Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Kajian Peneliti BRIN Ihwal Kekeringan Ekstrem di Kalimantan, Greenpeace: Dipicu Deforestasi

Wilayah yang paling terdampak risiko kekeringan ekstrem, adalah Ibu Kota Negara atau Nusantara.

19 Maret 2024 | 17.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Klimatologi dari Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN, Erma Yulihastin, mengeluarkan kajian ihwal kekeringan ekstrem yang berpotensi melanda sebagian besar Pulau Kalimantan hingga 2033 mendatang. Kajian ini didapatkan Erma melalui pemodelan studi yang dilakukannya, dengan memantau kondisi iklim dan aspek klimatologi di daerah tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wilayah yang paling terdampak risiko kekeringan ekstrem, menurut Erma, adalah Provinsi Kalimantan Timur yang kini sudah menjadi Ibu Kota Negara atau IKN Nusantara. Dia menegaskan supaya pemerintah memperhatikan kajian soal kekeringan ekstrem itu, supaya dampak lebih besar di kemudian hari bisa diatasi sedari dini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kajian Erma soal kekeringan ekstrem di Kalimantan itu, juga direspons oleh Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik. Ia membenarkan bahwa sebagian besar wilayah di Pulau Kalimantan sudah habis dibabat hutannya dan daerah aliran sungai atau DAS di wilayah itu terkendala serta rusak.

"Saya sepakat dengan hasil kajian yang disampaikan (peneliti BRIN Erma Yulihastin), dari dulu memang kami sudah melihat dan meriset juga jejak deforestasi di Pulau Kalimantan. Mayoritas hutan di sana sudah habis dibabat untuk pertambangan batu bara," kata Iqbal saat dihubungi, Selasa, 19 Maret 2024.

Dampak bekas lokasi penambangan sangat terasa, kata Iqbal. Hutan yang sebelumnya digundulkan untuk berdirinya industri proyek itu tidak akan bisa lagi tumbuh dengan cepat. Upaya reklamasi yang diklaim sebagai solusi pun, menurut Iqbal, tampak sia-sia untuk waktu dekat.

"Bekas galian tambang batu bara membuat tanah susah untuk subur. Solusinya bisa dengan reklamasi, tapi waktu untuk mengembalikannya seperti sedia kala tidak akan mudah dan perlu bertahun-tahun lamanya," ucap Iqbal.

Merujuk data yang dimiliki Greenpeace, sepanjang tahun deforestasi terus mengalami peningkatan. Total keseluruhan untuk lima provinsi di Pulau Kalimantan telah terjadi deforestasi seluas 94.300 hektare. "Ini data terupdate di 2022, terparah itu berada di Kalimantan Tengah dengan deforestasi seluas 31,7 ribu," kata Iqbal.

Iqbal bahkan menilai tidak layak Pulau Kalimantan dijadikan sebagai pusat pemerintahan IKN Nusantara. Kondisi alam di sana tidak ramah untuk pembangunan berskala besar dan gedung-gedung itu berpotensi memperburuk kehidupan satwa yang sebelumnya sudah menetap lama di hutan Kalimantan.

"Saya juga menyoroti soal kehidupan satwa ini. Memang bangunan tidak merambah semua tempat tinggal hewan, tapi aktivitas yang sebelumnya sunyi dan tiba-tiba jadi ramai akan membawa pengaruh buruk pula pada keberadaan satwa di Kalimantan Timur," ucap Iqbal.

Lebih lanjut, Iqbal merekomendasikan kepada pejabat terkait untuk mendengar rekomendasi dan hasil kajian soal wilayah Kalimantan Timur, semisal studi pemodelan yang telah dilakukan oleh Peneliti Klimatologi Erma Yulihastin dan pegiat lingkungan lainnya.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus