Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ILMUWAN ternama asal Brasil, Eneas Salati, pernah mengatakan, “Yang terbaik yang bisa kamu lakukan untuk hutan hujan Amazon adalah meledakkan jalan-jalan.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Eneas tidak bercanda. Dia ada benarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam artikel terbaru yang terbit di jurnal Nature, saya bersama kolega menunjukkan bahwa pembangunan jalan ilegal dan sering kali tidak terkendali membahayakan hutan di Indonesia, Malaysia, dan Papua Nugini. Jalan yang kami teliti tersebut tidak muncul di peta yang sah, sehingga kami menyebutnya “jalan hantu” (ghost roads).
Apa yang buruk dari suatu jalan?
Jalan membuka akses. Saat buldoser meratakan banyak bidang hutan untuk jalan, di situlah pembalak liar, penambang, pemburu, dan perampas lahan berdatangan. Begitu memperoleh akses, mereka dapat menghancurkan hutan, membahayakan ekosistem asli setempat, bahkan mengusir hingga membunuhi masyarakat adat.
Penjarahan tersebut merenggut sumber daya alam yang berharga dari negara-negara yang kekurangan uang. Indonesia, misalnya, mengalami kerugian sekitar US$ 1,5 miliar (sekitar Rp 24,3 triliun) setiap tahun hanya dari pencurian kayu.
Jalan yang belum dipetakan atau tidak resmi memang ada di seluruh negara. Namun, di negara-negara berkembang, terutama yang kaya keberagaman hayati, situasinya sangat buruk. Pembangunan jalan berlangsung sangat cepat—bahkan yang tercepat dalam sejarah manusia.
Pekerja menggunakan sepeda motor melintas di Kalimantan Timur, 12 Februari 2024. ANTARA/ Rivan Awal Lingga
Memetakan 'Jalan Hantu'
Dalam penelitian ini, saya dan mahasiswa doktoral saya, Jayden Engert, bekerja sama dengan kolega di Australia dan Indonesia untuk merekrut serta melatih lebih dari 200 relawan.
Mereka menghabiskan waktu 7.000 jam untuk memetakan jalan secara manual, menggunakan citra satelit resolusi tinggi dari Google Earth. Tim relawan kami memetakan jalan di lebih dari 1,4 juta kilometer persegi di kawasan Asia-Pasifik.
Ketika hasilnya diperoleh, temuan kami luar biasa. Sebagai permulaan, jalan hantu yang belum dipetakan sepertinya ada di mana-mana. Ketika membandingkan temuan kami dengan dua basis data jalan terkemuka, OpenStreetMap dan Proyek Inventarisasi Jalan Global (GRIP), kami menemukan jalan hantu di wilayah ini 3 hingga 6,6 kali lebih panjang dibanding gabungan seluruh jalan resmi yang dipetakan.
Sebagian besar wilayah Indonesia memiliki jalan hantu, dengan hutan hujan dataran rendah di Kalimantan dan Sumatera bagian tengah yang paling terkena dampak. Jalan hantu juga kian menyebar semakin panjang di Papua.
Ketika jalan hantu muncul, deforestasi di tingkat lokal melonjak—biasanya tak lama setelah jalan dibangun. Sejauh ini, kami menemukan bahwa tingkat densitas suatu jalan (panjangnya suatu jalan per kilometer persegi) adalah tolok ukur terpenting untuk memprediksi kehilangan hutan, melampaui 38 variabel lainnya. Tak peduli bagaimanapun seseorang mengukurnya, jalan adalah “pembunuh hutan”.
Angka kehilangan hutan di Indonesia masih sangat tinggi sampai nanti mayoritasnya terbabat habis. Ini serupa dengan dinamika "boom-bust" (melonjak lalu menurun) yang terjadi di permukiman di perbatasan Amazon, Brasil.
Maraknya jalan hantu sangat berbahaya bagi pelestarian alam. Sebab, saat jalan-jalan tersebut berkembang pesat, keberadaannya tetap tersembunyi dan berada di luar kendali pemerintah.
Jalan dan Kawasan Lindung
Tak ada taman nasional ataupun kawasan lindung di Asia-Pasifik yang benar-benar aman dari jalan ilegal.
Meski begitu, upaya menjaga taman-taman nasional setidaknya cukup berdampak. Di kawasan ini, panjang jalan ilegal hanya sepertiga dari area di sekitarnya yang tak terlindungi.
Berita buruknya, ketika orang-orang membangun jalan di kawasan lindung, tingkat kerusakan hutannya sama dengan jalan di luar kawasan tersebut.
Temuan kami menekankan pentingnya pembatasan jalan dan kerusakan terkait di dalam kawasan lindung. Jika kami mampu menemukan jalan-jalan hantu ini dengan citra satelit, aparat semestinya juga bisa. Jalan ilegal yang sudah ditemukan dapat dibongkar atau setidaknya dipetakan untuk dikelola seperti jalan legal lainnya.
Menjaga keutuhan kawasan lindung sangatlah mendesak. Lebih dari 3.000 kawasan lindung telah diperkecil atau terdegradasi secara global untuk jalan baru, pertambangan, dan tekanan penggunaan lahan lokal.
Orangutan di lokasi Rehabilitasi dan Reintroduksi Orangutan Borneo Orangutan Survival Foundationn (BOSF) Samboja Lestari di Kabupaten Kutai Kertanegara, provinsi Kalimantan Timur, 2019. REUTERS/Willy Kurniawan
Jalan Tersembunyi dan Jejak Manusia
Dampak jalan hantu bagi bumi berbeda-beda dari suatu tempat ke tempat lainnya. Untuk mengukur seberapa besar dampak yang tengah kita alami, para peneliti menggunakan indeks jejak aktivitas manusia (human footprint index).
Jejak ini menghimpun data dari aktivitas manusia, seperti jalan, infrastruktur, penggunaan lahan, dan penerangan malam hari dari permukiman berlistrik. Kamu dapat menggunakan indeks ini untuk membuat peta gradasi warna (heatmap) yang menunjukkan di mana aktivitas manusia, baik yang kurang maupun yang paling berdampak.
Kami memasukkan temuan jalan hantu ke dalam indeks serta membandingkan dua versi untuk Kalimantan bagian timur: satu tanpa informasi jalan hantu dan satu lagi dengan versi tersebut.
Perbedaannya sangat mencolok.
Ketika jalan hantu dimasukkan ke dalam peta dampak manusia di Kalimantan bagian timur, wilayah dengan gangguan manusia “sangat tinggi” berlipat ganda. Sedangkan wilayah dengan gangguan “rendah” di peta justru berkurang setengahnya.
Kecerdasan Buatan
Para peneliti yang menyelidiki wilayah berkembang lain yang kaya akan keanekaragaman hayati, seperti Amazonia dan Cekungan Kongo, juga menemukan banyak jalan ilegal yang belum dipetakan.
Jalan hantu sepertinya sedang mewabah. Lebih buruk lagi, jalan-jalan tersebut dapat terus merangsek akibat skema perluasan infrastruktur yang agresif—terutama Belt and Road Initiative, megaproyek infrastruktur global Cina yang berlangsung di lebih dari 150 negara.
Pemetaan jalan hantu memerlukan banyak tenaga kerja. Kamu mungkin mengira AI bisa melakukan hal ini dengan lebih baik. Namun hal tersebut tak sepenuhnya benar. Mata manusia masih mengungguli AI dalam pengenalan gambar untuk memetakan jalan.
Dengan kecepatan kerja kami saat ini, pemetaan secara visual semua jalan—baik legal maupun ilegal—di seluruh permukaan bumi akan memerlukan sekitar 640 ribu jam kerja (setara dengan riset selama 73 tahun).
Mengingat tantangan ini, kelompok kami dan peneliti lain kini sedang menguji metode AI. Harapannya, AI dapat memetakan jalan hantu berskala global yang akurat secara hampir real-time. Tidak ada hal lain yang bisa mengimbangi laju pembangunan jalan yang semakin menjamur.
Kita harus segera mampu memetakan jalan-jalan di dunia secara akurat dan lebih sering. Setelah seluruh data tentang jalan terkumpul, kita dapat menerbitkannya. Dengan demikian, pihak berwenang, organisasi masyarakat sipil, dan peneliti yang terlibat dalam perlindungan hutan dapat melihat apa yang terjadi.
Tanpa informasi penting ini, kita menjadi buta. Mengetahui apa yang terjadi di hutan hujan merupakan langkah pertama untuk menghentikan kerusakan.
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation Indonesia.