Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Getirnya Nasib Si Perawan

17 Juli 2006 | 00.00 WIB

Getirnya Nasib Si Perawan
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

SURGA penebang liar itu bernama Desa Muara Bulan. Kampung yang ada di pedalaman Kecamat-an Men-da-wai, Kabupaten Ka-tingan, Kalimantan Selatan, itu dekat dengan hu-tan perawan, yakni Taman Na-sional Sebangau. A-kses penjualan kayunya pun se-mulus jalan tol: langsung ke Laut Jawa.

Mulyadi, pemilik warung di Muara Bulan, ber-cerita bahwa saban pagi saat ia membuka warung selalu saja ada ke-rumunan orang yang hendak menuju ta-man na-sio-nal itu. Mereka adalah lela-ki-lelaki berotot menonjol yang pergi- dengan menenteng gergaji mesin atau ka-yu. ”Me-reka tetangga s-aya yang be-kerja di sektor per-kayu-an,” ujar Mulya-di. Lelaki itu tak mau menyebut pa-ra tetang-ganya sebagai pem-balak liar.

Sekitar 10 sampai 20 per-sen kepala keluarga di Muara Bulan itu hidup sebagai penebang liar. Acap kali me-reka masuk hutan berhari-hari mening-galkan keluarga. Mereka be-kerja berkelompok, terdiri atas dua sampai tiga orang. Para penebang itu dalam satu hari bisa ”membereskan” 10-30 pohon berdiameter setengah meter. Bayangkan, kalau ada 10 kelompok saja, setiap hari 100-300 pohon rebah di tanah. Itu baru aksi penjarahan kelas teri.

Sebangau memang bak gadis molek yang memikat b-anyak pemburu kayu liar. Akhir bulan lalu, mi-sal-nya,- di daerah itu ditemu-kan 400 ribu meter kubik ba-lok ka-yu. ”Ini hasil pembalakan liar terbesar se-Indonesia,” kata Kepala Balai Konser-vasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Tengah, Yo-hanes Soedarto. Temuan itu me-ngalahkan rekor p-em-ba-lakan liar di daerah itu, yakni saat terjadi penangkapan pada 2003, ketika 200 ribu meter kubik balok kayu di-sita.

Namun, penebangan liar bu-kan satu-satunya penyebab hilang-nya hutan-hutan di Kalimantan Te-ngah. Bahaya yang kini lebih besar lagi adalah program musang berbulu domba, yakni pen-caplokan hutan primer berskala besar dengan meng-gu-nakan dalih meng-ubah hutan menjadi perkebunan atau hutan produksi konversi.

”Luas hutan primer di Kalimantan Tengah menurun sekitar 94 ribu hektare per tahun,” kata Nordin, Koor-dinator Program Save Our Borneo. Program ini adalah kegiatan gabung-an dari W-a-hana Lingkung-an Hidup I-n-donesia (Walhi), World Wildlife Fund, dan Forest Watch Indonesia. Se-karang hutan perawan di Kalimantan Te-ngah hanya ter-sisa 1,3 juta hektare menurut data Badan Planologi Ke-hutanan.

Seiring berkurangnya hu-tan primer (hutan yang belum disentuh manusia), luas hutan sekunder justru meningkat 500 ribu hektare per- tahun. Sementara pada 2000 luas hutan yang dapat di-kelola mencapai 2,9 juta hektare, pada 2005 justru meningkat menjadi 4,9 juta hektare.

Jumlah ini bisa terus bertambah. Sebab, di Kabupa-ten Seruyan, Kalimantan Te-ngah, 23 perusahaan saat ini sedang menunggu izin Menteri Kehutanan untuk membuka perkebunan ke-la-pa sawit di areal hutan yang dilindungi. Tiga perusahaan di antaranya, masing-masing telah memiliki la-han per-kebunan sawit seluas 4.000 sampai 8.000 hektare di a-real Ta-man Nasional Tanjung Pu-ting, Kalimantan Tengah. Bahkan satu di antara mereka, y-ak-ni per-usahaan ber-inisial K, te-lah membuka jalan sepanjang enam kilome-ter hingga masuk ke kawasan hutan l-indung.

”Kami menuntut supaya- Menteri Kehutanan tak mem-beri izin kepada 23 perusahaan tersebut,” ujar m-antan Direktur Ekse-kutif W-alhi Kalimantan Tengah ini.

Penambahan jatah hutan konversi ini ditepis oleh D-irektur Jenderal Per-lindung-an Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutan-an, Arman Malo-longan. ”Tidak ada lagi jatah hutan kon-versi sejak otonomi daerah,” katanya.

Inilah yang ditu-ding sebagai biang pembuat benca-na banjir di Kalimantan Te-ngah. Hasil pe-nelitian G-reenomics, LSM ling-kungan, menyebutkan bahwa keamanan ekologi Borneo saat ini sedang ga-wat. Luas tutupan hutan alam di sana cu-ma 20 persen. Pa-dahal, kata Direktur Eksekutif Greenomics, Elfian Effendi, kalau mau aman, daerah aliran sungai ha-rus tertutup hutan minimal 30 persen. ”Ji-ka kerusakan ekologi sema-kin parah, bencana alam akan terjadi secara periodik,” ka-ta El-fian Effendi.

Keping-keping hutan yang hilang di Kalimantan Tengah adalah bukti- a-ncaman serius di pulau itu. Di wilayah lainnya, Kalimantan Selatan, hutan primer-nya malah nyaris habis. Tak mengheran-kan bila akhirnya banjir pun bisa datang di daerah itu pada musim kemarau.

D.A. Candraningrum, Karana W.W. (Katingan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus