Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Redup Energi Terbarukan di Perdesaan

Pengembangan pembangkit listrik energi terbarukan berbasis komunitas mangkrak. Amburadul sejak perencanaan.

13 Juni 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

FABBY Tumiwa ingat betul target yang dicanangkan pemerintah satu dekade lalu. Rasio elektrifikasi kudu mencapai 99 persen paling lambat pada akhir 2019. Untuk mengejar selisih yang amat lebar, hampir 15 persen dibanding rasio elektrifikasi pada 2014, pembangunan pembangkit listrik energi terbarukan berbasis komunitas digeber di pelosok daerah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Karena itu cara terampuh untuk mewujudkan rasio elektrifikasi yang ditargetkan Presiden Joko Widodo,” kata Fabby, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), kepada Tempo pada Rabu, 13 Juni 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Euforia pengembangan energi terbarukan mengular. Pada awal kepemimpinan Jokowi, pemerintah makin gencar merancang berbagai teknologi pembangkit listrik energi terbarukan yang bisa dibangun secara swadaya di perdesaan dan daerah terpencil. Untuk mendorong pelaksanaannya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 38 Tahun 2016 tentang Percepatan Elektrifikasi di Perdesaan Belum Berkembang, Terpencil, Perbatasan, dan Pulau Kecil Berpenduduk Melalui Pelaksanaan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Skala Kecil. Adapun Kementerian Desa, Transmigrasi, dan Pembangunan Daerah Tertinggal mencetak buku panduan di lapangan. 

Kebetulan saat itu dunia sudah menunggu komitmen Indonesia dalam aksi mitigasi perubahan iklim. Pengembangan energi terbarukan pun digadang-gadang sebagai rencana utama pengurangan emisi gas rumah kaca yang ditawarkan pemerintah dalam dokumen Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional (NDC).

Walhasil, peluang mendanai pengembangan energi terbarukan—yang kala itu dinilai tak memenuhi aspek keekonomian—makin terbuka, termasuk yang berbasis komunitas. Sepanjang 2016-2018, merujuk pada data Badan Kebijakan Fiskal, anggaran mitigasi iklim sektor energi yang dikelola Kementerian ESDM senilai total Rp 7,6 triliun dialokasikan paling besar ke Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE). Terbitnya Permen ESDM Nomor 28 Tahun 2016 juga mendorong keterlibatan pemerintah daerah, termasuk melalui badan usaha milik daerah.

Di samping itu, Indonesia juga mendapat hibah dari negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, melalui mekanisme Millenium Challenge Corporation (MCC). Sejak 2013, MCC telah menggelontorkan US$ 228 juta untuk berbagai program, salah satunya berupa pengelolaan sumber daya alam bagi masyarakat. Mereka menyediakan US$ 62 juta untuk 28 proyek energi terbarukan dengan total kapasitas 12,73 megawatt. 

Fabby mengatakan banyak pembangkit listrik terbarukan berbasis masyarakat berhasil dibangun. Namun ternyata banyak pembangkit listrik berbasis komunitas tersebut yang ibarat hidup segan mati tak mau. “Intinya, karena lemahnya kelembagaan, hanya sedikit yang berhasil dijalankan. Pemerintah kemudian pikir ulang dan sejak 2018 menghentikan alokasi penganggaran,” katanya.

Seorang warga membuka saluran bak penenang air turbin yang merupakan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) di Desa Sumberwuluh, Kecamatan Candipuro, Lumajang, Jawa Timur, 31 Mei 2024. ANTARA/Irfan Sumanjaya

Menurut Fabby, pengembangan pembangkit listrik energi terbarukan berbasis masyarakat mangkrak akibat masalah pada aspek teknis dan bisnis. Persoalan teknis yang dia maksudkan berupa kapasitas pengoperasian, pemeliharaan, dan pengembangan pembangkit listrik yang tidak berjalan. “Padahal komunitas masyarakat sudah dilatih. Tapi, karena jarang adanya ownership dari masyarakat, banyak proyek mangkrak,” ujarnya.

Pada aspek bisnis, masalah yang muncul berupa pembiayaan kegiatan operasional dan perawatan. Dalam banyak kasus, harga jual listrik ke masyarakat tidak cukup untuk membiayai ongkos pembangkitan. Belum lagi bila ada perangkat pembangkit yang mengalami kerusakan, misalnya baterai pada pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang mahal.

Namun Fabby menilai akar dari semua permasalahan tersebut adalah lemahnya perencanaan. Anggaran negara, misalnya, hanya difokuskan pada membangun infrastruktur pembangkit. Padahal yang terpenting adalah menyiapkan perencanaan secara menyeluruh bersama masyarakat. “Dari pengalaman kami, menyiapkan project-nya itu paling singkat dua tahun dengan masyarakat, lebih mahal ketimbang membangun infrastruktur,” katanya.

Kementerian ESDM baru melanjutkan pembangunan energi terbarukan berbasis masyarakat pada tahun ini. Pembangunannya dilakukan parsial di beberapa daerah terpencil, seperti di Nusa Tenggara Timur. Mayoritas proyek untuk mengejar target 100 persen desa diterangi listrik pada akhir 2024.

Research Associate Yayasan Indonesia Cerah Sartika Nur Shalati punya pandangan serupa. Banyak program pembangkit energi terbarukan berbasis masyarakat berakhir mangkrak lantaran mayoritas dikelola mandiri oleh masyarakat atau kelompok desa. “Sehingga mestinya mereka membutuhkan keahlian khusus untuk mengoperasikan pembangkit listrik yang tersedia di wilayah itu,” kata Sartika.

Persoalannya, masyarakat selama ini hanya dibekali ilmu dasar. Biasanya dari pelatihan tiga pekan, seperti yang dia temukan dalam kasus PLTS Way Haru, Kecamatan Bengkunat, Kabupaten Pesisir Barat, Lampung. Keahlian dasar itu tidak cukup untuk mengelola sistem pembangkit terpusat yang cenderung rumit dan membutuhkan tenaga ahli. 

Selain itu, selama ini masyarakat tidak dilibatkan dalam merumuskan rencana, strategi, skema pengelolaan, pengaduan, serta mekanisme penyelesaian masalah bila ada kerusakan sistem pembangkit. Pemerintah, kata Sartika, justru kerap memilih jenis pembangkit listrik tanpa melihat potensi setiap desa.

Menurut Sartika, pemerintah juga terkesan menghindari penggunaan PLTS yang dipasang di atas atap rumah. Padahal pembangkit listrik jenis ini cocok dipasang di wilayah terpencil. Sartika berkaca dari penggunaan PLTS atap di Lampung yang beroperasi sejak 2000 dan masih berfungsi sampai kini. Kondisi ini berbanding terbalik dengan pembangunan PLTS Way Haru yang mangkrak, padahal baru dibangun pada 2016.

Renewable Energy Manager Trend Asia Beyrra Triasdian menjelaskan bahwa berbagai upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengurangi emisi karbon selama ini justru bermasalah dan cenderung kontraproduktif bagi upaya mengembangkan energi terbarukan berbasis komunitas. Dia mencontohkan pendanaan internasional Just Energy Transition Partnership (JETP) yang menjanjikan dana US$ 20 juta untuk berbagai upaya transisi. “Dalam perencanaannya minim transparansi dan pelibatan publik, khususnya masyarakat lokal di sekitar lokasi pembangunan,” demikian Beyrra menulis.

Menurut Beyrra, energi baru terbarukan berbasis komunitas semestinya menjadi solusi keluar dari emisi. Sudah banyak upaya semacam ini dilakukan. Bukan hanya meningkatkan bauran energi terbarukan, ia juga membantu memberikan akses terhadap listrik bagi warga. Sayangnya, upaya-upaya ini masih terhalang minimnya dukungan pemerintah.

Dalam beberapa kasus, kata Beyrra, inisiasi energi terbarukan berbasis masyarakat justru dipersulit pemerintah. Beberapa kali proyek pembangkit skala besar justru disiapkan untuk menggantikan potensi peranan pembangkit komunitas. "Hal ini ironis mengingat bauran energi masih didominasi bahan bakar fosil, dan masuknya proyek skala besar berpotensi mematikan insentif bagi energi terbarukan warga," ujarnya.

Perawatan panel surya di Bekasi, Jawa Barat, 29 April 2024. TEMPO/Tony Hartawan

Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menjelaskan, justru pemerintah tengah mengejar pembangunan pembangkit listrik dalam skala besar ataupun kecil, bahkan mengembangkan PLTS atap secara masif di banyak daerah hingga 2025. “Harapannya, di atap, rumah masyarakat, di bangunan, di gudang, ini bisa dilakukan secara bersama-sama dibangun PLTS,” ucap Dadan.

Dia menuturkan komitmen pemerintah itu diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 2 Tahun 2024 tentang PLTS Atap yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum. Dia mengklaim pemerintah akan memberikan insentif agar pemasangan PLTS atap kian bertambah.

Rencana ini dilakukan untuk mengejar target bauran energi terbarukan yang mencapai 23 persen pada 2025. Hanya, capaian bauran EBT baru mencapai 13,4 persen atau hanya meningkat 0,6 persen dibanding pada 2022.

Menurut Dadan, sebetulnya bauran energi terus bertambah. “Namun, pada waktu bersamaan, penggunaan energi fosil juga masih berjalan dan lebih besar dibanding penggunaan EBT sehingga peningkatan persentase bauran terkesan lambat,” ujarnya.

Kepala Sub-Direktorat Pengawasan Pembangunan Infrastruktur Kementerian ESDM Agung Faenuddin menceritakan bahwa pemerintah berfokus membangun penerangan jalan umum dan tenaga surya (PJU-TS). Tahun lalu, pemerintah berhasil membangun 52.296 unit PJU-TS yang tersebar di banyak desa. “Program ini merupakan solusi efisiensi tenaga listrik untuk penerangan yang difokuskan pada jalan per kelurahan, terutama yang sulit dijangkau jaringan PLN,” kata Agung.

AVIT HIDAYAT | IRSYAN HASYIM

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Avit Hidayat

Avit Hidayat

Alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas PGRI Ronggolawe, Tuban, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo sejak 2015 dan sehari-hari bekerja di Desk Nasional Koran Tempo. Ia banyak terlibat dalam penelitian dan peliputan yang berkaitan dengan ekonomi-politik di bidang sumber daya alam serta isu-isu kemanusiaan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus