Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hampir sepertiga dari populasi masyarakat Indonesia, yaitu sekitar seratus juta orang, tinggal di daerah rawan banjir. Memindahkan mereka ke tempat yang lebih aman merupakan pekerjaan sulit, tapi penting.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 2010-2021, Indonesia mengalami 9.894 banjir yang menewaskan 2.394 orang dan menyebabkan kerugian ekonomi rata-rata Rp 22,8 triliun. Angka kejadiannya selalu meningkat dari tahun ke tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bencana yang paling sering terjadi di Indonesia adalah banjir. Indonesia rentan banjir karena kondisi geologisnya terletak di pertemuan tiga lempeng tektonik besar, yakni Eurasia, Indo-Australia, dan Pasifik. Hal ini menyebabkan terbentuknya rangkaian gunung berapi dari barat hingga timur Nusantara sehingga rawan terjadi letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, likuefaksi (pencairan tanah), tanah longsor, banjir, dan cuaca ekstrem.
Data Indeks Risiko Bencana Indonesia menunjukkan, pada 2021, terdapat 324 kabupaten dan kota tergolong berisiko banjir tinggi, 69 kabupaten dan kota berisiko sedang, dan hanya 3 kabupaten dan kota yang berisiko rendah.
Kendaraan menerobos banjir di Jalan Kapten Tendean, Jakarta, 6 Oktober 2022. TEMPO/Febri Angga Palguna
Meningkatnya bencana banjir di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor. Satu faktor utamanya adalah perubahan iklim, yang menyebabkan banjir di tepi pantai akibat naiknya permukaan air laut dan pasangnya air laut. Perubahan iklim juga mendorong perubahan pola curah hujan yang menyebabkan munculnya curah hujan berintensitas tinggi dalam jangka waktu lama.
Limpasan dari curah hujan ini melebihi perkiraan volume yang awalnya digunakan untuk merancang sistem saluran air. Jalur air di kota-kota di Indonesia berada di bawah tekanan ekspansi permukiman yang cepat. Tanah yang sebelumnya menjadi lapisan penyerap air tertutupi aspal dan beton. Fakta ini kian diperumit oleh genangan di daerah yang tanahnya menurun akibat ekstraksi air tanah.
Aktivitas manusia juga memperparah dampak banjir melalui perubahan tata guna lahan di hulu, sedimentasi sungai dan penggundulan hutan, serta saluran pembuangan yang tidak memadai atau tak berfungsi dengan baik di kota-kota besar, khususnya di Jakarta. Risiko bencana banjir meningkat bersamaan dengan peningkatan jumlah masyarakat yang membutuhkan tempat tinggal dan pindah ke daerah dataran rendah yang rawan banjir.
Penanggulangan banjir tidak dapat didasarkan pada batas-batas administratif, melainkan harus dikoordinasikan dalam satu wilayah daerah aliran sungai (DAS), termasuk faktor hulu dan hilir.
Mitigasi risiko bencana banjir dapat dilakukan melalui dua acara, yaitu struktural dan non-struktural. Mitigasi struktural dapat meminimalkan dampak banjir, seperti peningkatan kapasitas saluran air dan pengurangan kecepatan aliran air. Peningkatan kapasitas saluran air dapat dilakukan dengan memperlebar penampang saluran atau sungai, memperdalam dasar sungai atau meninggikan tanggul, dan mengembangkan saluran untuk memecah aliran sungai.
Sedangkan pengurangan kecepatan aliran air dapat dilakukan dengan membangun waduk. Solusi struktural lain untuk mengurangi banjir adalah membangun sumur resapan di sekitar bangunan baru untuk mengurangi limpasan permukaan dan meningkatkan pengisian air tanah. Hal ini akan memerlukan perubahan aturan izin mendirikan bangunan.
Tim SAR mengevakuasi wisatawan mancanegara yang terjebak banjir di Seminyak, Badung, Bali, 8 Oktober 2022. ANTARA/Fikri Yusuf
Penataan wilayah merupakan tahap awal dalam upaya mitigasi bencana. Namun tanggapan dari berbagai daerah untuk memberikan informasi bencana dalam penyusunan rencana tata ruang belum merata. Alasan utama untuk tidak mengikuti rencana tersebut adalah ekonomi. Peningkatan kesiapsiagaan masyarakat di daerah rawan banjir dapat dilakukan melalui pendidikan, sosialisasi, pelatihan, penyusunan SOP banjir, penyusunan peta jalur evakuasi dan titik aman, serta peringatan dini banjir.
Sistem peringatan dini banjir telah dibangun di beberapa wilayah di Indonesia, tapi belum semuanya berfungsi secara optimal. Alasannya, antara lain, rendahnya pemahaman masyarakat tentang risiko banjir; sistem peringatan dini banjir dan pemantauan saluran air yang belum terintegrasi; sosialisasi peringatan dini banjir yang belum efektif; kurangnya kapasitas masyarakat dalam merespons informasi dan peringatan dini banjir; kurangnya koordinasi antar-instansi dan pemerintah daerah dalam penyampaian peringatan dini banjir kepada masyarakat; dan pemanfaatan teknologi yang belum optimal.
Pendidikan tanggap bencana sangat penting untuk mencapai ketahanan masyarakat dalam menghadapi bencana. Pendidikan ini harus diperkenalkan sejak dini, baik di lingkungan sekolah maupun dalam keluarga, untuk mengubah pengetahuan menjadi budaya—sebuah proses yang membutuhkan waktu lama dan upaya secara terus-menerus.
Namun Indonesia memiliki pengetahuan yang terbatas untuk mewajibkan atau membimbing pendidikan tanggap bencana di sekolah, baik di kelas maupun dalam kegiatan ekstrakurikuler. Pelaksanaannya dilakukan secara sporadis di tingkat lokal. Pendidikan yang memberikan pengetahuan tanggap bencana serta penerapannya dalam kehidupan sehari-hari pada saatnya akan membentuk mitigasi dan meningkatkan ketahanan nasional.
---
Artikel ini pertama kali terbit di 360 Info dalam bahasa Inggris dan diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Anis Sania (Magang).
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo