Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Pakar klimatologi dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Erma Yulihastin mengungkap fakta-fakta seputar heatwave (gelombang panas) berdasarkan hasil studi terbaru yang dianalisisnya bersama tim.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Berdasarkan publikasi para ilmuwan iklim dunia sepanjang lima tahun terakhir, didapatkan keterangan bahwa gelombang panas di Asia Tenggara termasuk Indonesia mengalami kenaikan yang signifikan ihwal frekuensi, durasi dan magnitudonya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Erma menganalisis studi gelombang panas bersama tim Riset Interaksi Atmosfer dan Variabilitas Iklim BRIN. Menurut kelompok ini, para ilmuwan di dunia menyepakati bahwa fenomena gelombang panas diartikan sebagai suhu udara yang tinggi, dengan nilai 36-38 derajat Celcius dan berlangsung minimal tiga hari berturut-turut.
"Artinya jika temperatur maksimum atau rata-rata suhu sudah melebihi ambang batas dari 36 derajat Celcius dan terjadi berturut-turut minimal tiga hari, maka dapat dikatakan ini sebagai heatwave," ujar Erma kepada Tempo, Senin, 1 Juli 2024.
Asia Tenggara khususnya di wilayah Indonesia-Cina, kata Erma, terjadi peningkatan suhu maksimum di Thailand yang mencapai 40 derajat Celcius dan konsisten terjadi di April 2024 lalu. Sedangkan di Semenjanjung Malaya seperti Singapura, suhu maksimum tercatat 39 derajat Celcius dan konsisten terjadi di April hingga Mei 2024.
Bahkan untuk wilayah Indonesia, seperti di Jakarta dan Surabaya, menurut Erma pernah terjadi peningkatan ke suhu maksimum 38 derajat Celcius pada April 2024 jika dilihat dari data pemantauan stasiun cuaca. "Frekuensi dan durasi heatwave di Indonesia seluruhnya meningkat secara signifikan selama satu dekade terakhir," ujar Erma menjelaskan.
Gelombang panas yang terjadi di Indonesia, menurut Erma, memiliki korelasi yang linear dan secara umum dipengaruhi oleh fenomena El Nino. Kendati demikian Erma mencatat khusus untuk wilayah Jawa, dampak dari heatwave sangat dirasakan dibanding daerah lain di Indonesia. Hal ini dipicu kehadiran fenomena Indien Ocean Dipole (IOD) positif yang membuat Pulau Jawa terasa lebih panas dengan durasi berkepanjangan dibanding daerah lain, misalnya di Jawa Timur.
Erma membeberkan bahwa gelombang panas bukan hanya menyebabkan suhu udara terasa lebih panas dari biasanya, namun juga berimbas kepada faktor lain seperti krisis pangan dan efek buruknya pada kesehatan. "Diperlukan mitigasi terhadap fenomena ini, karena studi meramalkan krisis pangan dan efek buruk kesehatan yang akan dialami oleh negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia."
Apakah Bulan Depan Gelombang Panas Masih Terjadi di Indonesia?
Menurut Erma, fenomena gelombang panas bisa terjadi di Indonesia selama dua bulan ke depan, bahkan potensinya disebut hingga September-Oktober. Kendati demikian, Erma menjabarkan peningkatan suhunya tidak akan melebihi suhu maksimum seperti yang terjadi di Maret-April 2024 lalu. Apa lagi fenomena La Nina diprediksi akan terjadi Oktober mendatang, yang membuat peningkatan intensitas hujan sekaligus mengakhiri musim kemarau di sebagian besar wilayah Indonesia.
"September dan Oktober, jika pun ada pemanasan kembali terjadi. Kemungkinan kisarannya tidak melebihi suhu maksimum pada Maret dan April. Pada Oktober diprediksi La Nina semakin eksis dan meningkatkan hujan di Indonesia, sekaligus mengakhiri musim kemarau," ucap Erma.
Erma menegaskan, gelombang panas walaupun memicu suhu udara menjadi kering dan terasa lebih panas derajat Celciusnya, namun fenomena ini tidak sama dengan kekeringan. Menurutnya, kekeringan ditinjau dari aspek ketiadaan hujan, sedangkan gelombang panas itu dilihat dari temperatur dan kelembapan udaranya.
Untuk potensi musim kemarau, Erma juga membeberkan di wilayah Jawa Timur akan berlangsung hingga September mendatang dan masih dalam rentang musim kemarau yang normal, artinya bukan menunjukkan kekeringan meteorologis. Sedangkan di luar Pulau Jawa, kemaraunya diprediksi lebih pendek dan sifatnya basah. Erma mencontohkan wilayah Kalimantan yang kemaraunya hilang dan menjadi kemarau basah karena intensitas hujan meningkat.