Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepintas, ini mirip proyek pembuatan lapangan golf secara massal. Lebih dari 22 ribu lubang bergaris tengah 10–20 sentimeter dikebut penggarapannya oleh Pemerintah Daerah Kota Bogor hingga akhir pekan lalu. Seluruh kelurahan—ada 68—dilibatkan. Masing-masing mendapat 10 bor manual untuk mengejar tenggat 3 Juni. Tanggal ini adalah hari ulang tahun Bogor. Warga setiap kelurahan giat menggali lubang demi lubang.
Mari kita mampir ke kediaman Datje S. Ahmad, warga perumahan Bantar Jati. Sepuluh lubang tersebar di sekeliling rumahnya dengan kedalaman rata-rata satu meter. Lubang itu kemudian diisi dengan sampah. Ada daun-daun yang rontok di halaman, juga sisa-sisa sayuran. Dengan telaten, Datje mengamati kepadatan sampah pada lubang itu setiap hari. ”Supaya daya serap air baik,” kata ayah lima anak ini.
Ya, lubang-lubang itu berfungsi sebagai resapan air. Lubang biopori, begitulah pencetusnya, Kamir R. Brata, dosen Konservasi Tanah dan Air Institut Pertanian Bogor, memberi nama. Diharapkan, lubang-lubang itu dapat menjadi jalan keluar mengatasi krisis air bersih sekaligus mengurangi kiriman air ke Jakarta saat hujan. Fungsi lainnya adalah sebagai tempat pengolahan akhir sampah organik yang berguna menyuburkan tanah.
Lubang biopori merupakan teknologi sederhana untuk konservasi lahan dan air bersih. Warga tak akan terbebani dengan pembuatan lingkaran mini biopori serta pembuangan sampah ke lubang. Ini berbeda dengan pembuatan sumur resapan yang membutuhkan lahan lebih luas. Juga, biaya besar untuk membeli aneka material pengisi sumur. ”Proyek ini diutamakan untuk kawasan permukiman,” kata Wali Kota Bogor, Diani Budiarto.
Kamir Brata mengatakan, ide pembuatan lubang biopori terlintas setelah ia meneliti bongkahan tanah kawasan hutan konservasi di Sumatera, awal dekade lalu. Pada bongkahan itu ia menemukan ratusan lubang mirip terowongan yang berbentuk pori-pori. Lubang-lubang itu dibuat oleh semut, rayap, cacing, dan akar tanaman. Dalam satu bongkahan seukuran kelapa terdapat ratusan lubang yang menyerap air di kala hujan.
Setelah diteliti lebih jauh, ternyata ada lubang tak kasatmata pada bongkahan, yakni ratusan lubang biopori di dalam tanah. Lubang-lubang ini berfungsi menyerap air, menyaring air bersih, mengurai sampah organik, serta menjaga unsur hara pada tanah. Bongkahan tanah itu ia temukan di lokasi dengan banyak tumbuhan dan humus.
Bagaimana dengan tanah di kota yang sudah dipenuhi beton? Di tanah-tanah perkotaan, jelas tidak ada biopori seperti di hutan. Biopori harus dibuat untuk menjaga kemampuan tanah mengisap dan menyimpan air. Kamir mulai memperkenalkan pembuatan lubang resapan biopori, tapi gayung tak bersambut. Setelah banjir berlalu, orang lupa bahwa air bah bisa kembali datang. Pemerintah maupun pihak swasta tak berminat mengadopsi idenya karena dianggap terlalu sederhana.
Memang teknologi ini sederhana. Lebih sederhana dibanding sumur resapan. Sumur resapan menggunakan batu, pasir, dan ijuk yang ditutupi tanah lalu dilapisi semen. Menurut Kamir, teknik sumur resapan justru tidak efektif. Sebab, makhluk hidup di dalam tanah akan kekurangan oksigen. Dan, mereka tidak membutuhkan material tersebut. Akibatnya, banyak hewan-hewan pengurai yang mati dan tingkat resapan dipastikan berkurang.
Lubang biopori, mengutip Kamir, menjadi pemecah masalah. Lubang sebaiknya dibuat di bagian tanah yang tidak terendam air atau lebih tinggi dari saluran air. Jadi, selama musim kering, lubang tidak terendam air. Jika terendam, makhluk-makhluk seperti cacing, rayap, semut akan kekurangan oksigen. Selain itu, menandakan hilangnya kemampuan meresap air karena sudah jenuh.
Untuk mengetahui banyaknya lubang yang diperlukan, misalnya dalam areal 100 meter persegi, ada rumusnya. Menurut Kamir, rumus itu adalah hitungan tingkat curah hujan di daerah tersebut dibanding luas tanah. Tanah 100 meter persegi yang berada di daerah curah hujan 50 milimeter (curah hujan sedang) membutuhkan sekitar 20 lubang biopori. Hitungan itu mempertimbangkan kemampuan tanah dalam meresap air.
Supaya lubang resapan biopori berfungsi baik, sampah organik seperti daun dan sayuran busuk disimpan di sekitar mulut lubang. Sehingga, setelah dihancurkan oleh hewan pengurai, bahan organik akan jatuh ke dalam lubang dengan sendirinya. ”Lubang jangan diisi terlalu padat, karena akan mengurangi jumlah oksigen di dalamnya,” katanya. Risikonya memang tidak enak: sampah akan mengeluarkan bau busuk.
Toh, itu tak menyurutkan langkah Kamir memperkenalkan lubang biopori. Kampusnya, Institut Pertanian Bogor, menyambut ide ini dengan menawarkannya kepada pemerintah Kota Bogor. Pada Hari Bumi 22 April lalu, sebanyak 5.250 lubang telah tersebar di berbagai penjuru kota. ”Selama ini Bogor menyumbangkan 30 persen banjir bagi Jakarta. Pembuatan biopori bisa meringankan masalah itu,” kata Rektor IPB, Ahmad Ansori Mattjik.
Bila 68 kelurahan di Bogor menerapkan teknologi sederhana ini, bukan tidak mungkin mereka dapat menyelamatkan warga Jakarta dari bahaya kelelep tahunan.
Adek Media, Deffan Purnama (Bogor)
Mudah dan Murah
Pembuatan lubang resapan harus memperhatikan kondisi tanah dan tingkat curah hujan. Lubang biopori menjadi pilihan murah dan mudah. Meski terus diisi sampah, lubang ini tetap bisa dipergunakan karena makhluk-makhluk di dalam tanah dapat mengurai sampah dalam waktu enam bulan.
Manfaat:
- Konservasi air bersih
- Membantu pengolahan sampah domestik
- Menjaga kesuburan tanah
- Mengurangi banjir
Di dalam tanah selain ada aneka ragam makhluk hidup dan oksigen. Juga, terkandung jutaan kubik air yang sudah tersaring. Air ini sudah bersih dan mengalir melalui terowongan kecil di dalam tanah ke sekitar mata air.
Setiap lubang dapat diisi dengan sampah organik selama 2-3 hari. Dengan demikian 28 lubang baru dapat dipenuhi dengan sampah organik yang dihasilkan selama 56–84 hari.
Intensitas hujan: 50 milimeter/jam (hujan sedang)
Laju resapan: 3 liter/menit (180 liter/jam) Diperlukan 28 lubang untuk lahan 100 meter persegi.
Lubang biopori Garis tengah: 10 sentimeter Kedalaman: 100 sentimeter Daya tampung: 7,8 kilogram sampah organik
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo