Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INI bukan mantra, bukan papatah petitih, bukan jampi-jampi. Namun rasa bahasanya mengingatkan pada sesuatu dari masa lampau. Kami kepala-kepala dan Nenek Mamak dan orang toeatoea serta anak negeri boeat doesoen Keloeroe telah memboeat Mupakat soepaja menjadi soeatoe yaitoe akan memboeat soeatoe zegel Akan menetap soetoe gaboeng Tanah darat Doesoen Keloeroe bertempat itoe tanah di Temedak Berwatas . . . dan terlarang siapasiapa orang jang hendak berladang diatas itoe tanah . . .
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepintas jelaslah bahwa nenek mamak Dusun Keluru telah membuat satu kesepakatan mengenai tanah di Temedak. Berdasar mufakat, Rimbo Temedak, demikian mereka menyebut hutan tersebut, dinyatakan tidak boleh diolah dan dikomersialkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keputusan bersejarah, dan yang kemudian terbukti ikut menyukseskan usaha pelestarian hutan ini, dibuat oleh 17 pemuka Dusun Keluru, Kabupaten Kerinci, Sumatera Barat, tahun 1927. Yang boleh dilakukan penduduk di hutan seluas 24 hektare itu terletak 10 kilometer dari Taman Nasional Kerinci Seblat hanyalah mengambil hasil hutan untuk konsumsi sendiri. Misalnya untuk konstruksi rumah tangga, obatobatan, bahan pangan, atau bank benih. Pemikiran para tetua Keluru itu rupanya sudah menjangkau jauh ke depan.
Mereka menyadari bahwa hutan bukan milik orang-orang yang hidup waktu itu saja tapi harus diwariskan kepada anakcucu. Dengan demikian, selamatlah kekayaan florafauna di sana, termasuk beberapa flora langka seperti kayu pacat. Hutan pun utuh dan dapat menyimpan air untuk membasahi 115 hektare sawah mereka. Hal ini menurun pada para pemuka dusun yang tak segansegan menegur penduduk yang melanggar kesepakatan bersama.
Sampai beberapa tahun lalu penduduk masih patuh. Depati nenek mamak (kepala desa, kepala adat, dan ketua LKMD) jarang sekali melontarkan teguran. Keadaan mulai berubah belakangan. Penggarap berkeliaran di dalam hutan untuk membuat ladang berpindah. Komersialisasi hasil hutan juga banyak dilakukan penduduk desa tetangga.
Teguran saja rupanya sudah tak mempan. Keberadaan hutan adat mulai terancam dan sawah yang menghidupi 600 penduduk desa terancam kering. Pemuka dusun tentu saja khawatir. Karena tak berdaya, lembaga adat lalu mendekati pihak yang lebih kompeten, seperti Pemda Tingkat II Kerinci dan lembaga World Wide Fund for Nature (WWF). Keinginan mereka adalah agar status hutan larangan tersebut dikukuhkan oleh pemda. Dengan jelasnya status hutan, lembaga adat bisa menyeret para pelanggar ke pengadilan.
Pemda menyambut baik usul mereka, dan menurut rencana Bupati Tingkat II Kerinci akan meresmikan hutan tersebut bulan depan. "Kita kan untung karena tak perlu penyuluhan dan cukup membantu dari belakang," kata Bupati Kerinci Hasmi Muchtar kepada Munawar Chalil dari TEMPO. Puluhan penduduk Keluru kini berlomba masuk hutan tersebut. Bukan untuk menebangi pohon, tapi untuk mendirikan patok beton sekeliling hutan. Menurut Erwin Perbatakusuma, penggerak WWF di ibu kota Kabupaten Kerinci, semua patok diharap sudah selesai awal Juni ini.
Pemuka adat pun sudah mengambil beberapa tindakan untuk mendukung status hutan tersebut. Mereka memberi ganti rugi Rp 10.000 kepada 50 kepala keluarga yang telanjur berkebun di hutan. Mereka juga menyusun sistem pengawasan dan sanksi yang akan diterapkan. Depati nenek mamak kelak akan mengawasi menggarap hutan.
Sistem kontrol ini pernah berjalan ketika tahun 1934 pemuka adat menyeret peladang ke pengadilan dan memenangkannya. Pelanggar juga tidak boleh mengikuti upacara adat. Sistem yang berlandaskan kelestarian lingkungan ini membuat WWF mengusulkan pemuka adat keluru dalam pemilihan Kalpataru tahun ini.
Partisipasi masyarakat dalam menjaga lingkungan lewat hutan adat tak hanya ada di Kerinci. Bali, misalnya, punya lebih dari 200 ribu hektare hutan adat di dua desa. Penduduk menjaga hutan tersebut dengan menerapkan awigawig (undang-undang adat), yang antara lain mengatur pada umur berapa pohon dapat ditebang dengan izin dari kepala adat.
Bagi para pelanggar dikenakan sanksi yang diputuskan lewat rapat adat. Sanksi dapat berupa hukuman denda atau mengganti pohon yang ditebang dengan perbandingan 1:10. Artinya, pelanggar harus menanam sepuluh pohon untuk sebatang pohon yang ditebasnya. Penduduk luar desa yang melakukan kesalahan malah akan diserahkan ke polisi. Dengan cara inilah penduduk Bali menjaga kelestarian lingkungannya sejak bertahuntahun lalu. "Hutan adat Tenganan Pegringsingan di Kabupaten Karangasem, misalnya, sudah ada sejak sekitar abad ke12," kata Kepala BKLH Bali Ketut Winaya kepada Putu Fajar Arcana dari TEMPO.
Bagi penduduk, hutan adat ini memiliki nilai sakral. Tapi, yang jelas, mereka amat berkepentingan menjaga hutannya. Hutan di atas bukit ini adalah benteng agar desa tak terkubur longsoran tanah. Tiga tahun lalu desa ini meraih penghargaan Kalpataru dari pemerintah. Di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan juga dikenal hutan seperti ini. Namanya hutan kesepakatan desa. Bagi para penebang pohon di hutan tersebut akan dikenakan sanksi minimal Rp 50.000.
Aturan serupa dalam bentuk lain diterapkan oleh penduduk Kampung Naga, Tasikmalaya, Jawa Barat. Penduduk pantang menebang pohon dari hutan di sekeliling kampung. Hasilnya: hutan adat selalu hijau. Luas hutan adat di seluruh Indonesia belum didata oleh Departemen Kehutanan. Jumlahnya mungkin tidak sebanyak hutan lindung, namun agaknya bukan itu yang penting. Yang perlu didukung adalah partisipasi masyarakat melestarikan lingkungan dan sumber daya alam.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Diah Purnomowati dan Bersihar Lubis berkontribusi dalam penulisan artikel ini.