin yang berada di kawasan hutan.

PT Mandiri Sejahtera menjadi satu di antara ratusan perusahaan tambang yang mendapat ampunan itu. Pengenaan denda dimasukkan ke Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Data dan Informasi Kegiatan Usaha yang telah Terbangun di Dalam Kawasan Hutan yang Tidak Memiliki Perizinan di Bidang Kehutanan Tahap I-XX. Keputusan tersebut memuat 6.225 subyek hukum, yakni masyarakat, pemerintah, serta korporasi yang dikenai denda administrasi dan ditagih pada medio 2021-2023.

Berdasarkan dokumen yang diperoleh Tempo, denda yang dibebankan kepada PT Mandiri Sejahtera sebesar Rp 1,34 miliar. Hitungan itu muncul dari kerusakan kawasan hutan seluas 12,32 hektare. Tidak jelas bagaimana KLHK menetapkan luas kerusakannya hanya sebesar itu. Perusahaan lantas membayar kewajiban denda kepada negara dan memperoleh dokumen PPKH untuk melanjutkan penggasakan batu bara secara sah.

Analisis pengindraan jauh data spasial Yayasan Auriga Nusantara mendapati luas deforestasi dalam area konsesi PT Mandiri Sejahtera sebetulnya mencapai 61,43 hektare. Pembukaan hutan itu terjadi sejak 2005 hingga 2021. Luas itu diukur berdasarkan pemberlakuan denda yang dihitung sejak 2021 ke belakang. Tempo juga mendapatkan informasi bahwa KLHK tak menghitung aktivitas penggangsiran tanpa izin yang berlangsung hingga saat ini dan diduga dilakukan beberapa pihak dengan luas deforestasi tak kurang dari 100 hektare.

Direktur Informasi dan Data Yayasan Auriga Nusantara Dedy P. Sukmara menjelaskan, pemerintah memberlakukan tarif tunggal atas denda terhadap perusahaan-perusahaan yang membabat kawasan hutan tanpa izin. “Tarifnya adalah Rp 3,5 juta untuk kawasan hutan produksi dan Rp 4 juta untuk kawasan hutan lindung, kemudian dikali 10 kali tarif penerimaan negara bukan pajak (PNBP),” tuturnya.

Hitungan 10 kali tarif PNBP ditetapkan lantaran tidak semua perusahaan menyetorkan laporan keuangan atau hasil audit. Karena itu, pemerintah perlu memberlakukan penyeragaman tarif. Nilai tersebut lantas dikalikan dengan tarif denda tutupan hutan yang dihitung berdasarkan penelaahan kerapatan pohon, yakni 20, 40, atau 60 persen. Kemudian hasilnya dikalikan dengan luas kerusakan hutan dan jangka waktu kerusakan yang disebabkan oleh aktivitas pertambangan ilegal.

Masalahnya, Dedy banyak menemukan kasus serupa PT Mandiri Sejahtera, yakni penghitungan denda tak sesuai dengan luas kerusakan hutan yang digangsir perusahaan. Dari 45 perusahaan yang sudah membayar, sedikitnya 11 membayar denda yang tak sesuai dengan luas kerusakan kawasan hutan. Adapun total perusahaan yang sudah membayar denda kepada pemerintah sebanyak 60 korporasi selama 2021-2024.

Dedy memberi contoh perusahaan berinisial PT BI di Kalimantan Selatan yang semestinya didenda atas kerusakan 712,94 hektare area hutan, tapi hanya dibebani tanggung jawab denda 202,97 hektare. Juga ada korporasi di Kalimantan Tengah berinisial PT HTM yang hanya diganjar denda atas kerusakan hutan 27,26 hektare, padahal deforestasinya sejatinya mencapai 135,78 hektare. Hal sama terjadi pada perusahaan yang lain.

Lokasi tambang batu bara PT Mandiri Sejahtera Energindo di Kelurahan Mentawir, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur pada 13 Maret 2024/Tempo/Abdallah Naem

Direktur Penegakan Hukum Pidana Direktorat Jenderal Penegakan Hukum KLHK Yazid Nurhuda enggan menjawab ketika ditanyai tentang hitungan luas dalam pengenaan denda yang berbeda dengan tangkapan citra satelit. “Bisa (menanyakan) ke Ketua Satuan Pelaksanaan, Pengawasan, dan Pengendalian, karena ketuanya Pak Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono. Saya bagian dari tim itu,” ucapnya.

Yazid kemudian menyarankan Tempo menghubungi Bambang Hendroyono mengenai implementasi penerapan UU Cipta Kerja dalam bidang lingkungan hidup dan kehutanan. Bambang tidak merespons permintaan konfirmasi yang diajukan Tempo. Beberapa pesan yang dikirimkan ke nomor WhatsApp-nya hanya terlihat terbaca tak berbalas.

Berdasarkan laporan kinerja KLHK 2023, tercatat sebanyak 6.225 subyek hukum masuk daftar tagih dalam surat keputusan data dan informasi KLHK periode 2021-2023. Pada 2023 saja, KLHK berhasil menagih 351 denda administratif, di antaranya kepada 166 korporasi, 182 masyarakat atau kelompok tani, dan 3 instansi pemerintah yang beraktivitas di kawasan hutan tanpa izin.

Dalam proses pengenaan denda, pemerintah berwenang menghentikan sementara kegiatan pertambangan, bahkan memberlakukan denda secara paksa. Adapun sanksi bagi masyarakat yang berada di kawasan hutan paling singkat lima tahun penjara dan dengan luas paling banyak 5 hektare dikecualikan dari denda. Instansi pemerintah yang melanggar juga tidak dikenai denda, hanya diperintahkan mengurus izin atau rencana pelepasan kawasan hutan.

Komisi Pemberantasan Korupsi bersama tim Strategi Nasional Pencegahan Korupsi menjadi bagian dari satuan tugas yang dibentuk Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi. Tugasnya adalah mendata korporasi yang menambang di kawasan hutan tanpa izin, termasuk menelusuri perusahaan-perusahaan ilegal yang tak memiliki izin usaha pertambangan (IUP).

Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan mencatat ada 521 perusahaan di Indonesia yang menambang di kawasan hutan seluas 370.410 hektare. Dari jumlah tersebut, perusahaan yang telah memegang dokumen PPKH mencapai 299 di atas 105.037 hektare hutan. “Selain itu, terdapat 500 perusahaan dengan luas tambang 265.373 hektare tidak memiliki dokumen PPKH,” kata Pahala di kantornya, 22 Februari 2024.

Dari tambang yang tak memiliki PPKH itu, sebanyak 62.737 hektare memiliki IUP tapi tidak memegang izin kawasan hutan. Sedangkan 202.637 hektare sisanya tercatat tidak memiliki IUP dan izin pinjam pakai kawasan hutan sehingga tidak teridentifikasi. Perusahaan-perusahaan inilah yang disasar untuk dikenai denda. Sedikitnya 60 perusahaan sudah membayar denda dengan nilai Rp 392,04 miliar. Masih ada 38 perusahaan dengan potensi denda mencapai Rp 699,8 miliar yang belum membayar kewajiban.

“Data tersebut terus bergerak karena masih terdapat subyek hukum yang belum masuk surat keputusan data dan informasi KLHK,” ujar Pahala. Sedangkan sebagian perusahaan yang belum membayar disebut masih keberatan atas nilai denda yang dibebankan. Bahkan ada perusahaan yang mengajukan permohonan mekanisme pembayaran dengan cara mengangsur selama 10 tahun.

Ketika ditanyai tentang denda yang tak sesuai dengan luas kerusakan hutan yang terjadi, Pahala menyebutkan pemerintah sudah menghitung sesuai dengan formulasi yang ada. Selain itu, pemerintah mewajibkan perusahaan memulihkan ekosistem hutan seperti sedia kala. “Adapun pembiayaan pemulihan dibebankan ke perusahaan yang didenda.”

Dalam dokumen akta perubahan nomor 13 tertanggal 15 Mei 2023 yang diunduh dari situs Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, PT Mandiri Sejahtera dimiliki oleh Ketua Umum Partai Bulan Bintang Yusril Ihza Mahendra melalui PT Mahendra Bara Sejahtera. Korporasi ini juga dimiliki beberapa perusahaan, yakni PT Mineral Energi Perkasa, PT Multi Agro Abadi, dan PT Panca Artha Makmur. PT Mandiri Sejahtera memegang konsesi seluas 3.964 hektare untuk menambang batu bara dari bumi Mentawir.

Yusril mengklaim sudah lama menjual saham PT Mandiri Sejahtera miliknya kepada pihak lain. “Mungkin data lama yang Anda lihat,” kata Yusril ketika dimintai konfirmasi pada Kamis, 21 Maret 2024. Yusril menyebutkan tambang tersebut berkonflik tanpa henti karena terjadi tumpang-tindih perizinan. Menurut dia, perusahaannya tak sempat sekali pun menambang di sana. Justru penggangsiran batu bara dilakukan oleh perusahaan lain.

Yusril menegaskan bahwa namanya sudah tidak tercatat sebagai pemilik PT Mandiri Sejahtera. Begitu pula di PT Mahendra Bara Sejahtera yang menjadi pemegang saham mayoritas PT Mandiri Sejahtera. Tempo mengirimkan surat permohonan konfirmasi kepada Direktur Utama PT Mandiri Husendro dan Wakil Direktur Sururudin ke alamat kantor pusatnya di Menara 165, Jalan T.B. Simatupang, Jakarta Selatan. Hingga laporan ini diterbitkan, belum ada jawaban dari pihak perusahaan.

Masalah PT Mandiri Sejahtera bukan cuma soal denda pemutihan tambang. Lokasi pembukaan tambang tersebut sebetulnya berada di atas izin PT Inhutani I Batu Ampar, perusahaan pelat merah yang bergerak di sektor hutan tanaman industri. PT Mandiri Sejahtera juga terlibat sengketa dengan PT Pasir Prima Coal Indonesia (PT Pasir Prima)—perusahaan berbasis di Kota Balikpapan yang dimiliki Hengky Wijaya Oey—yang lebih dulu memegang IUP sejak 2005.

Lamale, 72 tahun, warga Mentawir yang juga bekas karyawan PT Pasir Prima, mengatakan perusahaan itu mendapat IUP dari Yusran Aspar, Bupati Penajam Paser Utara pada kala itu. Sempat berproduksi hingga 2008, PT Pasir Prima lalu dipaksa hengkang karena bupati berikutnya menerbitkan izin baru untuk PT Mandiri Sejahtera. Penambangan dilanjutkan oleh PT Mandiri Sejahtera hingga 2017.

Perseteruan kedua perusahaan ini diduga dimanfaatkan oleh pihak lain yang disinyalir melakukan penambangan pada awal Maret 2024. Padahal lokasi tersebut masih dalam status sita oleh Pengadilan Negeri Penajam Paser Utara sejak 2022. “Mereka menambang mencapai 1.000 ton dalam tiga hari ini,” tutur seorang warga Mentawir yang enggan menyebutkan namanya.

Tempo mengirim surat permohonan konfirmasi kepada pemilik manfaat PT Pasir Prima, Hengky Wijaya Oey, ke kantornya di Jalan Kolonel Syarifuddin Yoes Nomor 088, Kota Balikpapan. Namun, sampai tulisan ini diterbitkan, Hengky belum merespons. 

Ulah PT Mandiri Sejahtera menjadi sorotan konsorsium organisasi masyarakat sipil Bersihkan Indonesia sejak 2019. Salah satu anggota konsorsium yang menyoroti praktik penambangan tanpa izin di dalam kawasan hutan itu adalah Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur. “Perusahaan-perusahaan di ring dua Ibu Kota Nusantara sejak awal kami deteksi akan diuntungkan dengan pemutihan lubang-lubang bekas tambang yang seharusnya direklamasi,” ucap Pradana Rupang, aktivis lingkungan yang kala itu menjadi Dinamisator Jatam Kalimantan Timur.

Pradana mengaku tidak kaget bila perusahaan benar-benar menikmati skema pemutihan melalui mekanisme denda administratif berdasarkan Pasal 110B UU Cipta Kerja. Namun dia menyayangkan denda pemutihan hanya mencakup area seluas 12,32 hektare. Padahal realitasnya bukaan tambang tersebut mencapai ratusan hektare. Menurut Pradana, pemerintah telah membiarkan perusahaan-perusahaan tinggal glanggang dari tanggung jawab reklamasi bekas tambang.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Abdallah Enam dari Penajam Paser Utara berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Susut Denda Pemutihan Tambang"

Avit Hidayat

Avit Hidayat

Alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas PGRI Ronggolawe, Tuban, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo sejak 2015 dan sehari-hari bekerja di Desk Nasional Koran Tempo. Ia banyak terlibat dalam penelitian dan peliputan yang berkaitan dengan ekonomi-politik di bidang sumber daya alam serta isu-isu kemanusiaan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus