Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Mengiang cemarnya tamiang

6 kecamatan yang bermukim di sepanjang daerah aliran sungai tamiang, kesulitan air. air sungai diduga tercemar limbah pabrik kelapa sawit ptp i aceh. pihak ptp i membantah. protes penduduk terhenti.

17 Desember 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"MINIA air, Pak. Kami bisa mati kehausan. Sudah tidak ada lagi air minum," teriak seorang ibu rumah tangga. Itu ia tujukan kepada camatnya, Ilyas Wan Diman. Sambil menenteng ember lebih 100 lelaki, perempuan, tua, muda, akhir Oktober lalu, mereka ke Kantor Camat Kejuruan Muda di Sungai Liput, 42 km dari timur Langsa -- ibu kota kabupaten Aceh Timur. Mereka penasaran karena tak bisa lagi memanfaatkan air Sungai Tamiang untuk kebutuhan hidup. Biasa airnya bening, sekarang berubah hitam. Di permukaan air malah ada gumpalan putih laksana kapas mengapung. Rupanya, itu ribuan ikan dan udang, tewas hanyut. Mereka menduga bahwa biang pencemarnya adalah pabrik kelapa sawit milik PTP I Aceh, Pulau Tiga, di Kecamatan Tamiang Hulu, 20 km di selatan pasar Sungai Liput. Protes penduduk, sebenarnya mau ditujukan ke sana. Awalnya diarahkan dulu lewat Camat Kejuruan Muda, karena lebih dekat. "Pencemaran Sungai Tamiang akan ditanggulangi," kata Camat Ilyas, menenangkan. Mereka bubar dengan sabar, walau kekurangan air menghantui penduduk itu. Setelah sebulan, tetapi belum ada tanda dipedulikan, pekikan terhadap cemarnya Tamiang kembali mengiang. Pada 30 November silam, mereka mendatangi Camat Seruway, Ali Ahmad Kaseh. Penduduk Tanah Merah, di sana, meminta camatnya itu menindak si pencemar air sungai yang panjangnya 90 km, lebar 150 m, dalamnya antara 10 dan 20 m itu. Unjuk rasa penduduk dari dua kecamatan yang sudah disebut ini, juga mewakili kegelisahan penduduk di 4 kecamatan lain yang bermukim di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Tamiang. Jadi, ada 6 kecamatan di kabupaten ladang minyak itu yang penduduknya kesulitan memperoleh air minum. Sebelumnya, mereka belum tahu air sungai itu sudah berubah, lalu terus saja memanfaatkannya. Kemudian baru heboh setelah 20 orang keracunan, dan digotong ke Rumah Sakit Kota Kualasimpang. Lima di antaranya dibawa ke puskesmas terdekat. Abdul Majid, 50 tahun, misalnya, merasa pusing setelah minum air sungai itu. Kemudian ia muntah-muntah, hingga pingsan. Khaidir, 45 tahun, merasakan sakit perut, dan mencret. Sementara itu, di Benua Raja, 4 km dari Kualasimpang, penduduk menemukan bangkai buaya di tepi sungai. Dalam pada itu, pabrik es Saripetojo, Kualasimpang, terpaksa menyuplai air dengan truk tangki. Tapi karena masih banyak yang membutuhkan air, ada penduduk yang tiap hari berjalan kaki sekitar 10 km, mengangsu di sumur kerabatnya di desa lain. Pelanggan air pet juga bernasib sama. Sebab, PAM Tirta Peusada di Kualasimpang tidak berani lagi mengolah air Tamiang yang selama ini dijadikan air bakunya. Kepala PAM itu, Eddi Rasyid, khawatir, lalu keran terpaksa dia tutup. "Itulah tindakan kami menyelamatkan konsumen dari bahaya keracunan," katanya. Sebenarnya dia sudah jauh hari mencatat pencemaran sungai itu. Yang terparah pada 13 April 1987, 9 Juni 1987, 30 Maret 1988. Setelah itu pemda setempat mengumumkan melalui radio swasta Cakrawala dan siaran keliling: penduduk dilarang minum air dan memakan ikan atau udang asal dari Sungai Tamiang. Tapi pengumuman lanjutan ternyata padam hingga di situ saja. Penduduk makin jengkel. Pemda hanya mampu melarang mereka memanfaatkan air sungai itu, sedangkan penyebab pencemarannya tidak ketahuan. Tak ada pula terdengar kabar bagaimana usaha menanggulanginya. Setelah Camat Kualasimpang, Bachtiar Ahmad, melaporkan kepada bupati di Langsa, barulah dibentuk tim yang diketuai Nabhani, Asisten I Pemda Kabupaten Aceh Timur. Hasilnya? Nihil. Lalu Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten mengirimkan contoh air dan ikan serta udang eks Sungai Tamiang, ke Balai Laboratorium Kesehatan Departemen Kesehatan di Banda Aceh. Semua contoh yang dikirim itu, setelah dianalisa, memang mengandung pestisida golongan organo chlorine. Hanya, analisa tadi tak menyebutkan seberapa jauh kadar kimia yang mencemari Sungai Tamiang, dan apa akibat buruknya. Tapi, kata Nabhani, jenis pestisida golongan organo chlorine ini mesti diperiksa lagi ke Balai Teknik Kesehatan Lingkungan Hidup (BTKLH) di Yogyakarta. "Cuma, kami tidak punya dana untuk menelitinya," katanya enteng. Komisi "A" DPRD Aceh Timur tak tinggal diam, lantas pergi bertatap muka dengan Direksi PTP I. Menurut Ishak Iskandar, anggota komisi itu, Direksi PTP I menyatakan bahwa pencemaran Sungai Tamiang bukan dari limbah pabriknya di Pulau Tiga. "Masalah limbah pabrik itu segera ditanggulangi," ucap Direksi PTP I, seperti dikutip Ishak. Dikabarkan bahwa di pabrik itu sudah ada water treatment. Tapi menurut Ishak Iskandar, pengolah limbah itu -- apalagi yang sempurna -- hingga kini belum dibuat. "Ada yang disembunyikan dalam kasus pencemaran Sungai Tamiang ini," kata Syahruddin, anggota DPRD di sana. Maksudnya, saling buang badan? SHS dan Makmun Al-Mujahid (Medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus