Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keriuhan terdengar dalam acara penyuluhan hama terpadu yang dilakukan Dinas Pertanian Kabupaten Indramayu di perkebunan mangga di Desa Amis, Kecamatan Cikedung. Tempo, yang ikut dalam penyuluhan pada Selasa siang tiga pekan lalu itu, menyaksikan beberapa petani mengeluhkan sejumlah penyakit yang mengancam pohon mangganya. Ada juga yang bertanya soal pupuk atau obat-obatan agar buah mangga cepat matang.
"Obat apa yang paling cespleng yang dapat mematikan hama yang menyerang pohon mangga saya?" ujar Carman, petani yang memiliki 500 pohon mangga.
Penyuluh pertanian dari Kecamatan Cikedung, Suripudin, hanya diam. Dia memang membawa beberapa insektisida dengan merek tertentu. Bahan kimia itu ia suntikkan ke dalam perangkap lalat jantan. Lalat buah (Bactrocera sp.) menjadi salah satu hama bagi petani mangga Cikedung.
Karwita, ketua kelompok tani Bina Karya 1, menyela pembicaraan. Dia menerangkan bahaya penggunaan pestisida yang berlebihan. Senyawa bernama dichlorodiphenyltrichloroethane (DDT), yang marak digunakan di dunia sampai 1970-an, kata dia, membahayakan satwa liar, lingkungan, dan manusia.
"Mari kita pakai pupuk dan obat dari bahan organik saja," ujar Karwita, yang hanya menamatkan pendidikan di Sekolah Dasar Negeri Amis pada 1969.
Karwita menggunakan pestisida nabati (disingkat pesnab) untuk mengatasi ulat dan kutu yang menyerang tanaman kacang hijaunya. Bahannya dari buah maja, tanaman dlingo, dan daun suren yang ditumbuk, lalu dicampur air beras. Untuk menghalau fungi atau jamur pada tanaman padi dan palawija, ia mengandalkan bawang putih dan dlingo yang diblender.
Karwita juga mengingatkan rekan-rekannya agar waspada karena El Nino bakal berlangsung lama--ada kemungkinan sampai April 2016. "Profesor Kees Stigter sudah mengirimkan skenario musim pada 9 Juli 2015," katanya. Kees yang dimaksud adalah ilmuwan Belanda dan mantan Ketua Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) serta pendiri International Society for Agricultural Meteorology.
Secara berkala, Kees (C.J.) Stigter dan Profesor Yunita T. Winarto, pengajar Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, memberikan pelatihan dan pendampingan kepada petani yang tergabung dalam Klub Pengukur Curah Hujan Indramayu ini.
"Pak Karwita itu petani maju di desa ini, paling lengkap datanya dan saya selalu diberi informasi terbaru," ujar Andriatna Retno Dewayanti, penyuluh pertanian di Desa Amis, yang ikut hadir dalam penyuluhan.
Pujian Andriatna tidak berlebihan. Karwita memang petani peneliti hasil didikan Klub Pengukur Curah Hujan Indramayu. Di organisasi yang memiliki 70 anggota di 13 kecamatan di Indramayu ini, Karwita menjabat bendahara. Klub ini berdiri pada 2009, yang difasilitasi Departemen Antropologi UI.
Ketika itu Universitas Indonesia menggandeng Profesor Kees membentuk kegiatan Warung Ilmiah Lapangan (Science Field Shops) di Indramayu. Mereka menjalin kerja sama dengan alumnus Sekolah Lapang Pengendali Hama Terpadu (SLPHT), yang sejak 2000 rutin diadakan Kementerian Pertanian.
Para alumnus yang bergabung dalam Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu itu kebingungan ketika Kementerian menghentikan pelatihan karena habisnya anggaran. Akhirnya mereka sepakat bergabung dengan Warung Ilmiah Lapangan dan membentuk Klub Pengukur Curah Hujan Indramayu. Warung Ilmiah pernah pula diterapkan di Gunungkidul (1998-1999) dan Lombok Timur (2014-kini).
Setiap hari pukul 07.00-08.00, para anggota Klub mengukur curah hujan dengan omplong, tabung dari aluminium yang disangga bambu untuk menampung hujan. Setelah itu mereka mengamati sawahnya (agroekosistem), melihat apakah ada hama, penyakit, atau informasi lain. Semua data dicatat dalam buku catatan lapangan.
Pada akhir bulan, mereka berkumpul. Mereka berdiskusi yang didampingi ahli antropologi, agrometeorologi, dan biologi serta mahasiswa-mahasiswa antropologi. Dalam berbagai kesempatan, Universitas Indonesia mengundang sejumlah pakar untuk memberi penjelasan, di antaranya ahli pupuk, hama, tanaman padi, dan palawija serta ahli lain. Termasuk membahas skenario musim bulan depan.
Yunita menjelaskan, pembelajaran yang dilakukan sejak 2009 itu membuat anggota Klub memiliki feeling dalam membuat skenario iklim tiga bulan ke depan. Antara lain, kapan harus menanam, varietas apa yang cocok ditanam, dan pupuk apa yang digunakan. "Mereka adalah petani yang mampu beradaptasi terhadap perubahan iklim," katanya.
Memang, sejak dasawarsa lalu, para petani kebingungan dengan perubahan iklim. Kalender pertanian yang diajarkan oleh orang tua mereka, yang dikenal sebagai pranata mangsa (ketentuan musim berbasis peredaran matahari, pengaruh lingkungan, dan gejala alam lainnya), kini selalu meleset.
Selain itu, pelatihan yang dilakukan pemerintah, seperti SLPHT dan sekolah lapangan iklim, hanya berlangsung singkat dan berbasis proyek. Jumlah penyuluh pertanian pun berkurang dan tak didukung dana memadai. Malah ada yang nyambi menjadi tenaga promosi pupuk, pestisida, dan peralatan dari perusahaan.
Pesan pendek dari Profesor Kees mengenai fenomena El Nino yang melanda Tanah Air itu diterima oleh para anggota Klub pada 21 Mei 2015. Isinya menjelaskan bahwa akhir musim hujan dan musim kemarau akan benar-benar kering, sementara musim hujan 2015/2016 akan terlambat datang.
Setelah menerima pesan, Karwita langsung menanam padi varietas Ciherang, yang tahan terhadap kekeringan. Dia juga menyiapkan sumur bor pantek untuk pengairan. Pada Juli lalu, padinya berhasil panen. Karwita kemudian menanam kacang hijau dan bayam untuk bibit.
Jurus serupa dilakukan Yusup, Sekretaris Klub Pengukur Curah Hujan Indramayu. "Saya menanam bongi biji panjang, yaitu varietas padi umur pendek (90 hari)," ujar Yusup, yang memiliki sawah di Desa Mulyasari, Kecamatan Bangodua. Varietas ini hasil perkawinan antara padi pandanwangi (varietas dari Cianjur) dan kebo (varietas lokal Indramayu).
Yusup, yang cuma lulusan SD Mulyasari tahun 1990, belajar mengawinkan padi sejak 2003. Ketika itu dia mengikuti pelatihan pemuliaan benih yang difasilitasi Yayasan Field. Dari situ, dia menyilangkan sendiri sejumlah varietas dan menerapkan pertanian organik. Pengetahuannya kian berkembang setelah bergabung dengan Klub.
Aktivitas yang sama dilakukan Abas Kartam, anggota Klub dari Desa Karang Layung, Kecamatan Sukra. Menghadapi El Nino kali ini, dia dan kelompok tani desanya menanam varietas padi umur pendek, yakni Inpari 13 dan 19 serta jongso. Langkah kedua, menghemat air dengan saling berbagi dengan teman. Ketiga, satu desa melakukan tanam serempak.
Semua jurus dan aktivitas yang dilakukan dicatat dalam buku lapangan. Tempo menemukan catatan yang ditulis Karwita pada 17 Januari 2012. "Curah hujan pukul 07.00 menghasilkan 38 milimeter air dalam omplong, kategori hujan besar." Di kolom evaluasi, ia menulis, "Ada tikus di pematang." Sedangkan di kolom pengendalian, dia menulis: "Tikus diumpan dengan yuyu."
Untuk bulan Januari 2012, Karwita menulis jumlah curah hujan sebanyak 347 milimeter dengan jumlah hujan 18 hari. Stasiun pengamatan milik Karwita berkode TSAM 27, lokasinya di blok sawah sumur Kemat, Desa Amis. Sampai saat ini Yusup, Abas Kartam, dan anggota Klub masih melakukan pengukuran curah hujan dan pengamatan sawah yang hasilnya ditulis di buku.
"Buku catatan ini jadi salah satu sumber ilmu. Kami harus terus belajar menyesuaikan diri dengan perubahan iklim," ucap Condra, anggota Klub yang tinggal di Desa Tegal Sembrada, Kecamatan Balongan.
Perubahan iklim sudah pasti menjadi ancaman bagi tanaman padi para petani. Sebagai antisipasi, kata Yunita, harus ada yang mendiskusikan solusi-solusi baru untuk menghadapi masalah-masalah baru yang dihadapi petani. "Warung Ilmiah Lapangan mampu memperkaya pengetahuan, kemampuan, dan keyakinan diri petani," ujarnya.
Untung Widyanto (Indramayu)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo