Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAMBIL menyelam memotong padi. Perbuatan yang ganjil ini dilakukan penduduk Dusun Cihideung, Ciamis, Jawa Barat. Memang aneh tapi nyata. Dan bisa dibuktikan kalau Anda berkunjung ke sana. Beberapa minggu terakhir ini, adalah biasa kalau penduduk yang berdiri di atas genangan air kadang kala menghilang. Ke mana? Mereka menyelam. Tak berapa lama muncul kembali dan di tangan mereka tergenggam seberkas padi. Begitulah cara penduduk Cihideung menyabit padi saat ini. Padi yang sudah menguning itu sebenarnya siap dipanen dalam 1-2 pekan ke depan. Tapi akhir Agustus lalu mendadak hujan besar tercurah dari langit. Tidak sehari tapi beberapa hari. Hujan deras itu memupus laba yang sudah terbayang di pelupuk mata. Dari 1,5 hektare sawah milik Rosadi, seharusnya dituai satu ton padi. Tapi kini hanya diperoleh lima kuintal padi basah. Kerugian serupa dialami Atmowiyarjo, warga Pathuk Kambang, Kulonprogo, Yogyakarta. Tinggal dua minggu lagi ayah delapan anak ini bisa goyang kaki sambil mengantongi laba Rp 4 juta dari semangka dan cabenya. Tapi jangankan memegang duit, Pak Atmo kini bingung bagaimana harus membayar pinjaman Rp 500 ribu kepada Bank Rakyat Indonesia. Musibah yang melanda Rosadi dan Mbah Atmo juga menimpa sejumlah petani tembakau di Jawa Timur. Kompas memberitakan, panen tembakau yang diperkirakan akan bagus ternyata porak-poranda gara-gara hujan lebat. Diperkirakan seluruh tanaman tembakau hancur, dan kerugian -- paling parah menimpa petani di Kabupaten Tulungagung -- mencapai Rp 3 milyar. Bali, Sumatera Utara, dan Lampung tak luput dari curah hujan. Ketika petani seharusnya panen, hujan lebat menghajar tanaman mereka. Sungai dan tanggul dipelbagai wilayah Indonesia Bagian Barat tak sanggup bertahan. Selain merusak sawah dan menghanyutkan ternak, banjir juga menewaskan penduduk. Bupati Kebumen, Jawa Tengah, menduga kerugian di daerahnya mencapai Rp 15 milyar. "Saya nggak menyangka akan datang hujan deras. Kata Pemerintah malah akan kemarau panjang yang lebih kering dari tahun lalu," ujar Rosadi mengeluh. Karena informasi "kemarau panjang" ini, warga dusun yang langganan banjir itu tidak bersiaga. Bukannya menanam palawija, mereka malah menanam padi. Hujan lebih awal, menurut Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Departemen Perhubungan -- institusi yang berwenang membuat perkiraan cuaca -- memang tidak lazim. Menurut Kepala Subbagian Peramalan dan Jasa Meteorologi, Paulus Agus Winarso, telah terjadi penyimpangan pola cuaca sejak akhir Agustus lalu. Angin barat dari daratan Asia ke Australia, yang merupakan pertanda musim hujan dan biasanya muncul Oktober atau November, kini tiba lebih cepat. Angin ini bertiup karena meningginya suhu muka laut di Samudera Hindia, sehingga terjadi tekanan udara rendah yang menimbulkan gelombang dari samudera tersebut ke Australia. Tekanan rendah di Australia lalu mempertajam penyimpangan cuaca di Indonesia. Soalnya, Juli lalu tekanan udara di wilayah Indonesia Barat masih tinggi (1milibar di atas normal), tapi Agustus menurun jadi 1,5 milibar di bawah normal. Tekanan yang turun akhirnya berakibat pada hujan yang datang lebih awal. Biang keladi semua penyimpangan ini adalah gejala alam yang disebut El Nino. Gejala ini ditandai dengan naiknya suhu muka laut di Pasifik, Desember lalu, dan kini sedang dalam proses menghilang. "Biasanya pasca El Nino diikuti penyimpangan, misalnya curah hujan besar seperti tahun 1983 dan 1988," kata Agus. Penduduk awam seperti Rosadi tentu tidak tahu soal El Nino. Yang mereka pegang hanyalah informasi akan adanya kemarau panjang. Kepala BMG, Karjoto, segera meluruskan "salah paham" itu dengan sangkalan, bahwa ia tidak pernah memberi pernyataan tentang kemarau panjang. "Kami hanya memberikan perkiraan awal musim hujan atau musim kemarau, tapi tidak pernah menyatakan kapan berak hirnya musim tersebut," tambah Karjoto. Sementara itu, Agus membantah tudingan yang menyebutkan bahwa BMG tak memberi perkiraan tentang datangnya hujan. Dalam perkiraan harian di layar TVRI ataupun di koran, sejak akhir Agustus sudah diingatkan bahwa Indonesia Baratakan hujan. Memang, tidak disebutkan berapa besar curah hujan tersebut. "Saya suka lihat acara itu di TVRI, tapi sering tidak akur. Insinyurnya payah," kata Rosadi. Agus mengakui bahwa ketepatan perkiraan cuaca dari BMG baru 60-70 persen. Tapi persentase ketepatan perkiraan musim lebih tinggi, 90 persen untuk musim hujan dan 85 persen untuk kemarau. Karjoto dan Agus menyadari, produk instansinya tak dianggap remah. Dan bahwa orang menghitung, kemarau panjang berlangsung tiap lima tahun. Jika dulu terjadi tahun 1987, berarti tahun 1992 akan terjadi lagi. "Padahal, masalah cuaca di Indonesia yang berbentuk kepulauan itu sulit diperkirakan," kata dosen Geofisika dan Meteorologi ITB, Bayong Tjasyono, kepada TEMPO. Walau begitu, BMG berusaha meningkatkan ketepatan ramalannya. Mulai tahun lalu, di 400 tempat di seluruh Indonesia sudah dipasang alat observasi otomatik yang otomatis mengirim data ke kantor pusat hingga bisa segera diolah. "Alat ini bahkan bisa memantau curah hujan yang berbahaya dan mungkin bisa menimbulkan banjir," kata Karjoto. Sementara alat itu belum berfungsi, BMG meramalkan, hujan dengan curah besarakan terus turun mulai akhir September ini, yang disambung musim hujan sesungguhnya pada bulan Oktober. Kalau percaya, ada baiknya tanggul-tanggul yang rusak seperti yang ada di Dusun Cihideung segera diperbaiki. Diah Purnomowati, Ahmad Taufik, dan M. Faried Cahyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo