Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Cali, Kolombia - Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia menyerukan kepada pemerintah yang sedang berunding di Conference of the Parties to the Convention on Biological Diversity COP16 CBD, Cali, Kolombia untuk mendukung agenda terkait hak-hak Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal (IP&LC). Hampir 200 negara berkumpul di Cali untuk merundingkan upaya menghentikan dan membalikkan kerusakan alam dan punahnya keanekaragaman hayati.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penghormatan terhadap hak Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal menempati peran penting dalam Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global atau Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework (KM-GBF) yang disepakati dua tahun lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada COP16, Masyarakat Adat mendorong negara-negara yang hadir untuk memastikan pengakuan penuh atas kontribusi Masyarakat Adat dalam perlindungan keanekaragaman hayati di dunia, serta mendorong ditetapkannya pembentukan badan permanen (Subsidiary Body) yang mengikat khusus Article 8j terkait pengetahuan lokal, inovasi, dan praktik-praktik tradisional dalam perlindungan keanekaragaman hayati.
Namun, Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia menyebut perwakilan delegasi Indonesia menolak pendirian Subsidiary Body tersebut. Padahal, kontribusi Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal untuk mencapai target KM-GBF sangat besar.
“Penolakan Indonesia terhadap pembentukan Subsidiary Body pada Article 8j tentang Pengetahuan, Inovasi, dan Praktik-Praktik Tradisional adalah sebuah kemunduran,” ujar ungkap Cindy Julianty dari WGII (Working Group on Indigenous and Local Communities-Conserved Areas and Territories Indonesia) dalam keterangannya, Kamis, 24 Oktober 2024.
Menurutnya, pembicaraan terkait upaya mempermanenkan Working Group on Article 8j sudah dilakukan sejak 20 tahun lalu untuk memastikan perlindungan terhadap pengetahuan tradisional, juga inovasi dan praktik yang dilakukan oleh Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal dalam pemanfaatan dan perlindungan sumber daya genetik.
“Pasca komitmen KM-GBF, adanya kerangka kerja dan pembentukan Subsidiary Body dapat memastikan terukur dan terjaminnya dimensi keadilan dan sosial dari implementasi KM-GBF,” tambah Cindy.
Sementara Kasmita Widodo, Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), mengatakan saat ini wilayah adat di Indonesia yang telah terpetakan sudah mencapai 30,1 juta hektare. Namun, baru 16 persen dari wilayah tersebut yang telah diakui secara hukum. “Menjamin hak penguasaan tanah masyarakat adat adalah hal yang terpenting jika kita ingin melindungi keanekaragaman hayati yang masih tersisa,” ujarnya.
Menjamin dan melindungi wilayah masyarakat adat dan kawasan konservasi akan membantu Indonesia mencapai target 30x30 (perlindungan 30 persen area keanekaragaman hayati di daratan dan lautan pada tahun 2030).
Menurut data terbaru dari WGII, terdapat lebih dari 22 juta hektare lahan yang dikelola dan dilindungi dengan pengetahuan tradisional yang dapat berkontribusi untuk mencapai tujuan konservasi Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global atau Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework (KM GBF).
Lu’lu’ Agustina, anggota Delegasi RI di COP16 CBD Kolombia, menilai Koalisi Masyarakat Sipil salah interprestasi. Menurutnya, Indonesia menolak apabila amanat COP mewajibkan IPLC (Indigenous Peoples and Local Community) mempunyai hak akses langsung pada pendanaan yang ada ketika isu yang dibicarakan adalah kontribusi pada konservasi di mana pemerintah sudah mempunyai program, rencana, mekanisme yang akan dilakukan. “Penolakan kata-kata direct access tidak diartikan bahwa Masyarakat Adat tidak boleh atau tidak bisa mendapat akses dana, tetapi dilakukan lewat jalur satu pintu,” ujarnya.
Selain itu, Indonesia tidak mengenal Indigenous People, karena semua orang Indonesia adalah pribumi, beda dengan negara lain. “Jadi, mekanisme pembayaran pendanaan harus mengikuti tata aturan masing-masing negara dan tidak bisa didikte secara sepihak lewat pandangan global,” ujar Lu’lu’.