Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Pendekar-pendekar Penyelamat Bumi

Indonesia masih punya orang-orang yang gigih merawat bumi ini. Mereka mendapatkan penghargaan Kalpataru dua pekan silam.

20 Juni 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mari kita berhitung. Setiap tahun hutan Indonesia yang hilang 3,8 juta hektare. Itu artinya setiap menit ada penggundulan hutan seluas 7,2 hektare atau sekitar 14 kali luas lapangan bola. Itu data menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Berapa tahun hutan Kalimantan akan bertahan? Tak akan lama. Walhi meramalkan, hutan Borneo cuma akan bertahan hingga 2010 saja.

Namun, gerusan kerusakan lingkungan tak akan pernah mematahkan semangat para pembela lingkungan. Mereka adalah orang-orang yang separuh nyawanya dipertaruhkan untuk memperbaiki lingkungan hidup. Mereka adalah sosok yang tak cuma bisa berteriak, tapi juga bisa melakukan misi yang mustahil seperti mencangkuli bukit batu, menghutankan pantai seluas 58 hektare. Dua pekan silam, para penyelamat bumi Indonesia itu dianugerahi penghargaan Kalpataru yang diserahkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Presiden Cipanas, Jawa Barat. Inilah kisah-kisah kegigihan para perawat bumi itu:

Warga Desa Pemuteran, Bali Sang Perawat Terumbu

Dicari: penjaga laut desa miskin di Bali, Desa Pemuteran, Kabupaten Buleleng. Tempat kerja: Teluk Pemuteran, sepanjang empat kilometer yang dulu kaya ikan dan penyu. Risiko pekerjaan: berhadapan dengan pengebom ikan, tidak dibantu polisi, rumah diancam diserbu dan dibakar oleh para pencuri penyu. Gaji: seikhlasnya dari warga Pemuteran. Siapa bersedia?

Pada awalnya, tak ada yang sudi melakukan pekerjaan itu. Yang justru tergerak adalah Chris Brown, pria Australia yang menetap di desa itu dan punya hobi menyelam. "Terumbu karangnya sudah hancur, ikan menghilang," ujar Chris. Inilah biang kemiskinan di desa itu. Ia menceritakan kerusakan itu kepada penduduk setempat, tapi tak ada yang percaya sampai ia merekam kerusakan itu dengan kamera video.

Chris pernah melaporkan pengeboman ikan yang dilakukan tetangga desa itu ke polisi. Imbalannya bukan pujian, justru rumahnya diserbu orang-orang yang menghunus sabit dan pisau serta nyaris dibakar. "Kapok saya," kata lelaki yang dijuluki Nyoman Australia itu. Ia dan warga pun lalu menanam terumbu karang dengan membuat keranjang besi berdiameter tiga meter. Besi itu dialiri arus listrik kecil, 9-12 volt DC untuk merangsang pertumbuhan karang. Mereka juga menegakkan aturan adat yang ketat, seperti mendenda penangkap penyu, menghidupkan polisi desa (pecalang). Kini, Pemuteran yang miskin tinggal sejarah.

Masyarakat Adat Hiang Tinggi Seribu Aturan

Satu hutan adalah seribu aturan. Itulah pakem yang berlaku bagi masyarakat Adat Hiang Tinggi, Kabupaten Kerinci, Jambi. Mau tebang kayu? Siap-siap saja menyetor denda 20 gantang (rantang) beras dan seekor ayam untuk setiap batang pohon yang dibalak. Hukuman lebih berat akan dijatuhkan bila yang mencuri adalah petinggi adat. Denda adat sebesar 100 gantang beras dan seekor kerbau harus diberikan. Masyarakat yang meminta kayu juga harus menanam 50 batang bibit pohon sesuai dengan jenis pohon yang diambil.

"Dengan syarat yang berat itu, banyak masyarakat yang enggan mengambil kayu dari hutan," kata Asnawi Bahar, salah seorang pemimpin adat Hiang.

Seribu aturan itu membuat hutan perawan seluas 585,95 hektare tetap terjaga. Di hutan itu tercatat 34 jenis kayu langka yang berusia ratusan tahun dan lingkar batangnya tak bisa dipeluk dua orang. Inilah hutan utama penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat dan sumber air bagi empat kecamatan di Kabupaten Kerinci. "Dari dulu airnya stabil, bila hujan tak pernah banjir, kemarau juga tak pernah susut," kata Asnawi.

Freddy Jesaya Pangedja Hutan yang Kembali

Di antara kehijauan pohon-pohon, di antara kicau burung, di antara bau segar lumut di Cagar Alam Tatongko, Kabupaten Bitung, Sulawesi Utara, tersebutlah nama Freddy Jesaya Pangedja.

Pekerjaannya memang "cuma" jagawana alias penjaga hutan, namun dia datang laksana Nabi Isa menghidupkan burung merpati yang sudah mati. Saat dia datang pada 1973, Cagar Alam Tatongko dan Taman Wisata Batu Putih merana. Pembalakan membuat 9.000 lahan cagar alam serta 615 hektare hutan wisata itu gundul. Dua belas tahun kemudian, dua hutan itu dinyatakan pulih seperti sediakala.

Untuk menjaga hutan, dia mulai merancang hutan yang sekaligus merupakan tempat wisata dengan ekosistem terjaga. Ia melakukan penyuluhan dengan target utama siswa sekolah dasar. "Masyarakat di sini lebih mudah menerima teguran dari anak-anaknya ketimbang dari orang lain," kata Pangeja. Ia juga memanfaatkan anak-anak putus sekolah untuk menjadi pemandu wisata. Sejak itu, dua hutan telah kembali.

Mukarim Benteng Mangrove dari Penunggul

Selama 19 tahun Mukarim hidup dengan penuh cemooh. "Gila," begitu kata tetangganya. Itu cuma karena dia tak pernah henti menanam pohon bakau—tanaman ini tak ada harganya bagi warga Desa Penunggul, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Mukarim tak menyerah pada olok-olok tetangga. Dia punya keinginan sederhana: menyelamatkan rumah renta miliknya yang selalu tergerus air laut yang pasang. Dan pohon bakau yang ditanamnya adalah benteng impiannya.

Mukarim memulai "kegilaannya" menanam bakau dengan 20 biji pohon tinjang alias bakau yang dia temukan di pantai sebelah desanya. Sejak itulah dia selalu berburu biji-biji pohon bakau. Dia menanam, menanam, dan menanam dengan awalnya cuma dibantu istri dan anaknya. Rutinitas itu berlangsung hingga 19 tahun. Kini, hutan bakaunya telah lebat dan luasnya mencapai 58,1 hektare. "Ada pohon bakau yang batangnya menjulur sampai 800 meter ke laut," katanya, senang. Sebuah benteng mangrove telah lahir. Pohon-pohon itu bukan cuma untuk menangkis air laut yang menggila, tapi juga menyuburkan ikan. "Kami tak perlu lagi melaut jauh-jauh," ujarnya.

Katrina Koni Kii Ibu Pohon Cendana

Kerja keras adalah milik Katrina Koni Kii. Perempuan berusia 63 tahun itu telah menyulap tanah tandus di Dusun Pokapaka, Desa Malimada, Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur, menjadi surga hijau.

Semua berawal dari keinginannya menghidupi lima anaknya dengan menggarap tanah 9 hektare peninggalan suaminya pada 1976. Tapi menanam pohon di Dusun Pokapaka adalah pekerjaan mustahil. Dusun itu beralas tanah tandus dan penuh bukit berbatu.

Bukit batu dan rumput ilalang tak pernah menyurutkan niat Katrina. Ia bukan hanya mencangkuli tanah yang gersang itu, tapi juga mencangkuli bukit batu sehingga menjadi lapis-lapis ladang miring (terasering). Saat musim hujan tiba, barulah Katrina menancapkan bibit pohon cendana.

Selama 18 tahun Katrina mengubah lahan tandus dan kering menjadi subur. Dari empat pohon, kini bukit batu menjadi kebun cendana yang menyejukkan. Ada 400 pohon cendana di sana. "Ini cuma agar ada yang bisa saya wariskan kepada anak dan cucu."

Marandus Sirait Guru Musik Penjaga Taman Eden 100

Sebuah hutan bisa lahir dari halaman rumah sendiri. Itulah yang dilakukan Marandus Sirait. Warga Desa Sionggang, Kecamatan Lumban Julu, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara, ini membangun hutan dengan menyulap tanah keluarganya seluas 40 hektare menjadi hutan wisata yang dinamai Taman Eden 100. Di "taman surga" ini, Marandus menanam pohon-pohon khas Danau Toba yang mulai langka seperti sampinur tali, sampinur bunga, anturmangun, dan antarasa.

Usaha yang tak pernah beku itu akhirnya berbuah. Hutannya terwujud setelah dia keliling menyambangi gereja dan sekolah, membawakan lagu-lagu daerah bertema lingkungan. Banyak orang membantunya.

Tarsoen Waryono Arsitek Hutan Kota

Sekujur tubuhnya ditulisi nama-nama pohon yang bisa tumbuh di perkotaan. Tanyalah dia, pohon-pohon apa yang cocok untuk membikin hutan kota di Depok, di Jakarta Selatan, atau di Markas Besar TNI di Cipayung, Jakarta Timur. Dia akan menyerocos menyebutkan keunggulan pohon-pohon pilihannya itu. Coba pula tanya, pohon apa yang efektif menangkap asap knalpot kendaraan. Dia juga akan menjelaskan secara terperinci.

Dialah Tarsoen Waryono, lelaki berusia 53 tahun yang selalu punya ambisi membangun hutan kota.

Seluruh napas Tarsoen adalah membangun hutan. Lelaki itu memulai kariernya di Dinas Kehutanan Kalimantan Timur. Sejak 1985, ia ditunjuk sebagai pelaksana Program Pembangunan Hutan Kota Kampus UI, Depok. Impiannya adalah menyulap 30 persen lahan kampus seluas 390 hektare menjadi hutan dan resapan air serta ruang terbuka. Ketika diajukan ke Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Fuad Hassan, rancangan itu mentok. "Saya kagum, tapi tak ada dana," kata sang menteri. Dia pun putar otak dan meminta Departemen Kehutanan membiayai proyek itu—langsung gol. Selain di UI, dia telah membikin empat hutan kota lainnya, antara lain di Halim Perdanakusumah dan Markas Komando Pasukan Khusus.

Sebagai arsitek hutan, Tarsoen juga seorang seniman. Lihatlah rancangan hutan bikinannya di halaman kantor Wali Kota Jakarta Selatan. Dia menuliskan huruf-huruf "J-A-K-A-R-T-A-S-E-L-A-T-A-N" dengan menanam jenis pohon dari huruf-huruf itu—jati, agatis, kesambi, rambutan, tusam, dan seterusnya.

Bardi Bertarung dengan Pasir

Butir-butir pasir adalah butir-butir nestapa bagi warga pantai selatan Daerah Istimewa Yogyakarta. Gara-gara pasir yang membalut sebagian besar tanah di Kabupaten Bantul dan Kulonprogo itulah, para petani di sana nelangsa. Tak ada tanaman yang mau berkompromi untuk tumbuh di pasir. Pasir yang datang karena terpaan angin laut itu lama-kelamaan mengubah daerah itu menjadi dataran tandus.

Bardi tak pernah menyerah pada ketidakramahan alam. Pria berusia 46 itu mulai membangun "pagar" penahan angin dengan menanam pohon pionir seperti akasia, rumput gulung, pandan, dan aneka pohon lainnya. Dua tahun ia tak cuma bertarung melawan pasir, tapi juga meyakinkan penduduk di Pantai Parangtritis dan Samas.

Kini, tumpukan pasir itu berganti dengan hamparan bawang, cabe, terong, buah naga, dan aneka tanaman lainnya. Bahkan kini Kabupaten Bantul dikenal sebagai salah satu penghasil bawang terbesar setelah Kabupaten Brebes. Padahal, sebelum 1983, semua itu mustahil. Bardi, penyuluh pertanian honorer yang cuma bergaji Rp 52.500 per bulan itu, telah menghijaukan tanah kritis seluas 160 hektare. Ia juga memelihara hutan rakyat seluas 384,15 hektare.

Dewa Ngurah Suprapta Pabrik Pupuk Bakteri

Sepucuk berita menampar Dewa Ngurah Suprapta pada 1997: "Bali krisis pisang gara-gara penyakit layu bakteri". Pisang, bagi Suprapta, juga orang Bali lainnya, memang bukan sekadar buah. Ini buah yang selalu hadir dalam upacara sakral. Penyakit itu telah membuat produksi pisang di Bali yang sekitar 130 ribu ton per tahun melorot jadi separuhnya.

Tamparan itulah yang membuat doktor lulusan Universitas Kagoshima, Jepang, itu kemudian mengembangkan teknologi murah namun ramah lingkungan untuk mengendalikan penyakit layu pisang. Setelah menyeleksi aneka bahan dan ribuan bakteri dan jamur, bapak dua anak ini menemukan pestisida nabati yang tokcer. Pestisida alami itu dibuat dari ekstrak rimpang lengkuas, daun sirih, serta empat jenis mikroba, yakni Gliocladium sp, Fusarium oxysporum aviluren, Pseudomonas fluorescens, dan Streptomyceyes. Biopestisida ini bukan saja ampuh, tapi juga ramah lingkungan. Penemuannya membuat ia juga mendapat penghargaan Kehati Award 2004 untuk kategori Cipta Lestari Kehati.

Drs Dewa Made Beratha 'Tukang Sapu' dari Bali

Menerima Kalpataru bagi Dewa Made Beratha seperti hanya menunggu waktu. Pria kelahiran Gianyar, 12 Juli 1941, ini dikenal sebagai orang yang getol bersih-bersih dan menghijaukan kota sejak menjabat Kepala Biro Pembangunan Bali pada 1973. Ia membangun kantor Gubernur Bali dalam kawasan hutan seluas 5 hektare.

Sejak terpilih menjadi Gubernur Bali pada 1998, ada sederet prestasi yang telah dia lakukan, mulai dari menghijaukan jalan protokol, mencegah abrasi dengan penanaman bakau, sampai menyelamatkan jalak Bali yang sudah punah, serta menyulap pasar penyu ilegal menjadi toko-toko kerajinan penyu. Selain itu, salah satu prestasi terbesarnya adalah membersihkan Danau Tukad di Kabupaten Badung dari enceng gondok, serta Sungai Badung yang dulu menjadi "keranjang sampah" para pencelup batik.

Raju Febrian, Made Mustika (Bali), Febriyanti (Jambi), Syaiful Amin (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
Âİ 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus