Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Manfaat Ekonomi Energi Terbarukan Berbasis Komunitas

Riset menunjukkan transisi energi yang bertumpu pada energi terbarukan berbasis komunitas lebih menguntungkan bagi ekonomi.

13 Juni 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UPAYA pemerintah untuk menggenjot transisi energi terbarukan hingga saat ini masih berfokus pada pembangunan pembangkit listrik berskala besar. Dari pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Batang Toru di Sumatera Utara hingga proyek panas bumi di Wae Sano, Nusa Tenggara Timur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sayangnya, fokus ini justru menciptakan berbagai masalah sosial dan lahan. Belum lagi risikonya terhadap keberagaman hayati.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Proyek listrik berskala besar juga tak menjamin akses listrik yang merata, terutama bagi penduduk di desa-desa terpencil. Per akhir 2022, saat Indonesia tengah surplus listrik, tercatat ada 4.400 desa yang belum teraliri setrum.

Untuk mencapai transisi energi yang berkeadilan, terutama bagi warga pelosok, pemerintah perlu pendekatan baru untuk memprioritaskan penyediaan energi terbarukan berbasis sumber daya lokal dan dikelola masyarakat. Ketergantungan pemerintah terhadap perencanaan ala PLN perlu dikurangi. Sebaliknya, upaya masyarakat yang ingin memenuhi kebutuhan energinya secara mandiri nan lestari perlu didukung habis-habisan.

Riset kami bersama organisasi pegiat isu lingkungan, 350.org, mencoba menelaah manfaat pemerintah apabila menggunakan pendekatan energi berbasis komunitas sebagai langkah prioritas transisi energi. Kami menghitung, dalam 25 tahun ke depan, energi terbarukan berbasis komunitas justru menghasilkan dampak ekonomi hingga Rp 18.636 triliun dan mengangkat 16 juta penduduk dari kemiskinan.

Menggeliatkan Sektor Usaha dan Meratakan Pertumbuhan

Kami melakukan simulasi pengembangan energi terbarukan berbasis komunitas berdasarkan pertumbuhan tahunan rata-rata energi surya (PLTS) dan mikrohidro (PLTM) selama lima tahun terakhir. Kedua energi ini acap digunakan dalam proyek energi terbarukan berbasis komunitas di Indonesia.

Kami juga memasukkan sumber energi terbarukan lainnya, seperti angin (PLTB), yang potensial digunakan dalam proyek energi skala kecil.

Dari pertumbuhan energi tersebut, kami menghitung dampaknya ke masyarakat dan berbagai sektor perekonomian di sekitarnya dengan pemodelan Interregional Input-Output (IRIO). Studi kami juga menghitung dampaknya terhadap produk domestik bruto (PDB) dan penyerapan tenaga kerja.

Hasilnya, pertumbuhan energi terbarukan berbasis komunitas selama 25 tahun dapat menghasilkan output ekonomi rata-rata sebesar Rp 745 triliun per tahun. Nilai ini berasal dari nilai investasi energi terbarukan serta penyerapan tenaga kerja untuk pemasangan dan perawatan. Hasil industri lokal, seperti olahan perkebunan rakyat, pariwisata, kerajinan, dan industri rumah tangga lainnya, juga akan meningkat karena masuknya listrik ke daerah mereka.

Beberapa daerah, seperti di Lumajang, Jawa Timur, juga menunjukkan hubungan positif antara energi berbasis komunitas dan praktik ekonomi restoratif (yang memulihkan alam serta masyarakat). Sebab, air untuk PLTM juga digunakan untuk mengairi perkebunan yang berkelanjutan.

Energi terbarukan berbasis komunitas juga dapat berkontribusi pada PDB sebesar Rp 10.463 triliun secara kumulatif dalam 25 tahun ke depan. Kontribusi terbesar pada tahun ke-25 akan berasal dari sektor pengolahan (Rp 415 triliun); sektor pengadaan air, pengelolaan sampah, limbah, dan daur ulang konstruksi (Rp 335 triliun); serta sektor pengadaan listrik, air, dan gas (Rp 258 triliun).

Patut dicatat bahwa PDB ini akan bertumbuh nyaris merata—lebih tinggi di wilayah Indonesia timur (seperti Gorontalo, Maluku, dan Papua). Sebab, energi terbarukan berbasis komunitas akan menjadi suplai listrik murah dan stabil menggantikan suplai energi konvensional yang belum ada ataupun sukar tersedia sepanjang hari. Energi yang stabil akan meningkatkan produktivitas masyarakat, badan usaha desa dan koperasi, serta usaha-usaha kecil setempat.

Merangsang green jobs dari desa

Ekonomi desa yang menggeliat juga akan menciptakan lapangan kerja dari pinggiran. Studi kami menaksir, selama 25 tahun, ribuan proyek energi terbarukan berbasis komunitas dapat menyerap lebih dari 96 juta pekerja. Serapan tertinggi berada di sektor green jobs, seperti bidang manufaktur dan distribusi peralatan energi terbarukan, pengembangan proyek, konstruksi dan pemasangan, operasi dan pemeliharaan, serta bidang lintas sektor yang umum.

Lagi-lagi, dengan model energi terbarukan yang terdesentralisasi, penciptaan lapangan kerja juga berpeluang terjadi secara merata. Pada tahun ke-25, misalnya, pemodelan kami menaksir penyerapan kerja tinggi di provinsi seperti Kalimantan Timur (1,39 juta pekerja), Nusa Tenggara Timur (1,7 juta), dan Nusa Tenggara Barat (1,3 juta).

Selain banyak penyerapan, studi kami juga meramalkan total pendapatan pekerja nasional meningkat hingga Rp 510,9 triliun pada tahun ke-25. Kenaikan penyerapan pekerja juga merangsang peluang beraneka green jobs dengan keahlian khusus bidang energi terbarukan. Potensi ini perlu dijawab dengan pelatihan vokasi ataupun penguatan Balai Latihan Kerja (BLK) di daerah-daerah.


Simulasi kenaikan pendapatan pekerja melalui pengembangan energi terbarukan berbasis komunitas hingga tahun ke-25. CELIOS

Dari mana uangnya?

Melistriki ribuan desa bukan pekerjaan mudah. Jika berniat memprioritaskan energi terbarukan berbasis komunitas, pemerintah perlu menyiapkan kebijakan untuk membuka peluang sumber pendanaan.

Kami mencoba mengidentifikasi sumber-sumber mana saja yang potensial untuk mendanai proyek energi terbarukan berbasis komunitas, di antaranya:

1. Anggaran negara

Indonesia dapat memanfaatkan anggaran negara yang sudah ada, seperti dana desa, untuk mendanai energi terbarukan berbasis komunitas. Kita juga bisa menerapkan kebijakan baru, seperti menggeser anggaran subsidi energi fosil, dana bagi hasil sumber daya alam di masing-masing daerah, dan realokasi insentif fiskal dari yang selama ini diterapkan bagi industri batu bara ke proyek energi terbarukan.

Pemerintah juga dapat merumuskan kebijakan progresif yang menguntungkan pendanaan energi terbarukan berbasis komunitas. Beberapa di antaranya adalah pajak windfall profit (keuntungan dari lonjakan harga komoditas), pajak kekayaan, pajak produksi batu bara, pajak karbon, ataupun pembentukan dana abadi untuk pengembangan energi terbarukan.

2. Anggaran internasional

Indonesia, melalui skema Just Energy Transition Partnership (JETP), mendapat komitmen pendanaan dari negara-negara maju sebesar US$ 20 miliar (Rp 320 triliun). Sayangnya, rencana investasi JETP masih berfokus pada energi terbarukan berskala besar. Pendanaan pun dominan menggunakan mekanisme utang, bukan hibah.

Pemerintah semestinya bisa melakukan renegosiasi dengan negara maju untuk memberikan hibah. Bisa pula renegosiasi dilakukan agar negara maju mengalihkan piutangnya (debt swap) di Indonesia ke proyek transisi energi terbarukan berbasis komunitas.

Skema ini berguna untuk menekankan aspek keadilan sosial dalam JETP.

3. Perbankan dan pasar modal

Indonesia perlu menyiapkan kebijakan yang merangsang perbankan dan lembaga modal ventura untuk lebih banyak membiayai proyek energi terbarukan berbasis komunitas. Pembiayaan juga dapat digenjot melalui koperasi ataupun penerbitan instrumen keuangan, seperti sukuk dan reksadana, yang menghimpun dana masyarakat untuk membiayai proyek-proyek energi bersih.

Persiapan

Upaya menggeser paradigma transisi energi pemerintah dari proyek berskala besar ke skala komunitas memang tidak mudah. Ini membutuhkan komitmen politik untuk melaksanakan transisi energi yang berkeadilan dalam jangka panjang.

Selain itu, banyak aspek teknis yang perlu dipikirkan, seperti perencanaan proyek, pemeliharaan pembangkit listrik oleh warga, hingga pelaporan dan pertanggungjawaban dana. Gagasan ini membutuhkan pemikiran dan partisipasi bersama dari semua pemangku kepentingan, terutama warga desa yang siap bahu-membahu menyiapkan listrik energi terbarukan di kampung masing-masing.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Bhima Yudhistira

Bhima Yudhistira

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS)

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus