Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH lebih dari sepekan Heri Suyatno hanya bisa menutup mesin cetaknya dengan terpal sepanjang hari. Mesin itu baru dibelinya delapan bulan lalu seharga Rp 250 juta. Akibat hantaman air bah, sekejap mesin yang menjadi sumber pemasukannya itu rusak total. Omzet Rp 35 juta per bulan pun melayang.
Sebelum air membunuh mesinnya, Rabu dua pekan lalu, ia sedang mempersiapkan mesin cetak di rumah sekaligus tempat usahanya di Jalan Pagarsih, Bandung. Namun niat itu urung karena listrik mati tiba-tiba. Hujan besar memang turun sejak pukul 14.30. Bersiap menghadapi banjir yang memang sering terjadi sejak 21 tahun lalu, ia melapisi pintu sampingnya dengan papan dan batu.
Lapisan pintu yang dibuat Heri ternyata tak berguna. Tembok samping rumahnya jebol. Air setinggi satu meter merendam semua perabotnya. Bangunan dua lantai di sebelah rumahnya juga roboh. Mesin cetak yang menjadi sumber rezekinya pun terendam. "Banjir tahun ini terparah," katanya pada Kamis pekan lalu.
Pagarsih adalah jalan yang sangat padat dan ramai. Kanan-kirinya, sepanjang 800 meter, penuh dengan usaha percetakan. Lebar jalan yang hanya cukup untuk dua jalur bertambah sempit lantaran penuh dengan mobil yang parkir di sisi-sisi jalan. Jadi maklum saja kalau lalu lintas di sana selalu tersendat.
Semua toko di Pagarsih tak punya lahan parkir memadai karena harus memberi ruang untuk aliran Sungai Citepus selebar dua meter. Untuk masuk ke toko, mereka menyediakan jembatan yang hanya cukup untuk satu mobil. Lengkap dengan pagarnya.
Pagar yang semula hanya untuk jembatan kini dibangun di sepanjang sungai yang berada di sisi Jalan Pagarsih. Pagar ini dibangun sejak ada mobil yang masuk ke sungai. Titik yang menjadi "pintu masuk" mobil ke sungai masih dibatasi dengan garis polisi.
Banjir di Jalan Pagarsih mendapat perhatian lebih setelah ada mobil Grand Livina hitam terseret banjir hingga 200 meter dan masuk ke Sungai Citepus pada akhir Oktober lalu.
Rumah Heri hanya berjarak 10 meter dari Sungai Citepus. "Di sini mah sudah biasa banjir, tapi tak pernah terekspos," ucap Heri seraya tersenyum. "Sekarang dikenal karena ada mobil hanyut saja."
Tetangga-tetangga Heri jauh lebih geram. Mereka mengutuk gorong-gorong yang dianggap tak sesuai dengan kebutuhan warga Pagarsih. Tepat di tikungan Sungai Pagarsih yang terletak di belakang permukiman, terdapat gorong-gorong yang ditujukan untuk membagi beban air ke drainase di seberang jalan yang bermuara di Sungai Ciroyom.
Hanya, warga di sana menganggap letak gorong-gorong tersebut salah. Menurut mereka, seharusnya gorong-gorong dibuat di ujung aliran, sebelum sungai menikung. Letaknya juga dianggap terlalu tinggi, sehingga, untuk mengalir ke drainase, permukaan air harus tinggi.
Tepat di ujung tikungan Sungai Citepus sebenarnya sudah ada pintu air untuk membagi beban. Tapi pintu air berwarna biru tersebut tak bisa sembarangan dibuka. "Kalau ini dibuka saat banjir, empat kecamatan bisa tenggelam," kata Ceppy Setiawan, 61 tahun, Ketua Rukun Warga 02, Kelurahan Cibadak, Kecamatan Astana Anyar. Pagarsih berada di kelurahan ini.
Ceppy mengatakan banjir di daerah itu terjadi karena buruknya drainase dan hilangnya daerah resapan di hulu sungai. Ia menolak beberapa pendapat yang menyebutkan hilangnya Situ Aksan menjadi biang keladi parahnya banjir di Pagarsih.
Lebih dari 30 tahun lalu memang terdapat Situ Aksan, yang terletak sekitar 1,5 kilometer ke arah timur Jalan Pagarsih. Danau seluas satu setengah kali lapangan bola itu diuruk pada 1983.
Keberadaan situ ini masih diingat baik oleh dosen geografi Institut Teknologi Bandung, Titi Bachtiar, 58 tahun. Pada akhir 1970-an, ketika ia sering mengunjungi Situ Aksan, masyarakat kerap memanfaatkan danau tersebut sebagai tempat wisata. Pengunjung pun bisa berkeliling situ dengan sampan kecil berkapasitas dua-tiga orang. Panggung-panggung hiburan berdiri di dekat danau.
Kini situ ini telah menjelma menjadi deretan rumah. Tiga perumahan menggantikannya. Yang tersisa hanya pohon caringin yang berada di tengah situ. Bekas situ tersebut dikitari Jalan Suryani, Pagarsih Barat, Jalan Nawawi, dan Jalan Aksan. Saat hujan, daerah di bekas situ itu juga tergenang.
Bachtiar tak setuju jika Situ Aksan dijadikan kambing hitam penyebab banjir di Pagarsih. Pernyataan yang menyebut bahwa Situ Aksan merupakan danau purba sama sekali tak benar. "Situ Aksan merupakan danau buatan," kata anggota Masyarakat Geografi Indonesia yang meneliti danau itu. "Pengaruh banjirnya kecil."
Dari penelusuran dokumen dan sejarah, kata dia, Situ Aksan semula lahan sawah yang dialihfungsikan pemiliknya, Mas Aksan, seorang juragan batik yang tinggal di Jalan Raya Barat atau Jalan Jenderal Sudirman sekarang. Keluarga Mas Aksan juga pemilik beberapa lahan luas di Bandung dan sekitarnya.
Ketika Bandung direncanakan sebagai ibu kota cadangan, pemerintah kolonial membangun banyak gedung dan membutuhkan banyak material. Mas Aksan, kata Bachtiar, memasok bahan material seperti bata merah, tanah bakar halus, dan kapur bakar. Untuk pembuatan bata merah itu, Mas Aksan mengeduk lahan sawah miliknya hingga meluas dan menghasilkan cekungan dalam. Cekungan itu kemudian diisi air sehingga menjadi Situ Aksan setelah mendapat izin dan masuk perencanaan kota pada 1933.
Airnya, kata dia, dari Sungai Leuwilimus dengan penyaluran ke danau sepanjang 600 meter. Air danau sebelum meluap dialirkan kembali ke saluran lain sebagai irigasi ke persawahan sekitar. "Bagusnya zaman dulu itu ketika mengusulkan akan membuat sesuatu, negara itu merancang. Sambungannya ke sini, jalannya ke sini," ujar Bachtiar, yang menyebut banjir Pagarsih lebih disebabkan oleh sistem drainase kota yang buruk.
Kepala Dinas Bina Marga dan Pengairan Kota Bandung Iskandar Zulkarnaen mengakui ada beberapa titik drainase yang masih belum sempurna. Tapi ia tak setuju masalah drainase disebut sebagai penyebab utama banjir yang menghantam Kota Kembang.
Iskandar justru mengatakan Pemerintah Kota Bandung tengah gencar memperbaiki gorong-gorong. Perbaikan itu akan semakin meningkatkan kualitas drainase. Ia menyebut meluapnya air sungai yang tak mampu menampung beban air sebagai salah satu penyebab banjir, selain cuaca ekstrem.
Penyebab yang lebih mendasar diungkapkan Taufan Suranto, Kepala Divisi Informasi dan Komunikasi Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda. Ia mengatakan biang keladinya adalah perubahan tata guna lahan. "Khusus untuk Pasteur, itu hasil penanaman beton 26 tahun lalu, kini Bandung memetik hasilnya," ucapnya.
Tri Artining Putri, Aminudin AS, Anwar Siswadi, Ahmad Fikri
RALAT
Dalam rubrik Lingkungan edisi 21-27 November 2016 di halaman 70, yang berjudul "Pagarsih dan Kambing Hitam Situ Aksan", terdapat kesalahan predikat Titi Bachtiar. Di alinea ketujuh tertulis "dosen geografi Institut Teknologi Bandung", seharusnya "mengajar di Universitas Islam Nusantara, Bandung".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo