Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Bagaimana Sampah Orang Jakarta Mencemari Pulau Pari

Bobot sampah laut yang mendarat di Pulau Pari bisa lebih dari 1 ton per hari. Diduga berasal dari daratan Jakarta.

24 November 2024 | 08.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sampah dari daratan Jakarta terbawa arus laut sampai ke pesisir Pulau Pari, Kepualuan Seribu.

  • Bobot sampah laut yang mendarat di Pulau Pari bisa mencapai 1 ton per hari.

  • Sampah kiriman membuat perairan Pulau Pari menjadi keruh dan berwarna hijau tua.

TATKALA biru laut di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, sekonyong-konyong berubah warna menjadi hijau gelap, Andri Gunawan tahu bakal bekerja ekstra. Petugas kebersihan pesisir pantai binaan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta itu menandai fenomena tersebut sebagai sinyal datangnya sampah laut dari Ibu Kota. “Kami bukan memfitnah Jakarta, tapi besar kemungkinan dari sana asalnya sampah ini,” kata Andri ketika ditemui di Dermaga Pulau Pari pada Selasa, 12 November 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sampah kiriman yang dimaksud Andri merupakan pencemaran laut berupa beragam jenis sampah plastik, potongan kayu, atau benda-benda lain. Dalam sehari, sampah yang diangkat dari perairan pesisir Pulau Pari bisa memenuhi sepuluh bak becak motor pengangkut sampah. Kalau ditimbang, berat sampah laut itu mencapai 1 ton. “Kalau tidak ada sampah kiriman biasanya hanya memenuhi tiga bak becak motor,” tutur Andri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dugaannya, sampah tersebut terbawa arus sungai di Jakarta dan Tangerang, Banten, yang bermuara di Teluk Jakarta. Ternyata sampah yang berserak memenuhi laut itu berarak ke utara sejauh belasan hingga 30-an kilometer sampai ke Pulau Pari.

Pulau dengan luas sekitar 43 hektare itu masuk wilayah administrasi Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan, Kabupaten Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta. Sebagian besar wilayah Pulau Pari menjadi lokasi penelitian dan konservasi keanekaragaman hayati, khususnya ekosistem mangrove dan terumbu karang.

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) juga menjadikan pulau tersebut area penelitian, pengembangan masyarakat, konservasi, dan pariwisata. Mereka melibatkan masyarakat lokal untuk melakukan budi daya terumbu karang hingga rumput laut. Hampir semua penduduk Pulau Pari yang berjumlah 3.736 jiwa hidup dari menjaga ekosistem laut.

Andri mendapat tanggung jawab pembersihan pesisir di dekat Dermaga Pulau Pari. Lokasi ini disebutnya paling banyak disambangi sampah kiriman karena arus laut lebih kuat ke arah pelabuhan ketimbang pesisir lain. Dia menunjukkan kepada Tempo pelbagai jenis sampah teronggok di tepi pelabuhan yang juga menjadi habitat terumbu karang.

“Sampah kiriman ini mudah menandainya. Kalau plastik akan terlihat kotor, sedangkan kayu-kayu akan tampak pucat karena sudah lama di dalam air,” kata Andri, sembari membandingkan, “Kalau sampah dari dalam pulau yang tidak sengaja terbuang ke pesisir pantai, bentuknya masih bersih dan pasti bisa dibedakan oleh petugas.”

Ketika sampah dari Ibu Kota berdatangan ke kampungnya, Mustagfirin, seorang nelayan di Pulau Pari, memilih berhenti melaut. Hal ini lantaran sampah—terutama serpihan kayu—dapat merusak jaringnya. “Lebih banyak ruginya jika terlalu banyak sampah dari Jakarta masuk ke pesisir pantai,” tuturnya.

Bila harus mencari ikan, nelayan biasanya berinisiatif ikut mengangkut sampah ke daratan. Tujuannya mengurangi pencemaran lingkungan sekaligus memastikan jaring mereka tak rusak kala ditebar ke area terumbu karang. Namun tak semua sampah dapat terangkut, terutama yang mengendap di dasar laut atau menempel di karang.

Makalah penelitian Tyara Aprilani Khorunnisa dari Institut Pertanian Bogor (IPB University), Jawa Barat, yang bertajuk “Kelimpahan dan Komposisi Sampah Laut Terdampar di Pulau Pari” pada 2023 juga memotret ribuan jenis timbunan sampah laut. Dalam periode studi Mei-Juli 2022, mereka menemukan 1.033 item sampah dengan berat 33,42 kilogram. Hal itu mengakibatkan kelimpahan sampah di laut rata-rata mencapai 0,96 item per meter persegi atau 30,95 gram per meter persegi.

Sampah di pinggir pantai Pulau Pari, Kepulauan Seribu, yang berasal dari Jakarta, 12 November 2024. Tempo/Fardi Bestari

Selama proses penelitian, kelimpahan laut tertinggi terjadi pada Mei dengan komposisi sampah plastik dan karet sebesar 74 persen. Analisis Tyara berbasis metode clean coast index, yang menggolongkan Pulau Pari sebagai pantai kotor. Indikator ini merujuk pada jumlah sampah di laut yang dibagi dengan luas wilayah survei.

Hasil riset Tyara juga mendapati bahwa sampah-sampah tersebut merupakan kiriman dari pulau lain dan disinyalir makin melimpah pada medio Mei. Hal ini dipengaruhi pergerakan arus di Laut Jawa yang bergerak dari arah timur menuju barat pada musim timur. Akibatnya, jumlah sampah di laut Pulau Pari lebih besar ketimbang tujuh pulau lain wilayah Kepulauan Seribu, seperti Pulau Untung Jawa, Pulau Lancang Besar, Pulau Damar Kecil, Pulau Ayer, Pulau Tidung Kecil, dan Pulau Damar Besar.

Peneliti Ecological Observation and Wetland Conservations atau Ecoton, Amirudin Muttaqin, juga menduga sampah-sampah tersebut berasal dari perairan Teluk Jakarta. Wilayah itu merupakan muara bagi sedikitnya 13 sungai di Jakarta, seperti Sungai Ciliwung, Angke, Sunter, dan Cisadane. “Apalagi di Muara Angke, Jakarta Utara, kami menemukan pencemaran laut yang luar biasa akibat timbunan sampah plastik,” ucap Amirudin.

Tumpukan sampah plastik di Teluk Jakarta biasanya mengalir ke banyak tempat, bahkan disinyalir telah melintasi benua. Salah satu pulau yang turut terkena dampak adalah Pulau Pramuka, ibu kota Kabupaten Kepulauan Seribu. “Hasil penelitian kami pada 2021 mendapati banyak sampah di sana, bahkan ditemukan mikroplastik yang mengganggu pertumbuhan biota laut Pulau Pramuka.”

Peneliti Ahli Utama di Pusat Riset Oseanografi BRIN, Muhammad Reza Cordov, dalam studinya mendapati hal yang lebih mencemaskan, yakni ketika sampah yang dibuang di Sungai Cisadane ternyata mengarungi samudra hingga ke Afrika. Temuan tersebut muncul ketika dia bereksperiman menggunakan Simulasi Lagrangian (pemodelan matematika), yang menunjukkan bahwa sampah plastik dari muara Cisadane di Laut Jawa terbawa arus permukaan ke arah barat, lalu menyusup melalui Selat Sunda, sampai terbebas ke Samudra Hindia.

Perpindahan 10-20 persen sampah yang berada di Teluk Jakarta ke Samudra Hindia ternyata hanya membutuhkan waktu beberapa bulan. Perkiraan Reza, seandainya tidak ada lagi sampah dari sungai Jawa-Bali yang masuk ke laut, sebanyak 98,59 persen sampah yang tersisa dan mengapung di Teluk Jakarta akan pindah ke Samudra Hindia dalam waktu lima tahun.

Reza menyebutkan sebetulnya ada solusi alternatif untuk mengatasi sampah kiriman berdatangan ke Pulau Pari. Dia merekomendasikan pemasangan jaring di hilir sungai supaya sampah yang meluap kala banjir tidak hanyut hingga ke laut.

Ketika jaring dipasang, kata Reza, masyarakat sekitar pinggir sungai juga bisa memilah sampah-sampahnya agar tidak mencemari lingkungan sekitar. Cara ini ia anggap lebih solutif ketimbang memunguti sampah secara manual saat bertebaran di daratan. “Pemasangan jaring secara periodik akan mengurangi sampah di sungai yang berpotensi mencemari laut,” tutur Reza saat dihubungi Tempo, Senin, 18 November 2024.

Profesor riset dengan kepakaran pencemaran laut ini menduga sampah kiriman yang mencemari Pulau Pari tidak datang dari Jakarta saja. Sampah itu bisa juga berasal dari pesisir utara Jawa Barat, Banten, ataupun wilayah timur laut Sumatera. Makanya dia meminta pemerintah daerah berupaya ekstra menjaga sampah di setiap aliran sungai tidak mengalir hingga ke laut.

Ada tiga pengaruh yang menyebabkan sampah di daratan bisa mengalir hingga ke samudra lepas. Pertama berkaitan dengan musim, kedua soal arus laut, dan ketiga perihal geomorfologi pesisir. Walau begitu, dampak dari semuanya tetap sama, yakni akan memperburuk ekosistem lautan, terutama terumbu karang dan mangrove.

“Dampak paling rendah sampah plastik adalah masuk ke kawasan terumbu karang. Akibatnya, cahaya matahari tidak tersalurkan, yang mengganggu proses fotosintesis, lalu akarnya akan terganggu dalam menyerap nutrien dari tanah dan berujung pemutihan karang,” ujar Reza.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Alif Ilham Fajriadi berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Pulau Pari Tersaput Sampah Jakarta"

Avit Hidayat

Avit Hidayat

Alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas PGRI Ronggolawe, Tuban, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo sejak 2015 dan sehari-hari bekerja di Desk Nasional Koran Tempo. Ia banyak terlibat dalam penelitian dan peliputan yang berkaitan dengan ekonomi-politik di bidang sumber daya alam serta isu-isu kemanusiaan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus