Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Badan Standardisasi Instrumen Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BSILHK) sedang menyiapkan standar penghitungan pengurangan emisi dari Hutan Tanaman Industri (HTI) sebagai upaya mitigasi perubahan iklim.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala BSILHK, Ary Sudijanto mengatakan, pembangunan HTI tidak hanya ditujukan untuk memenuhi permintaan kayu bulat untuk industri perkayuan. "Namun juga untuk memenuhi Long-Term Strategy for Low Carbon Scenario Compatible with Paris Agreement (LTS-LCCP) dan skenario pencapaian NDC," tutur Ary melalui keterangan tertulisnya, Senin, 12 Agustus 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Ary, target pembangunan hutan tanaman di Indonesia pada 2030 adalah seluas 11,227 juta hektare, ini akan sangat mendukung pencapaian target 'Indonesia's FOLU Net Sink 2030', serta pelaksanaan mandat Presiden melalui Perpres 98/2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK).
"Oleh karena itu, integrasi pembangunan hutan tanaman ke dalam strategi mitigasi perubahan iklim menjadi peluang yang strategis untuk mendukung pencapaian target penurunan emisi," kata Ary.
Terkait dengan dua potensi HTI sebagai sumber emisi gas rumah kaca (GRK) dan sebagai sumber serapan emisi GRK, menurut Ary, strategi yang harus dilakukan adalah bagaimana mengurangi emisi dan meningkatkan serapannya.
"Dengan pendekatan UUCK bahwa Perijinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) melalui multiusaha, maka kedua potensi tadi seharusnya menjadi salah satu strategi PBPH untuk melaksanakannya. Sumber revenue bagi PBPH tidak hanya kayu saja dengan luasan konsesi yang dimiliki, tetapi ada juga potensi lainnya seperti Nilai Ekonomi Karbon," ucap Ary.
Selain meningkatkan serapan, kata Ary, perlu juga ada upaya meningkatkan integritas dari karbon, yang akan menjadi acuan atau dasar penetapan nilai karbonnya. "Semakin tinggi tata kelola maka nilai karbonnya semakin tinggi, maka hutan tanaman yang sebelumnya revenue hanya dari produk kayu, maka sekarang dapat dari yang lain termasuk HHBK, ekowisata, dan karbon," ucap dia.
Ary menyampaikan ide agar hutan tanaman menjadi offtaker kompos sampah perkotaan. "Hal ini menjadi peluang untuk daerah perkotaan yang dekat dengan lokasi HTI, akan menjadi potensi besar untuk meningkatkan integritas karbon hutan tanaman. Dengan pengurangan emisi dan peningkatan karbon secara konvensional dari hutan tanaman, juga akan mengurangi emisi GRK dari produk pupuk buatan, dan mengurangi jumlah emisi gas metan dari TPA," ujarnya.
Ary juga optimis bahwa BSILHK dapat berkontribusi mendukung penyediaan standar. Tidak hanya bagi pengelolaan hutan tanaman terkait karbon, tetapi juga terdapat potensi elaborasi bekerja lintas sektor, termasuk sektor IPPU dan limbah (waste).
Sstandar dan instrumen penghitungan penurunan ataupun penyerapan emisi, kata Ary, menggunakan pendekatan perbedaan cadangan karbon. Beberapa tahapan penghitungan dalam pengurangan emisi GRK dalam standar ini antara lain: kelayakan program pembangunan hutan tanaman industri; inventarisasi GRK dan analisis kategori kunci; penetapan baseline emisi; penghitungan potensi serapan karbon dari aksi mitigasi; penghitungan pengurangan emisi dari aksi mitigasi; penghitungan uncertainty; penilaian risiko dan buffer.
"Selain sebagai panduan para stakeholder, melalui penerapan standar ini, diharapkan para pemegang izin HTI melaksanakannya sesuai dengan regulasi nasional dan internasional, untuk mendapatkan sertifikasi dan akses ke pasar karbon," kata Ary.