Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Rezeki di tanah nener

Beberapa hal yang menyebabkan hilangnya karakteristik cagar alam baluran: 3-4 bln dalam setiap tahun datang kelompok-kelompok pencari nener dari madura & sekitarnya, kerbau liar berkembang biak mendesak banteng. (ling)

30 Oktober 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KERUMUNAN mereka yang ada dipantai itu mirip orang piknik saja. Beberapa anak kecil main pasir, dan beberapa perempuan sibuk menjala. Sedang beberapa pria lainnya sibuk membentangkan uter yang panjang, alat yang dibuat dari batang nipah guna mengumpulkan nener, bayi ikan bandeng. Setelah uter ditarik menjadi lingkaran yang lebih kecil, seorang ibu dengan serok dari kain putih menciduk air yang mungkin mengandung nener, yang sulit dibedakan lewat pandangan mata biasa karena kecilnya. Serokan yang tampaknya tidak ada apa-apa itu kemudian dituang di sebuah ember plastik. "Ya, bagaimana rezeki saja," kata seorang ibu yang memegang serok tersebut. Kalau lagi untung, ratusan nener bisa ditangguknya Sering cuma 5-10 ekor. Di beberapa sudut pantai Baluran setiap tahun mulai Oktober, selalu datang kelompok-kelompok pencari nener dari Madura atau dari desa sekitar Baluran. "Tempat ini saya dapat dari ayah saya," kata Pak Saodah, yang kulitnya mengkilat hitam. Ayahnya konon dari ayahnya lagi, dan begitulah seterusnya. Mereka merasa berhak atas pantai itu selama 3-4 bulan setiap tahun. "Kami bingung apakah harus mengusir mereka atau membiarkan mereka," ujar Saleh Sanusi, Kepala Cagar Alam Baluran. Dulu jumlahnya memang sampai sekitar 2.000 orang. Kini cuma sekitar 700 saja. "Yang ini kini punya kesadaran," tambahnya lagi. Sebab mereka dulu menebang kayu bakau untuk bahan bakar, kini mereka bahkan masak dengan kompor. Dinding-dinding bambu untuk pondok, telah mereka bawa sendiri. Air didapat dari sumur yang mereka gali sendiri, jadi tidak mengambil porsi air minum binatang yang dilindungi. Juga kini mereka datang lewat laut. "Dulu lewat hutan tidak bayar," kata yang lain. Kini mereka menyewa perahu Rp 500 per orang. Nener yang biasa dijual antara Rp 8 - Rp 10 per ekor itu sering mati, kalau ombak terlalu besar. Bayi bandeng yang masih berusia sekitar 7 hari itu rupanya tidak tahan hempasan air yang berada dalam ember plastik. "Kalau saya ada pekerjaan lain, saya mau meninggalkan daerah ini," ujar Saodah lagi. Sisa bulan-bulan yang harus dilalui di desanya di Pandean cuma jadi kuli pelabuhan. Sawah ia tak punya, demikian pula temannya yang lain. Baluran, luas 25.000 ha, sejak 1930 sudah jadi daerah cagar alam. Letaknya, di sudut Pulau Jawa, sulit untuk dijadikan daerah tertutup. Pantainya mudah didarati dan di bagian selatan ada jalan raya Surabaya-Banyuwangi dan hutan jati sebagai daerah bufferzone yang jauh dari ideal. Tetapi Baluran adalah kawasan yang sangat unik. Daerah yang terkering dari Pulau Jawa ini mempunyai sabana seluas 3.500 ha. Kemudian ada pula hutan pantai yang selalu hijau sepanjang tahun dan hutan musim hujan di kawasan sekitar Gunung Baluran yang kini penuh dengan kawah yang tidak aktif lagi. Berbagai jenis hutan dalam satu kelompok yang unik itu membuahkan pula beberapa jenis binatang dan vegetasi yang cuma bisa didapat di situ. Ada 444 jenis (species) flora, 167 jenis burung, 87 jenis mamalia. Kalau dilakukan riset lebih serius tentu species akan bertambah lagi. Jenis binatang yang semakin berkurang dan yang mengkhawatirkan adalah banteng. Diperkirakan jumlahnya kini sekitar 100 ekor saja, sementara kerbau liar semakin berkembang biak. Populasi banteng ini diduga akan terdesak oleh kerbau liar yang bisa minum air sembarang, sementara tempat minum banteng sering dijadikan kubangan kerbau (dan banteng ogah minum). "Karena itu, kalau tidak cepat-cepat diatasi, kita akan kehilangan," ujar Alikodra yang memang sedang menyusun disertasi tentang banteng (Ujungkulon). Menurut dosen IPB dari Departemen Konservasi Sumber Daya Elutan ini, selama ini tindakan baru sampai ke pencegahan saja. Tampaknya, organisasi dari 40 orang pekerja Baluran juga belum tersusun rapi. Pula rasanya PPA belum mempunyai suatu rencana yang menyeluruh jelas dan pasti. Selama ini tindakan yang dijalankan cuma sekedar mengamankan ia agar taman tidak dimasuki orang. BAGI Baluran, di kala musim kemarau panjang penduduk sekeliling sering mencari gadung atau asam. Menjelang hari raya Ied, anak buah Saleh Sanusi harus berjagajaga agar jangan ada yang menembak kerbau liar. Rencana yang kini tampaknya sudah akan direalisasi ialah tempat pariwisata Baluran. Adanya banteng, merak, ayam hutan, lutung, dan berbagai satwa lainnya, kawasan ini konon bisa dijadikan hutan wisata yang menarik. Tetapi bagaimana mengintensifkan kawasan itu tanpa mengganggu kondisi ekologis,belum elas. Juga belum ada aturan yang pasti, siapa saja yang boleh masuk Baluran, sampai seberapa jauh, mana-mana zona inti yang sama sekali tidak boleh dimasuki manusia (kecuali untuk riset), belum dituangkan dalam peraturan yang pasti. Kalau tidak cepat-cepat, "saya takut hilangnya karakteristik cagar alam ini," ujar Alikodra lagi. Dan rupanya belum banyak yang dibenahi, sementara kunjungan rombongan peninjau (dan penonton) tidak putus-putusnya. Tentang taman nasional yang lain, rupanya tidak banyak berbeda dengan situasi yang ada di Baluran. Tidak mudah rupanya menjaga keaslian bunyi tema Kongres Taman Nasional Sedunia ke-3. Garis pelaksanaan yang jelas belum ada. Sementara itu, Baluran telah kemasukan truk pembawa pasir untuk melicinkan jalan masuk. Malam hari pun sudah bising dengan mesin disel. "Ini cuma karena ada tamu, kok", bisik seorang karyawan Baluran. Bisingnya disel sering diseling dengan lengkingan kijang yang rupanya sedang diburu gerombolan anjing liar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus