Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DAPUR Veronika Uto sudah tak pernah lagi mengepulkan aroma Patei Silaita, pangan lokal yang biasa dikenal sebagai jagung titi. Mama Vero, sapaan akrab Veronika, lalu menunjukkan karung-karung kosong yang teronggok di sudut dapur itu. Hanya satu karung yang masih terisi jagung pulut atau jagung ketan, bahan baku utama Patei Silaita. Itu pun hanya tersisa separuh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kami gagal panen! Bencana datang bertubi-tubi, salah satunya El Nino,” kata petani yang kini berusia 63 tahun itu ketika ditemui di rumahnya, Desa Pajinian, Pulau Adonara, Selasa, 6 Februari 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Patei Silaita merupakan kudapan warisan leluhur suku Lamaholot, masyarakat adat yang mendiami Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT). Disebut jagung titi karena, untuk membuatnya, jagung pulut ditumbuk hingga bentuknya serupa dengan emping melinjo. Olahan jagung ini biasa disajikan sebagai makanan pokok bersama sayuran dan ikan. Masyarakat juga menjadikannya sebagai bagian penting dalam upacara adat perkawinan, kematian, dan menjamu tamu.
Ketika pasokan jagung pulut di rumahnya menipis, Vero tak bisa senyampang itu mengganti bahan baku Patei Silaita dengan jenis hibrida. Sebab, varietas hibrida lebih keras dan rentan remuk ketika ditumbuk. Sedangkan olahan Patei Silaita membutuhkan biji bertekstur empuk dan lengket. Karakteristiknya hanya ditemukan pada jagung pulut.
Jagung pulut rebus di Pulau Adonara, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, 6 Februari 2024. TEMPO/Shinta Maharani
Pulau Adonara merupakan penghasil jagung pulut alias waxy corn. Jagung ketan ini memiliki ciri unik dengan rasa manis, aroma khas, dan tampilan mencolok. Hanya, produksi varietas lokal tersebut hanya 2 ton per hektare, jauh lebih rendah dibanding jenis hibrida yang mampu menghasilkan 7-10 ton per hektare.
Fenomena El Nino, yang dampaknya mulai terasa di sebagian wilayah Indonesia pada pertengahan tahun lalu, memukul petani di Flores Timur. Curah hujan pada musim kemarau kering berkepanjangan turun drastis dan memicu kekeringan. Stok jagung di rumah Vero, juga masyarakat adat di Adonara atau warga Flores Timur lainnya, pun berkurang. Kabupaten dengan jumlah penduduk 287 ribu jiwa tersebut kini tak memiliki cadangan pangan yang cukup akibat krisis pangan.
Jauh sebelum El Nino datang, masyarakat di Pulau Adonara pernah mengalami petaka serupa dalam wujud berbeda. Pada April 2021, badai Siklon Tropis Seroja menghantam pulau-pulau di NTT. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sebanyak 128 orang meninggal, lebih dari 8.000 orang mengungsi karena kehilangan tempat tinggal, dan ratusan rumah rusak berat. Bencana tersebut menyebabkan pertanian hortikultura gagal panen.
Tahun lalu, Mama Vero masih cukup beruntung karena bisa memanen 1.300 tongkol jagung pulut di lahan seluas 1.000 meter persegi. Meski tak bisa maksimal, hujan masih turun.
Lahan yang ditanami oleh Mama Vero adalah milik Yayasan Argo Sorgum Flores (Yasores). Yayasan ini juga meminjamkan lahannya untuk dijadikan ladang pangan bagi komunitas setempat. Selain jagung pulut, mereka menanam beras merah, sorgum, kelapa, kacang mete, bunga telang, jambu, serta mangga.
Direktur Yayasan Argo Sorgum Flores, Maria Loretha di pulau Adonara, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, 6 Februari 2024. TEMPO/Shinta Maharani
Direktur Yasores Maria Loretha bercerita, banyak petani yang kesusahan akibat gagal panen. Perubahan iklim, kata dia, membuat fenomena alam makin sering mengundang bencana.
Dua tahun lalu, sebelum El Nino datang, fenomena iklim La Nina juga memukul para petani di Adonara. Berbeda dengan El Nino, La Nina menyebabkan curah hujan di sejumlah wilayah Indonesia mencapai level tinggi, bahkan ekstrem. Akibatnya, produksi kacang mete, cokelat, kopi, kemiri, cengkih, pinang, dan vanili di Adonara merosot.
Bencana beruntun ini belum berakhir. Erupsi Gunung Lewotobi di Flores Timur pada 10 Januari lalu juga menghancurkan pertanian padi, jagung, dan sayuran. “Abu kiriman erupsi Gunung Lewotobi menyebabkan semua tanaman layu,” kata Loretha.
Menurut Loretha, rembetan dampak bencana beruntun tersebut amat serius. Krisis pangan telah mendongkrak angka stunting atau pertumbuhan tubuh anak yang terhambat karena kekurangan gizi. Pada 2021, NTT menjadi provinsi dengan angka stunting tertinggi secara nasional. Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) Kementerian Kesehatan mencatat angka prevalensi balita stunting di provinsi tersebut sebesar 37,8 persen. Kabupaten Flores Timur termasuk penyumbang rapor merah tersebut, dengan prevalensi balita stunting sebesar 23,4 persen.
Sorgum hasil tanam di pulau Adonara, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, 6 Februari 2024. TEMPO/Shinta Maharani
Beralih ke Sumber Pangan Lokal Alternatif
Maria Loretha mafhum bahwa struktur tanah di Pulau Flores tak mungkin menghasilkan jagung lokal lebih dari 2 ton setiap hektare. Dengan demikian, diperlukan tanaman alternatif sebagai upaya mengatasi krisis pangan akibat perubahan iklim. Dia lalu mengajak warga menanam sorgum. Tanaman lokal ini lekat dengan tradisi suku Lamaholot.
Keberadaan benih lokal sorgum muncul di dongeng-dongeng yang menceritakan legenda Tonu Wujo. Konon, ada seorang perempuan yang mengorbankan dirinya agar semua anggota keluarganya tidak mati kelaparan saat paceklik melanda pada musim kemarau. Sebelum pengorbanan terjadi, Tonu Wujo berpesan bahwa semua tanaman pangan akan tumbuh setelah dia mati.
Pesan itu terwujud dengan munculnya berbagai tanaman pangan dari tubuh Tonu Wujo yang terbaring di ladang. Darahnya menjadi padi, tulang belulangnya menjadi sorgum, ususnya menjadi jewawut, dan rambutnya menjadi jagung. Karena itu, sorgum dalam bahasa Lamaholot disebut wata belolong karena tumbuh tinggi seperti tulang-tulang.
Loretha menyimpan bulir-bulir sorgum di dapurnya sebagai cadangan makanan. Ia juga membagikannya kepada anggota Yasores, termasuk Mama Vero. Loretha bersama anggota komunitasnya bertahan dengan menanam sorgum di lahan seluas 1 hektare milik yayasan. Menanam sorgum dengan jarak 30 x 70 sentimeter bisa menghasilkan 1 ton sorgum. Kemudian hasil ratun atau panen kedua kali dari pokok pohon yang sama akan menghasilkan sorgum sebanyak 400-600 kilogram.
Sorgum hasil tanam di Pulau Adonara, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, 6 Februari 2024. TEMPO/Shinta Maharani
Loretha juga membagikan benih sorgum ke sejumlah komunitas petani di Flores Timur. Selain di Adonara, sorgum kini banyak tumbuh di Dusun Likotuden, Desa Kawalelo, Kecamatan Demon Pagong, Kabupaten Flores Timur. Masyarakat di sejumlah kabupaten tetangga juga menanamnya, seperti di Kabupaten Ngada, Nagekeo, Manggarai Barat, Ende, Lembata, Sumba Timur, serta Sabu Raijua.
Dusun Likotuden dulu merupakan kampung terpencil yang kering dan tandus. Lahan kering itu tak bisa ditanami pisang, kelapa, jagung, dan tanaman lain. Satu-satunya tanaman yang bisa tumbuh saat itu hanya lamtoro. Sejak 2014, warga menanam benih sorgum di lahan seluas 7 hektare dengan panenan 100 ton sorgum.
Loretha mendampingi komunitas petani di Dusun Likotuden bersama Yayasan Pembangunan Sosial Ekonomi Larantuka (Yaspensel) yang bernaung di bawah Keuskupan Larantuka. Dia membantu Yaspensel mengembangkan ekonomi umat dengan menanami lahan-lahan kering dan tandus.
Sorgum memang lebih tahan terhadap dampak perubahan iklim karena tidak membutuhkan banyak air, tak perlu pupuk, dan kaya nutrisi. Riset Institut Pertanian Bogor (IPB) menunjukkan tanaman serealia ini menghasilkan biji dengan kandungan karbohidrat setara padi serta kandungan protein, vitamin B, dan zat besi yang lebih tinggi. Sebaliknya, kandungan pati sorgum mempunyai indeks glikemik 50-60, yang lebih rendah daripada beras sehingga tidak cepat menaikkan gula darah. Biji sorgum menghasilkan karbohidrat bebas gluten sehingga dapat dimanfaatkan menjadi pangan bebas gluten bagi autis.
Dengan berbagai keunggulan tersebut, Loretha menilai sorgum bisa menjadi solusi dalam mengatasi kekurangan gizi di NTT. “Sorgum menyelamatkan kami dari krisis pangan,” ujarnya.
Warga mengolah kelapa menjadi minyak di Kampung Furake, Pulau Hoga, Wakatobi, Sulawesi Tenggara, 11 Januari 2024. TEMPO/Shinta Maharani
Menghargai Keragaman Pangan dan Kearifan Lokal
Dosen Departemen Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada, Eni Harmayani, mengatakan perubahan iklim berdampak serius pada ketahanan pangan. Musim kering ataupun musim hujan berkepanjangan mempengaruhi produktivitas pertanian. Memanasnya suhu bumi juga menyebabkan munculnya berbagai penyakit dan hama.
Karena itu, menurut Eni, komunitas di pulau-pulau terpencil perlu terus mengembangkan pangan lokal sebagai mitigasi dampak perubahan iklim. Selain tahan hama, sumber pangan lokal sesuai dengan pola konsumsi masyarakat setempat. "Diversifikasi tanaman penting untuk mencapai kemandirian pangan," kata Eni. "Pemerintah seharusnya menghargai keragaman pangan dan kearifan lokal."
Masyarakat yang tinggal di daerah terpencil memang sangat rentan mengalami dampak buruk perubahan iklim. Warga di Pulau Adonara hanya sebagian contohnya. Di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, masyarakat setempat juga mengalami kesusahan akibat cuaca yang makin tak menentu.
Warga menggunakan energi terbarukan solar panel di Pulau Hoga, Wakatobi, Sulawesi Tenggara, 11 Januari 2024. TEMPO/Shinta Maharani
Majarudin, seorang nelayan di Desa Mola Selatan, perkampungan suku Bajo di Pulau Wangi-wangi, ibu kota Wakatobi, menyebutkan hasil tangkapan ikan terus menurun. Sekarang, dalam satu kali menangkap, dia hanya bisa mendapat 5 ton ikan. Sedangkan pada tahun-tahun sebelumnya, paling sedikit ia bisa membawa pulang 7 ton. “Cuaca ekstrem membuat kami makin terimpit. Ikan mulai berkurang,” kata pria 53 tahun ini.
Sanawiah, warga Pulau Hoga, mengatakan hasil tangkapan ikan nelayan berkurang drastis selama sepuluh tahun terakhir karena cuaca ekstrem. Curah hujan tinggi membuat nelayan tak bisa melaut sehingga mereka tidak bisa mendapat ikan.
Saat air laut surut, sebagian nelayan mencari teripang atau tihou dan siput atau kiwolu dalam bahasa lokal. Tapi jumlah teripang dan siput laut juga makin berkurang. Untuk memenuhi kebutuhan pangan, warga Pulau Hoga mengandalkan buah kelapa. Sebagian digunakan untuk minyak. “Kelapa jadi andalan saat krisis pangan,” kata Sanawiah.
SHINTA MAHARANI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo