Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KITA ingin mengembangkan kenaikan tingkat hidup rakyat. Tapi
perlindungan atas sumber-sumber alam utama -- seperti air,
udara, hutan dan tanah merupakan suatu keharusan bila kita
hendak hidup terus dan menghindarkan kehancuran."
Itu tadi pesan Natal & Tahun Baru di lingkungan PT Caltex
Pacific Indonesia -- dari Ketua Dewan Komisaris, Julius Tahija,
kepada Ketua Dewan Direksi Haroen Al Rasjid. Namun belum sampai
sebulan kemudian, Caltex membuat kejutan di Riau. Ladang
minyaknya yang terbesar, Minas II, ternyata telah menghitamkan
sungai Mandau hingga ke muara.
Tak kurang dari 5000 m3 kayu balak yang terapung di tempat
penimbunan (log pond) di muara itu menjadi hitam legam dipeluk
minyak mentah. Ada tiga perusahaan kayu yang sudah akan menuntut
ganti rugi pada pihak Caltex. Sebuah perusahaan yang sedang
mengapalkan kayu tebangannya untuk ekspor, terpaksa menambah
buruh dan hari pengapalan. "Kita terpaksa menggaji buruh untuk
mengikis minyak mentah yang lekat di kayu. Jepang-Jepang itu tak
sudi kayu yang hitam itu menggelinding ke dalam kapal mereka.
Lagi pula, sewaktu-waktu ia bisa terbakar," ujar seorang
pengusaha.
Bagi para pengusaha itu, biaya penambahan tenaga kerja dan hari
pengapalan masih dapat tertutup oleh harga kayu yang tiba-tiba
melonjak di pasaran dunia. "Tapi bagaimana dengan kami?" tanya
seorang penduduk desa yang sudah puluhan tahun tinggal di rumah
terapung di sungai Mandau. Sepanjang sungai itu memang ada
puluhan kampung yang terapung selain yang di darat. Sejak sungai
itu tergenang minyak, ikan-ikan setempat mengungsi entah ke
mana, mengakibatkan penghasilan penduduk berkurang. Selain ikan
berkurang drastis, penduduk tak dapat lagi menciduk air sungai
yang biasa dipakai mandi, minum, dan gosok gigi.
Penduduk Pekalar, sebuah desa terapung dimuara sungai Leko yang
masih sealiran dengan Mandau, beberapa hari tak dapat berlayar
mudik sungai itu. Soalnya, sampan-sampan mereka tak mampu
melajak di atas minyak mentah yang menutupi permukaan sungai.
Beberapa hari setelah bah usai, air sungai agak mendangkal.
Kesempatan ini. mereka manfaatkan untuk membakar minyak mentah
yang tergenang. Leko lantas berubah menjadi sungai api.
Akibatnya bukan saja belukar di pinggiran sungai mati terbunuh
api, tapi juga sampai 200 meter dari tepi sungai ikut terbakar.
Tapi setelah itu, penduduk dapat dengan mudah lagi memudiki
sungai Leko guna mencari rotan, kayu, dan juga menangkap ikan.
Sawah Terkena
Di sungai Minas yang paling dekat dengan stasiun pompa Utara PT
CPI, pohon dan belukar juga mati tercekik minyak mentah.
Batangnya seperti hangus dan daun-daunnya pada kuning kering,
persis seperti tumbuh-tumbuhan di sekeliling kolam-kolam minyak
mentah di ladang minyak Caltex yang meliputi hutan sepanjang 38
km. Akibat peristiwa itu, "masyarakat setempat sangat gelisah,"
kata MK Soeryana, Dan Pos Polri di desa Balai Pungut kepada
pembantu TEMPO, Ediruslan.P. Amanriza. "Lihatlah, semuanya
hitam," sambung orang Sunda itu lagi, sambil menunjukkan tangan,
kaki dan pakaiannya yang terkena minyak mentah. Minas ketika ia
sendiri baru kembali dari tempat minyak mengganas.
Peristiwa pencemaran lingkungan ini entah kenapa belum menarik
perhatian ke 40 anggota DPRD Riau yang duduk di gedung Lancang
Kuning, Pekanbaru. Sementara itu, surat teguran Gubernur
Soebrantas kepada PT CPI, 30 Desember, sampai pertengahan
Januari belum mendapat tanggapan serius dari perusahaan Amerika
itu. Tapi perusahaan itu mengirim beberapa orang stafnya ke desa
Balai Pungut. Pak Lebar, penghulu di sana bertanya apakah air
berminyak itu berbahaya bagi tanaman. Dijawab "tidak" oleh
Cokro, staf CPI yang pertama datang ke sana.
Ada sebabnya penghulu itu risau. Soalnyaj. Balai Pungut yang
pernah memenangkan julukan desa kedua terbaik di seluruh
Kabupaten Bengkalis memiliki proyek persawahan seluas 7 Ha.
Proyek itu agak memprihatinkan karena hasilnya tak memadai.
"Penduduk hanya dapat menanam padi di bagian tepi daerah
persawahan itu saja," kata Pak Lebar. "Bagian tengahnya selalu
tergenang minyak mentah. Dan ini sudah berlangsung selama 6
tahun." Tentu saja, kepala kampung itu kurang percaya terhadap
omongan Cokro, bahwa minyak mentah yang bergumpal-gumpal itu tak
berbahayabagi tanaman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo