Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Istana Baru Pangeran dan Agam

Untuk pertama kali Indonesia memakai GPS guna memantau pergerakan harimau Sumatera. Pangeran dan Agam pernah memakan ternak penduduk.

22 September 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH sebulan ini Pangeran menikmati istana barunya. Wilayah teritorinya luas. Makanan pun berlimpah. Ia tak tinggal sendiri di tempat itu. Ada Agam, sahabatnya. Pangeran menempati wilayah timur, sebaliknya Agam menguasai daerah barat.

Pangeran dan Agam juga mendapat pengawasan yang istimewa. Setiap jam langkah mereka dipantau. Alat global positioning system (GPS) selalu melaporkan ke mana mereka pergi. ”Mereka tampaknya sudah betah tinggal di tempat baru itu,” ujar Dolly Priatna, anggota Sumatera Tiger Conservation Forum, pekan lalu.

Pangeran dan Agam yang memperoleh perlakuan khusus itu bukanlah keturunan raja. Keduanya adalah harimau jantan Sumatera yang langka. Mereka menempati habitat baru di hutan Tampang Belimbing (Tambling), Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung, setelah ditangkap masyarakat Aceh beberapa bulan lalu. Menteri Kehutanan M.S. Kaban kemudian melepasliarkan dua harimau itu di Tambling dua bulan lalu.

Harimau yang lebih tua, Pangeran, berbobot 80 kilogram. Adapun Agam memiliki berat 76 kilogram. Dolly menyebutkan, dari hasil pemantauan GPS collar yang dikalungkan di leher, Pangeran terlihat menduduki kawasan tengah sampai timur hutan. Sementara itu, Agam lebih suka bermain-main di hutan terbuka di wilayah barat. Lantaran dua harimau yang dilepaskan berjenis kelamin jantan, secara naluriah mereka saling menjauh dan berusaha menguasai daerah jajahan masing-masing.

Pemakaian GPS collar untuk memantau pergerakan dua harimau yang dilepasliarkan itu merupakan yang pertama di Indonesia. Di dunia, Indonesia bahkan dikenal sebagai negara kedua yang menggunakan alat ini untuk kepentingan konservasi harimau. ”Karena itu, selama 24 jam kami terus mengamati perkembangan Pangeran dan Agam,” ujar Dolly.

Agam dan Pangeran memang berasal dari hutan di Aceh. Pada awal tahun ini, warga Aceh Selatan menangkap keduanya setelah mengganggu permukiman penduduk. Ada tiga harimau lagi yang ditangkap petugas. Kelimanya kemudian dirawat Balai Konservasi Sumber Daya Alam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Namun lembaga milik pemerintah itu angkat tangan karena tak memiliki dana cukup untuk merawat kelima harimau tersebut. Akhirnya Departemen Kehutanan menggandeng pengusaha Tomy Winata, pemilik Tambling Wildlife Nature Conservation. Kawasan ini berada di pinggir Taman Nasional Bukit Barisan Selatan di Lampung Barat. PT Adhiniaga Kreasinusa dan Artha Graha Peduli milik Tomy kemudian menerbangkan kelima harimau tersebut dan satu buaya ke wilayahnya. Untuk membuat kandang, merawat, dan melepasliarkan hewan-hewan tersebut, Tomy menggandeng Taman Safari Indonesia, Kebun Binatang Australia, dan Sumatera Tiger Conservation Forum.

Kabarnya taipan ini mengeluarkan dana Rp 1,5 miliar untuk mengurus semuanya. Konsekuensinya, kedua perusahaan tersebut memiliki hak menerima manfaat dari proses translokasi ini sebagai daya tarik wisata alam.

Proses translokasi ini sempat ditentang Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Irwandi Yusuf. Ia meminta Menteri Kaban mengembalikan kelima harimau tersebut ke habitat semula tapi ditolak. Menurut Kaban, habitat harimau di Aceh sudah rusak dan tak layak untuk pelestarian hewan ini. Ia mempersilakan Irwandi mengambil sendiri kelima harimau tersebut.

Protes juga datang dari warga Desa Bandar Dalam, Lampung, dan enam lembaga swadaya masyarakat. Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Lampung Mukri Friatna mempertanyakan kompetensi PT Adhiniaga Kreasinusa di bidang penyelamatan dan pelestarian satwa. Menurut dia, harimau itu lebih cocok dilepas di Taman Nasional Gunung Leuser di Aceh yang luasnya 1,3 juta hektare. Adapun Taman Nasional Bukit Barisan Selatan cuma 356.800 hektare.

Mukri juga meminta Departemen Kehutanan bertanggung jawab atas keselamatan warga. ”Wilayah harimau itu berbatasan langsung dengan kantong penduduk yang sudah ada sejak 1939,” katanya. Benar saja, hanya dua pekan setelah mereka menempati habitat baru mereka itu, penduduk setempat dibuat resah. Sebab, Agam berani masuk ke Bandar Dalam, yang bersebelahan dengan Kampung Pengekahan, dan membunuh tujuh ekor kambing.

Perilaku Agam masuk ke perkampungan, menurut Dolly yang juga merupakan co-manager Zoological Society of London, merupakan bagian dari proses adaptasi. ”Tak ada yang bisa jamin Agam tak melewati permukiman penduduk,” katanya. Pengelola hutan sudah mengganti kerugian warga Bandar Dalam secara tertutup. ”Kami khawatir, jika terbuka, dua harimau akan disalahkan apabila ada hewan ternak yang mati,” ucapnya.

Sementara itu, pemerintah daerah berencana memindahkan 168 keluarga Kampung Pengekahan. ”Mereka akan mendapat ganti tanah seluas 1,5 hektare setiap keluarga dengan lokasi baru,” kata Bupati Lampung Barat Mukhlis Basri. Namun warga menolak dan meminta ganti rugi tanah seluas 5 hektare per keluarga.

Harimau Sumatera, berasal dari Aceh maupun Lampung, masih tergolong spesies yang sama. Ketika hutan Sumatera masih tergabung, mereka dengan leluasa berinteraksi dari satu populasi ke populasi lain. Perkawinan antarpopulasi ini memperkaya variabilitas genetik dari masing-masing jenis. ”Semakin kaya variabel genetiknya, semakin tahan mereka terhadap kepunahan,” ucap Dolly. Melalui pelepasliaran ini diharapkan manfaat tersebut dapat terwujud.

Hutan Tampang Belimbing merupakan kawasan yang telah memiliki populasi harimau Sumatera. Menurut Haryo Tabah Wibisono, Koordinator Sumatera Tiger Conservation Forum, pihaknya pernah melakukan penelitian pada 2000 dan menemukan 57 ekor harimau liar di sana. Tiga tahun kemudian jumlahnya berkurang menjadi 38 ekor karena perburuan.

Kini aksi perburuan tersebut telah jauh berkurang. Menurut Kepala Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Kurnia Rauf, populasi mangsa harimau di hutan ini cukup banyak, mulai rusa tambar, babi hutan, hingga kerbau liar. Di bagian selatan penuh sumber air yang mendukung kehidup-an liar harimau.

Menurut Haryo, selama ini belum ada pemantauan yang layak tentang perilaku harimau yang dilepas ke alam. ”Semuanya bersifat teoretis dari luar negeri,” ujarnya. Bersama teman-temannya, Haryo mengaku pelepasliaran ini dijadikan ajang pembelajaran. Mereka kini mengamati terus istana baru Agam dan Pangeran.

Untung Widyanto, Vennie Melyani, Nurochman Arrazie (Lampung)


24 Jam Memantau Harimau

Pergerakan dua harimau yang dilepasliarkan di hutan Tampang Belimbing, Lampung, dapat dipantau dengan akurat berkat alat global positioning system collar. Alat ini bisa menunjukkan informasi tentang waktu, posisi geografis, ketinggian lokasi, dan aktif atau pasif perilaku harimau setiap jam.

Agam, harimau jantan yang lebih muda, mengenakan GPS collar buatan Selandia Baru dan merupakan sumbangan dari kebun binatang Australia. Adapun Pangeran mengenakan GPS collar produksi Swedia hasil donasi Zoological Society of London. Selain kedua negara tersebut, Australia dan Afrika Selatan memproduksi item yang sama. Harga GPS collar di pasar internasional mencapai US$ 6.200 per buah.

Berkat alat canggih tersebut dan bantuan satelit, lokasi kedua harimau bisa terpantau selama 24 jam. Menurut Dolly Priatna, anggota Sumatera Tiger Conservation Forum, data posisi dan pergerakan harimau akan dikirim melalui Internet setiap jam. Yayasan tempat Dolly bernaung mengeluarkan dana 36 euro per bulan untuk abonemen pengiriman data GPS plus 14 sen euro per data per jam.

Alat yang dikalungkan ini memiliki jangka waktu pemakaian baterai yang terbatas. Untuk Pangeran, jangka waktu baterainya diatur selama dua tahun, sedangkan Agam hanya enam bulan. Petugas khawatir, jika terlalu lama, kalung berisi GPS collar bakal mencekik kedua hewan yang berangkat dewasa itu. Setelah habis jangka waktunya, kalung akan terlepas dari leher dengan sendirinya.

Vennie Melyani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus