Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sepertiga desa yang berlokasi di sekitar hutan termasuk kategori miskin.
Penelitian dosen UIN Sunan Ampel, Surabaya, mendapati sejumlah penyebab kemiskinan kronis di satu dusun di Bojonegoro, dari hilangnya sumber pendapatan akibat pembalakan hingga buta manajemen keuangan.
Temuan ini menjadi alarm bagi upaya pengentasan masyarakat kawasan hutan dari kemiskinan.
Masyarakat kawasan hutan sering kali menjadi saksi bisu penderitaan kemiskinan kronis. Dalam struktur masyarakat kawasan hutan yang jauh dari hiruk-piruk kota dan akses pengetahuan, ternyata masih banyak rumah tangga yang terjebak dalam kemiskinan kronis selama bertahun-tahun dan lintas generasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 2021, Badan Pusat Statistik melaporkan bahwa 36,7 persen dari 25.863 desa yang terletak di sekitar kawasan hutan termasuk kategori miskin. Selain itu, data Direktorat Jenderal Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi menunjukkan 58 persen dari seluruh desa tertinggal di Indonesia berlokasi di sekitar kawasan hutan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bila ditinjau dari durasi atau lama kondisi kemiskinannya, kemiskinan dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu kemiskinan sementara atau transien dan kemiskinan kronis. Kemiskinan sementara cenderung bersifat temporal dan bisa disebabkan oleh faktor eksternal, seperti bencana alam, krisis keuangan, atau, seperti yang kita alami baru-baru ini, pandemi Covid-19.
Sementara itu, kemiskinan kronis melibatkan kondisi yang serius, tidak hanya terkait dengan pendapatan yang rendah, tapi juga melibatkan masalah pembangunan manusia, mental individu, dan isolasi sosial. Kondisi ini dapat bertahan bertahun-tahun, bahkan turun-temurun lintas generasi.
Saya melakukan riset di Dusun Malangbong, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, untuk mengidentifikasi faktor-faktor kunci yang membuat kondisi kemiskinan ini sulit diatasi dalam kurun waktu yang lama. Lokasi Dusun Malangbong bersebelahan dengan kawasan hutan produksi milik Perhutani yang sedikit terisolasi dengan sumber daya yang terbatas, mengingat sulitnya akses transportasi untuk keluar-masuk dusun. Terdapat 105 keluarga di dusun tersebut, yang sebagian besarnya hidup dalam kemiskinan.
Pengendara melintasi hutan jati yang mengering di Bojonegoro, Jawa Timur, 27 Oktober 2023. ANTARA/Muhammad Mada
Saya melakukan wawancara dengan 14 keluarga dan sejumlah perangkat desa, observasi lapangan, dan studi kearsipan untuk mendukung penelitian saya. Temuan saya menjadi alarm bagi pemerintah untuk menggenjot upaya pengentasan masyarakat dari kemiskinan, terutama bagi warga di sekitar hutan. Indonesia berambisi membuat sektor kehutanan lebih banyak menyerap emisi ketimbang melepaskannya pada 2030. Nah, pemenuhan target tersebut turut bergantung pada kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan.
Realitas Kemiskinan Kronis di Kawasan Hutan
Riset saya menemukan sebagian besar rumah tangga di Dusun Malangbong mengalami karakteristik kemiskinan kronis yang mengkhawatirkan—dari mata pencaharian yang tidak menguntungkan hingga pendapatan yang terus merosot, kualitas hidup rendah, dan masalah kesehatan yang memprihatinkan. Mereka menggantungkan hidup sebagai buruh tani di hutan dengan upah minimum. Kondisi ekonomi mereka sangat terkait dengan pemanfaatan kayu hutan, yang kini semakin berkurang.
Sebanyak 85 persen laki-laki warga Malangbong bekerja di hutan sebagai buruh tani jagung, yang mayoritas berada di tanah sewa milik Perhutani. Namun pemasukan terbesar mereka malah berasal dari penebangan liar kayu jati yang kini makin sulit ditemukan.
Mayoritas penduduk menghadapi kualitas hidup rendah, terutama dalam hal akses listrik, sanitasi, air minum, dan rumah layak huni. Penggunaan kayu sebagai bahan bakar memasak masih menjadi kebiasaan, bahkan tungku kompor berada dalam satu ruangan dengan kandang ternak dan ranjang tidur. Hal ini menyebabkan bau yang tidak nyaman dan sering kali mencampuri udara rumah tangga.
Sistem sanitasi dapat dikategorikan buruk, yang berkaitan dengan keterbatasan sumber daya air. Semua warga dusun harus bergantung pada satu mata air. Jarak yang harus ditempuh untuk mengambil air, sekitar ratusan meter hingga 1 kilometer, menambah beban warga dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Fasilitas mandi-cuci-kakus tidak memadai, dengan kamar buang kecil/besar sering kali berada dekat dapur, bahkan dalam kondisi terbuka atau dengan penutup yang sederhana.
Aspek kesehatan, terutama pola makan, juga turut terpengaruh. Telur dan daging menjadi barang mewah. Sebagian warga hanya mampu mengkonsumsinya 1-2 kali seminggu. Beberapa keluarga bahkan harus menahan diri sebulan lebih tanpa makan telur. Prioritas pengeluaran uang cenderung untuk jamu-jamuan demi menjaga daya tahan tubuh daripada buat membeli protein dari telur.
Faktor Internal Penyebab Kemiskinan Kronis
Faktor internal yang menyebabkan langgengnya kemiskinan kronis adalah rendahnya kualitas pendidikan, terlalu bergantung pada kayu hutan dan rendahnya kreativitas dalam usaha, pola pikir pengelolaan uang rumah tangga yang tidak efektif, serta terbatasnya sumber daya air.
Rendahnya kualitas pendidikan di dusun kawasan hutan menjadi hambatan besar. Di Dusun Malangbong, mayoritas anak hanya mampu menempuh pendidikan hingga tingkat SD dan SMP. Keterbatasan unit pendidikan di dusun membuat anak-anak harus berjuang menempuh perjalanan sejauh belasan kilometer untuk bisa melanjutkan pendidikan ke level SMA.
Pilihan pekerjaan setelah lulus sekolah cenderung terbatas, dengan mayoritas memilih menjadi buruh tani. Inovasi dalam jenis pekerjaan atau usaha baru terhambat oleh tradisi berpikir yang masih mengedepankan pemenuhan kebutuhan makan harian saja.
Penggunaan kayu sebagai sumber pendapatan utama semakin sulit karena hutan pohon jati yang biasa ditebang dan "dicuri" oleh warga mulai habis. Meskipun ada beberapa upaya menanam tanaman alternatif, seperti gadung atau umbi-umbian, pola pikir mayoritas warga masih tertahan pada kegiatan pertanian yang langsung menghasilkan. Pemikiran "kerja hari ini untuk makan besok" masih mendominasi sehingga sulit berpindah ke jenis pekerjaan jangka panjang, seperti peternakan.
Sebagian besar dari mereka hidup dengan filosofi yang menyertainya: "Hari ini, jerih payah hanya untuk menutupi kebutuhan makan besok saja. Uang yang dihasilkan dengan susah payah hari ini harus terasa mengalir dan terasa habis begitu saja. Mereka menganggap bekerja di hutan hari ini sudah cukup, pulang dalam keadaan lelah dan lesu, berusaha menikmati hidangan seadanya sampai perut kenyang, kemudian tenggelam dalam tidur. Begitu matahari menyingsing besok, mereka kembali memulai perjalanan menuju hutan, memulai rutinitas yang tak kunjung usai."
Aspek perekonomian juga terkait dengan kurangnya pemahaman manajemen uang rumah tangga. Mayoritas rumah tangga miskin tidak memiliki tabungan, dan uang yang diperoleh cenderung dihabiskan tanpa pertimbangan untuk kebutuhan mendesak di masa depan. Tidak adanya pola pikir untuk menyisihkan sebagian penghasilan membuat mereka rentan terhadap kondisi darurat, seperti sakit atau musibah lain.
Pengendara melintasi hutan jati yang mengering di Bojonegoro, Jawa Timur, 27 Oktober 2023. ANTARA/Muhammad Mada
Faktor Eksternal Penyebab Kemiskinan Kronis
Tantangan kemiskinan masyarakat kawasan hutan tidak hanya berasal dari faktor internal, tapi juga dipengaruhi oleh faktor eksternal yang menyebabkan terisolasinya masyarakat dari pusat desa/kota. Kondisi ini mencakup rusaknya infrastruktur jalan penghubung antar-dusun/desa dan keterbatasan sarana perekonomian di desa.
Fakta ini menunjukkan bahwa kemiskinan masyarakat kawasan hutan berkaitan erat dengan isu kemiskinan struktural akibat kurangnya perhatian pemerintah terhadap kawasan-kawasan tersebut.
Sebagai penduduk pinggiran hutan yang mayoritas petani, mereka menghadapi kesulitan ekonomi tingkat bawah. Kondisi geografis dusun ini membuat sinyal gawai sulit terdeteksi sehingga membatasi akses mereka untuk terhubung dengan dunia luar. Jarak yang harus ditempuh untuk mencapai pusat desa terdekat cukup jauh serta melalui jalan yang tidak layak, dengan kondisi jalan makadam yang rusak dan berbahaya.
Keterbatasan akses jalan ini membuat aktivitas sehari-hari, seperti bertransaksi di pasar desa atau berkomunikasi dengan pihak luar, sulit dilakukan. Bahkan kepala dusun pun kesulitan untuk rutin datang ke balai desa, yang hanya bisa dilakukan sekali dalam seminggu, akibat sulitnya akses jalan.
Selain itu, dusun yang banyak memiliki warga miskin kronis kekurangan infrastruktur penting, seperti klinik kesehatan, koperasi, dan pasar. Hanya ada satu masjid sebagai tempat ibadah. Sedangkan untuk kebutuhan ekonomi lebih lanjut, potensi pemberdayaan ekonomi lokal terbatas. Keberadaan unit-unit seperti keuangan mikro yang dapat membantu ekonomi masyarakat sangat diperlukan, tapi sulit diimplementasikan tanpa infrastruktur dasar yang memadai.
Perlunya Mengakhiri Siklus Kemiskinan Kronis
Dari potret kehidupan di dusun dekat hutan, menjadi jelas bahwa pemutusan siklus kemiskinan kronis memerlukan upaya serius dan komprehensif. Tantangan yang dihadapi masyarakat ini tidak hanya terkait dengan faktor internal, tapi juga eksternal, seperti isolasi geografis dan rusaknya infrastruktur.
Karena itu, dukungan akses pendidikan yang lebih baik, diversifikasi mata pencaharian, perbaikan infrastruktur, edukasi manajemen keuangan rumah tangga, dan pemberdayaan ekonomi lokal adalah langkah-langkah krusial untuk memutus siklus kemiskinan kronis.
Salah satu contoh konkret lain sebagai upaya pengentasan masyarakat dari kemiskinan yang bisa diterapkan adalah mengimplementasikan konsep perhutanan sosial dan memberikan peluang bagi warga sekitar berperan serta dalam mengelola hutan bersama Perhutani.
Peningkatan kualitas hidup dan kesempatan yang setara bagi masyarakat jenis ini memerlukan kolaborasi antara pemerintah, lembaga non-profit, dan komunitas lokal. Hanya dengan langkah-langkah ini, kita dapat bersama-sama menciptakan perubahan positif dan mengarahkan mereka menuju masa depan yang lebih cerah, bebas dari belenggu kemiskinan yang telah melanda generasi demi generasi.
---
Artikel ini ditulis oleh Aun Falestien Faletehan, dosen Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya. Terbit pertama kali di The Conversation.