Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KERUMUNAN mereka yang ada dipantai itu mirip orang piknik saja.
Beberapa anak kecil main pasir, dan beberapa perempuan sibuk
menjala. Sedang beberapa pria lainnya sibuk membentangkan uter
yang panjang, alat yang dibuat dari batang nipah guna
mengumpulkan nener, bayi ikan bandeng. Setelah uter ditarik
menjadi lingkaran yang lebih kecil, seorang ibu dengan serok
dari kain putih menciduk air yang mungkin mengandung nener,
yang sulit dibedakan lewat pandangan mata biasa karena kecilnya.
Serokan yang tampaknya tidak ada apa-apa itu kemudian dituang di
sebuah ember plastik. "Ya, bagaimana rezeki saja," kata seorang
ibu yang memegang serok tersebut. Kalau lagi untung, ratusan
nener bisa ditangguknya Sering cuma 5-10 ekor.
Di beberapa sudut pantai Baluran setiap tahun mulai Oktober,
selalu datang kelompok-kelompok pencari nener dari Madura atau
dari desa sekitar Baluran. "Tempat ini saya dapat dari ayah
saya," kata Pak Saodah, yang kulitnya mengkilat hitam. Ayahnya
konon dari ayahnya lagi, dan begitulah seterusnya. Mereka merasa
berhak atas pantai itu selama 3-4 bulan setiap tahun.
"Kami bingung apakah harus mengusir mereka atau membiarkan
mereka," ujar Saleh Sanusi, Kepala Cagar Alam Baluran. Dulu
jumlahnya memang sampai sekitar 2.000 orang. Kini cuma sekitar
700 saja. "Yang ini kini punya kesadaran," tambahnya lagi. Sebab
mereka dulu menebang kayu bakau untuk bahan bakar, kini mereka
bahkan masak dengan kompor. Dinding-dinding bambu untuk pondok,
telah mereka bawa sendiri. Air didapat dari sumur yang mereka
gali sendiri, jadi tidak mengambil porsi air minum binatang yang
dilindungi. Juga kini mereka datang lewat laut. "Dulu lewat
hutan tidak bayar," kata yang lain. Kini mereka menyewa perahu
Rp 500 per orang.
Nener yang biasa dijual antara Rp 8 - Rp 10 per ekor itu sering
mati, kalau ombak terlalu besar. Bayi bandeng yang masih berusia
sekitar 7 hari itu rupanya tidak tahan hempasan air yang berada
dalam ember plastik.
"Kalau saya ada pekerjaan lain, saya mau meninggalkan daerah
ini," ujar Saodah lagi. Sisa bulan-bulan yang harus dilalui di
desanya di Pandean cuma jadi kuli pelabuhan. Sawah ia tak punya,
demikian pula temannya yang lain.
Baluran, luas 25.000 ha, sejak 1930 sudah jadi daerah cagar
alam. Letaknya, di sudut Pulau Jawa, sulit untuk dijadikan
daerah tertutup. Pantainya mudah didarati dan di bagian selatan
ada jalan raya Surabaya-Banyuwangi dan hutan jati sebagai daerah
bufferzone yang jauh dari ideal. Tetapi Baluran adalah kawasan
yang sangat unik.
Daerah yang terkering dari Pulau Jawa ini mempunyai sabana
seluas 3.500 ha. Kemudian ada pula hutan pantai yang selalu
hijau sepanjang tahun dan hutan musim hujan di kawasan sekitar
Gunung Baluran yang kini penuh dengan kawah yang tidak aktif
lagi. Berbagai jenis hutan dalam satu kelompok yang unik itu
membuahkan pula beberapa jenis binatang dan vegetasi yang cuma
bisa didapat di situ. Ada 444 jenis (species) flora, 167 jenis
burung, 87 jenis mamalia. Kalau dilakukan riset lebih serius
tentu species akan bertambah lagi.
Jenis binatang yang semakin berkurang dan yang mengkhawatirkan
adalah banteng. Diperkirakan jumlahnya kini sekitar 100 ekor
saja, sementara kerbau liar semakin berkembang biak. Populasi
banteng ini diduga akan terdesak oleh kerbau liar yang bisa
minum air sembarang, sementara tempat minum banteng sering
dijadikan kubangan kerbau (dan banteng ogah minum).
"Karena itu, kalau tidak cepat-cepat diatasi, kita akan
kehilangan," ujar Alikodra yang memang sedang menyusun disertasi
tentang banteng (Ujungkulon). Menurut dosen IPB dari Departemen
Konservasi Sumber Daya Elutan ini, selama ini tindakan baru
sampai ke pencegahan saja. Tampaknya, organisasi dari 40 orang
pekerja Baluran juga belum tersusun rapi. Pula rasanya PPA
belum mempunyai suatu rencana yang menyeluruh jelas dan pasti.
Selama ini tindakan yang dijalankan cuma sekedar mengamankan ia
agar taman tidak dimasuki orang.
BAGI Baluran, di kala musim kemarau panjang penduduk sekeliling
sering mencari gadung atau asam. Menjelang hari raya Ied, anak
buah Saleh Sanusi harus berjagajaga agar jangan ada yang
menembak kerbau liar.
Rencana yang kini tampaknya sudah akan direalisasi ialah tempat
pariwisata Baluran. Adanya banteng, merak, ayam hutan, lutung,
dan berbagai satwa lainnya, kawasan ini konon bisa dijadikan
hutan wisata yang menarik. Tetapi bagaimana mengintensifkan
kawasan itu tanpa mengganggu kondisi ekologis,belum elas. Juga
belum ada aturan yang pasti, siapa saja yang boleh masuk
Baluran, sampai seberapa jauh, mana-mana zona inti yang sama
sekali tidak boleh dimasuki manusia (kecuali untuk riset), belum
dituangkan dalam peraturan yang pasti.
Kalau tidak cepat-cepat, "saya takut hilangnya karakteristik
cagar alam ini," ujar Alikodra lagi. Dan rupanya belum banyak
yang dibenahi, sementara kunjungan rombongan peninjau (dan
penonton) tidak putus-putusnya. Tentang taman nasional yang
lain, rupanya tidak banyak berbeda dengan situasi yang ada di
Baluran. Tidak mudah rupanya menjaga keaslian bunyi tema Kongres
Taman Nasional Sedunia ke-3. Garis pelaksanaan yang jelas belum
ada.
Sementara itu, Baluran telah kemasukan truk pembawa pasir untuk
melicinkan jalan masuk. Malam hari pun sudah bising dengan mesin
disel. "Ini cuma karena ada tamu, kok", bisik seorang karyawan
Baluran. Bisingnya disel sering diseling dengan lengkingan
kijang yang rupanya sedang diburu gerombolan anjing liar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo