Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menjadi salah satu lembaga yang paling sibuk menyiapkan regulasi target pengurangan emisi gas rumah kaca. Hal itu terutama karena kewajiban memenuhi target Perjanjian Paris pada 2015 mensyaratkan semua negara melaporkan capaian pengurangan emisi sebagai cara mengatasi perubahan iklim. Satu di antara mekanisme yang dibangun adalah perdagangan karbon melalui Bursa Karbon.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah, dalam kontribusi yang ditetapkan secara nasional (NDC), menargetkan penurunan emisi dari 29 persen menjadi 31,89 persen pada 2030. Target pengurangan emisi bakal ditingkatkan dari 41 persen menjadi 43,20 persen bila mendapat bantuan internasional. Berikut ini petikan wawancara jurnalis Tempo, Avit Hidayat, dengan Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Laksmi Dhewanthi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagaimana pemerintah mengatur bisnis karbon?
Saya tidak menggunakan istilah bisnis karbon karena karbon ini tidak untuk dibisniskan. Perdagangan karbon yang diperkenalkan dalam Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Tata Laksana Penerapan Nilai Ekonomi Karbon tujuannya adalah mencapai target pengurangan emisi gas rumah kaca atau nationally determined contribution (NDC). Dengan demikian, tujuan KLHK tentu tidak membuat ini menjadi ladang bisnis. Tapi, kalaupun ada manfaat bisnis, itu insentif tambahan saat melakukan upaya mitigasi atau pengurangan emisi gas rumah kaca.
Lalu apa saja yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021?
Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 mengatur empat mekanisme. Pertama, perdagangan karbon yang di dalamnya ada dua mekanisme, yakni perdagangan emisi dan offset emisi. Kedua, pembayaran berbasis kinerja. Lalu ketiga, pungutan atas karbon yang saat ini sedang dikembangkan oleh Kementerian Keuangan, antara lain, melalui penerapan pajak karbon. Keempat, mekanisme lain yang akan dibuat sesuai dengan perkembangan nilai-nilai ilmu pengetahuan.
Mengapa Indonesia perlu menyusun regulasi dan tata kelola untuk upaya pengurangan emisi gas rumah kaca?
Pada 2015, Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFCCC) sudah menyepakati adanya protokol baru yang disebut Perjanjian Paris atau Paris Agreement, menggantikan Protokol Kyoto yang berlaku sejak 1997 sampai Desember 2020. Salah satu perbedaan yang mendasar dari dua protokol tersebut adalah kewajiban semua negara melaporkan upaya pengurangan emisi gas rumah kaca.
Protokol Kyoto hanya mensyaratkan negara maju Annex I yang wajib mengurangi emisi gas rumah kaca karena mereka punya tanggung jawab masa lalu. Adapun negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, tidak wajib mengurangi emisi gas rumah kaca pada saat itu. Sedangkan dalam Paris Agreement, semua negara, termasuk negara berkembang, wajib mengurangi emisi gas rumah kaca. Kemudian harus dilaporkan, bisa diukur, dan terverifikasi. Makanya, dulu kita boleh dagang karbon tanpa harus mencatat, tapi sekarang kita harus benar-benar membuat pembukuan. Sebab, saat perdagangan karbon, ketika satu sertifikat pengurangan emisi gas rumah kaca berpindah dari penjual ke pembeli, tentu saja sertifikatnya berpindah dan dicatatkan di negara pembeli.
Presiden Joko Widodo memberi sambutan saat peluncuran Bursa Karbon Indonesia (IDX Carbon) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, 26 September 2023. Tempo/Tony Hartawan
Bagaimana mekanisme perdagangan karbon yang dapat melibatkan semua pihak, termasuk kelompok masyarakat adat?
Yang sedang dibangun adalah bagian dari ekonomi karbon yang kredibel, berintegritas, transparan, inklusif, dan berkeadilan. Itu falsafah dasarnya. Kemudian apakah semua lapisan masyarakat bisa ikut? Pada dasarnya, perdagangan karbon adalah memperjualbelikan sertifikat pengurangan emisi gas rumah kaca. Ini berbeda dengan masa lalu. Saat itu yang diperdagangkan bukan sertifikat, melainkan stok karbon, sehingga targetnya bukan pengurangan emisi gas rumah kaca. Sekarang ini metodologinya berbeda. Yang diharapkan oleh Perjanjian Paris melalui sertifikat itu adalah pengurangan emisi benar-benar bisa divalidasi dan diverifikasi. Sertifikat inilah yang sekarang diperdagangkan di Bursa Karbon.
Benarkah perdagangan karbon hanya menguntungkan perusahaan dan menyisihkan masyarakat?
Kalau dikatakan masyarakat tidak dilibatkan, itu tidak benar. Kenapa gugatan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 di Mahkamah Agung waktu itu tidak diterima? Karena peraturan itu sudah membuat koridor bagi semua pihak untuk bisa ikut. Tapi semuanya harus mengikuti prosedur yang ada. Tidak bisa mengklaim sertifikat sendiri, lalu diperdagangkan. Kan enggak begitu caranya.
Ada kekhawatiran masyarakat adat bakal disisihkan dalam perdagangan karbon ini?
Mungkin bisa dibaca Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 7 Tahun 2023 tentang Tata Cara Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan. Di dalamnya sudah secara eksplisit mengakomodasi perdagangan karbon yang dilaksanakan oleh masyarakat hukum adat. Pada Pasal 1 ayat 13 disebutkan, untuk pemberian atau persetujuan dalam hal perhutanan sosial, masyarakat hukum adat termasuk di dalamnya. Kemudian dalam Pasal 3 juga ada aksi mitigasi pengurangan emisi gas rumah kaca yang dapat dilakukan melalui kegiatan pendampingan pada hutan adat.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo