Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Edelweis Terancam Tak Abadi

Tergerus hingga tiga perempat dari habitatnya. Peraturan baru kawasan Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango melindungi hidup edelweis di Suryakencana.

31 Mei 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hawa dingin yang menusuk kulit berangsur menghilang diterpa kilau matahari. Pukul enam pagi Selasa pekan lalu, di atas lembah Suryakenca-na, langit cerah. Hanya tampak kabut tipis yang sesekali melintas hingga menyentuh rumput, lalu lenyap ditelan cahaya. Butir-butir embun yang tersisa di pucuk-pucuk edelweis memantulkan sinar keperakan, di padang sepi yang luasnya melebihi lima puluh lapangan sepak bola itu.

Suryakencana identik dengan edelweis. Inilah hamparan setinggi 2.750 meter dari permukaan laut yang dipagari puncak Gunung Gede dan Gumuruh—yang termasuk dalam kawasan Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango, Jawa Barat. Padang rumput yang dibelah parit selebar satu meter itu menjadi habitat edelweis jawa (Anaphalis javanica), yang populer dengan sebutan bunga abadi.

Di lapangan yang disebut Alun-alun Suryakencana itu, edelweis tumbuh berkelompok. Ada yang tersuruk di tepian parit hingga yang bergerombol di kaki gunung yang memagarinya. Setelah hujan sepanjang siang hingga malam, bunga edelweis yang mekar dan bermandikan cahaya menjadi pemandangan elok yang mengobati keletihan para pendaki. Tak bosan rasanya berlama-lama memandangi tiap sudut lembah.

Suryakencana memang tempat favorit para pengunjung taman nasional. Lembah ini merupakan tempat istirahat pendaki yang terkuras tenaganya oleh tanjakan sepanjang enam kilometer dari pos pendakian awal di Gunung Putri, Cipanas. Para pendaki biasanya tiba di alun-alun timur pada sore atau malam hari, lalu menginap semalam sebelum melanjutkan pendakian dua jam ke puncak Gunung Gede.

Sebaliknya, dari pos pendakian Cibodas, Suryakencana menjadi peristirahatan terakhir bagi para pendaki, setelah menuruni puncak. Di sini mereka biasanya menghabiskan waktu dengan berfoto-foto, atau sekadar memandangi gugusan edelweis sambil menikmati embusan sejuk hingga matahari mulai tergelincir ke barat. Selain tempat beristirahat, lembah ini menjadi titik pengambilan air minum.

Melihat rerimbunan edelweis di Suryakencana seolah semua baik-baik saja. Kelopak bunga yang mekar, menghampar putih, dan aneka serangga yang mengitarinya di padang yang sunyi rasanya jauh dari ancaman. Tapi, bagi pendaki yang pernah berkunjung ke sana tiga dekade silam—ketika mendaki gunung hanya dilakukan segelintir pencinta alam—dan kembali lagi sekarang, ancaman bagi edelweis tampak nyata.

Adia Fiska, pencinta alam yang bolak-balik mendaki Gunung Gede-Pangrango pada pengujung dekade 1980, mengatakan jumlah edelweis saat ini jauh berkurang. ”Memang tumbuh berkelompok, tapi dulu sangat padat. Tak hanya di tepi parit atau tebing, tapi di jalur pendakian,” katanya. Selain itu, Suryakencana lebih rimbun karena masih banyak pohon cantigi—yang kayunya menjadi sasaran pendaki untuk membuat api.

Menurut Kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango Sumarto, rehabilitasi edelweis menjadi prioritas Balai. ”Jumlah edelweis yang tersisa hanya 25-30 persen dari luas habitatnya,” ujar Sumarto. Maka, selain aturan ketat soal pendakian, Balai sedang menyiapkan aturan membatasi kontak pendaki dengan edelweis. ”Akan dibuat koridor khusus untuk berfoto dan menyentuh,” katanya.

Penyelamatan edelweis tak melulu demi alasan estetika. Bunga ini merupakan tumbuhan pelopor bagi tanah vulkanik muda di pegunungan. Edelweis dapat tumbuh di kawasan tandus dan menyuburkan tanah di sekitarnya. Biasanya edelweis menjadi tumbuhan yang paling mudah hidup di tanah bekas kebakaran. Edelweis menjadi rumah dan tempat bermain bagi ratusan jenis serangga dan tempat burung bersarang.

Sejatinya, bentuk bunga ini sederhana. Tak terlalu indah, apalagi untuk dikatakan istimewa. Tapi letaknya di ketinggian 2.000 meter yang membuatnya sulit digapai menjadikan bunga ini penuh makna. Belum lagi aneka atribut dan mitos yang diberikan kepada bunga ini, yang disebut sebagai gambaran cinta abadi, kegagahan, dan kekuatan, atau memiliki keajaiban seperti diceritakan dalam petualangan Asterix di Swiss.

Dengan segala romantisisme yang membungkusnya, edelweis di Suryakencana sangat menggoda para pendaki—yang mengklaim diri sebagai pencinta alam—untuk memetik dan menjadikannya tanda mata. Bahkan, dengan bangga mereka menunjukkan bunga jarahan itu kepada temannya, atau untuk diberikan kepada kekasih masing-masing. ”Manusia memang menjadi predator tunggal edelweis,” kata Sumarto.

Di sejumlah taman nasional, edelweis malah ”dipanen” warga dan dijual kepada turis. Walhasil, tumbuhan yang seharusnya hidup melebihi satu abad ini kian sulit ditemui. Penelitian Luchman Hakim, dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Brawijaya, menunjukkan spesies ini sudah musnah dari Gunung Tengger, yang termasuk kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.

Agar kejadian serupa tidak berlaku di Suryakencana, Balai Besar Gede-Pangrango memiliki aturan sangat ketat ihwal pendakian. Agustus tahun lalu, Balai Besar mewajibkan semua grup pendaki didampingi petugas. ”Selain memastikan pendaki turun dengan selamat, kami mengawasi dan mengingatkan mereka supaya tidak memetik bunga,” kata Ibing, warga Cibodas yang menjadi pendamping pendaki.

Aturan ini justru mendapat reaksi keras dari sebagian pencinta alam. Sebab, setiap kelompok pendaki harus membayar pendamping Rp 350 ribu. Belakangan, 20 April lalu, Balai Besar merevisi aturannya, hanya pendaki yang belum berpengalaman dan warga asing yang wajib didampingi, dengan catatan tas mereka harus digeledah. ”Sekarang sudah tak ada lagi yang kedapatan membawa turun edelweis,” kata Sumarto.

Peraturan yang ketat untuk pendaki memang sangat diperlukan, apalagi Gede-Pangrango adalah tempat mendaki terdekat dari Jakarta dan sekitarnya, termasuk Bandung. Di akhir pekan, pendaki bisa mencapai 500 orang. Pengunjung yang membeludak bisa merusak ekosistem, dan menjadi ancaman bagi edelweis Suryakencana—kawasan yang kerap disebut sebagai benteng terakhir konservasi edelweis di Indonesia.

Adek Media (Suryakencana)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
Âİ 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus