Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA buah derek raksasa, yang tahunan mengungguli tinggi candi,
telah disingkirkan. Peti-peti kayu, yang tadinya berserakan,
juga tak tampak lagi. Sejak awal 1983, pekerjaan di seputar
candi Borobudur tinggal mematut-matuti lingkungan agar tampak
rapi dan bersih. Kantor proyek dibersihkan dan dicat kembali.
Juga pendapa besar dibenahi untuk pameran.
Pekan lalu, menjelang candi memasuki upacara purna pugar 23
Februari sebuah Stasiun Bumi Kecil dipasang di dekat kantor
proyek. Sebuah prasasti peresmian mendapat elusan tangan
terakhir, sementara pohon hias mulai ditata di sekelilingnya.
Secara keseluruhan, candi tampak bersih. Dinding-dindingnya
telah tegak kembali. Tubuh sang Budha yang tadinya penuh panu
(lichen) kini tampak lebih berseri. Ada 4.814 batu pengganti
baru (replacing stones) yang membantu memperkokoh candi.
Semuanya diberi tanda putih untuk membedakan batu asli lama.
Batu pengganti ini cuma sekitar 4% dari seluruh jumlah batu
candi yang dibongkar: 29.000 m3. Tetapi relief atau pancuran
berukir yang tidak bisa diselamatkan lagi terpaksa harus
ditambal dengan batu polos bersegi demi kokohnya bangunan. Di
beberapa sela-sela batu, tampak timah hitam lempengan menyembul
sebagai landasan penyaring air.
Setelah dipugar, cantikkah Borobudur kini? Dr. Soekmono yang
empunya kera tertegun. Lebih dari 10 tahun dia "bergaul" dengan
candi ini. Ahli purbakala yang biasa mempunyai motto ngawula
watu (mengabdi kepada batu) ini menarik napas panjang. Ketika
peresmian purna pugar tinggal 7 hari lagi, keluar perasaannya.
"Saya kaget. Saya agak kecewa," katanya pada TEMPO. Dia
berpendapat bahwa jenggreng (postur) Borobudur kini berbeda.
"Romantiknya kini tak ada lagi. Warnanya berubah."
Sebelum dipugar, warna Borobudur hitam, bercampur abu-abu
keputihan karena dia berpanu. "Kini jadi polycolour," kata Dr.
Soekmono lagi. Ada kuning, ada warna pucat lainnya. Mungkin ini
akibat kerja beberapa peneliti lain. Sebab untuk memperjelas
pemotretan, dipakai bahan pewarna, oker kuning.
Sejak pertama kali Borobudur ditemukan, niat untuk memugarnya
telah tercetus. Tetapi selalu tertunda dan terputus. Di samping
itu, Borobudur banyak mengundang ahli-ahli purbakala dan mereka
selalu berusaha mendokumentasikan candi agung ini. Terutama
reliefnya yang indah.
Tahun 1885, J.W. Ijzerman berhasil mengungkapkan 200 relief yang
selama ini tertutup di kaki candi terbawah. Hal-hal yang baik
dan buruk, masalah hukum akibat perbuatan manusia, semua tertera
dengan apiknya dalam Karmawibhanggo. Lima tahun berikutnya,
pemerintah Hindia Belanda menetapkan sebuah panitia pemugaran
dan perawatan Borobudur. Mulai 1907-1911, Theodore van Erp
mengadakan pemugaran. Pertama kali yang terbesar dalan sejarah
hidupnya candi itu kembali. Pemugaran berikutnya, 1926-1940,
tetap tertunda-tunda. Ada maleise, ada perang.
Tahun 1960, pemerintah Indonesia mencanangkan bahwa candi berada
dalam keadaan yang sangat kritis. Saat itu telah dipikirkan
bagaimana caranya menghidupkan Borobudur 1000 tahun lagi. Karya
van Erp dilakukan secara tambal sulam saja. Kemudian keluar SK
pemerintah berikut penyediaan anggaran khusus, di tahun 1963.
Pemugaran juga tidak jalan karena laju inflasi yang menderas
dari peristiwa G30S di tahun 1965. Tahun 1966, pemugaran yang
baru dalam tahap penelitian dihentikan sama sekali karena
ketiadaan biaya. Dalam kongres Orientalist ke-27 di AS, 1967,
keluar keputusan agar Borobudur segera diselamatkan. Tahun
berikutnya muncul dua orang ahli dari UNESCO untuk mengadakan
penelitian di tempat. Tahun 1972, rencana kerja yang lebih
terpadu telah rampung dibuat. Tanggal 10 Agustus 1973, Presiden
Soeharto meresmikan dimulainya pemugaran secara sungguhan. Ketua
Pelaksana Pembangunan Candi, Prof. Ir. Roosseno waktu itu
mengatakan bahwa memugar Borobudur harus alon-alon angger
kelakon. Lambat asal bisa terlaksana. Nyatanya baru bisa rampung
10 tahun kemudian.
Ada beberapa sebab mengapa Borobudur menderita kerusakan.
Peruma-tama, fondamen candi cuma sebuah bukit kecil yang tidak
kuat menyangga beban berat ratusan ribu m3 batu. Lagi pula cara
membuat fondasi cuma terdiri dari tanah uruk dan bingkah-bingkah
batu, padahal Desa Borobudur termasuk daerah gempa. Selain itu
batu-batunya tidak padat (porous) sehingga mudah aus.
Lebih-lebih teriknya matahari di kawasan tropis ini. Musuh yang
paling utama lainnya ialah air. Di musim hujan, guyuran hujan
rata-rata sampai 100 mm per hari. Sehingga batu gunung jenis
andesit ini bagaikan karet spons yang gemar mengisap air.
Permukaan batu, terutama lekukan ukiran, menjadi geripis. Suatu
proses fisiko-kimiawi dan biologi telah terjadi. Batu menjadi
berpanu (lichen, algea, moss) atau berbisul (pustula).
Sejak semula, maksud pemugaran ini bukan untuk tujuan
persembahyangan umat Budha. "Borobudur adalah sebuah dead
monument," kata Dirjen Kebudayaan Departemen P&K Prof. Dr.
Haryati Soebadio. Menurut dia, apa yang dimaksud dengan living
monument adalah bangunan kuno yang masih berfungsi. "Borobudur
adalah benteng kebudayaan yang harus dipertahankan," demikian
Soekmono. Ahli sejarah Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo menganggap
candi ini sebagai "indikator dari derajat integrasi masyarakat."
Dorongan untuk mendirikan candi sebesar itu memerlukan
terpadunya kekuasaan politik, sosial, kultural dan religi yang
membuahi sebuah solidaritas meluas. Walaupun biayanya besar
("biaya dalam arti luas, yaitu ekonomi, sosial politik"),
Borobudur bukan sekadar proyek mercu suar, tetapi suatu pertanda
surplusnya keadaan ekonomi. Dataran antara Kali Elo dan Progo
tempat candi itu berdiri, adalah dataran yang subur.
Tentang tenaga kerja, Sartono mengingatkan hal kedudukan raja
waktu itu. Raja adalah wakil dewa di bumi. Sehingga kerik aji
(mobilisasi umum) adalah lumrah. Rakyat rela menyediakan
tenaganya, rakyat rela dikenakan pajak untuk dan demi Borobudur.
Dasar yang kukuh lainnya ialah penghayatan agama. "Semua itu
menunjang kekuasaan politik raja, di samping kemampuan
teknologi," ujar Sartono. Karena itu, monumen bersejarah ini
harus dipugar.
Tahun 1975-1976, barulah dimulai pembongkaran 6 tingkat
penampang persegi candi. Dimulai dari sisi utara dan selatan,
kemudian menyusul sisi lainnya. Hasil restorasi van Erp cukup
sempurna sehingga 4 tingkat berikutnya -- bagian candi yang
penuh stupa -- dirasa cukup kuat dan tak perlu dibongkar.
Pencatatan, pemotretan batu-batu yang akan dibongkar,
pembongkaran, pemindahan batu ke lokasi tertentu, pengecoran
fondasi beton, membersihkan batu dengan aneka zat pembersih
kimiawi dan pekerjaan yang rumit dan memerlukan ketelitian
tinggi, segera dimulai. Ada sekitar 300.000 batu yang harus
dibongkar. Atau 29.000 m2 batu harus dicatat dan dipotret dari
berbagai sisi dan posisi. Selain itu ada sekitar 10.000 batu
yang berserakan bertahuntahun lamanya, harus pula disetel
dicocokkan ke candi. Selain itu, sekitar 6.000 m3 batu
dinyatakan "sakit" dan memerlukan perawatan khusus. Penyakit
tiap sisi candi sangat erat hubungannya dengan keadaan cuaca.
Pada sisi timur, kerusakan biologis, kecil. Tetapi besar
kerusakan karena kemis, endapan garam yang menimbulkan proses
kimia. Oker kuning yang dipakai van Erp ternyata menimbulkan
kerusakan kemis. Tetapi sinar matahari cukup banyak, sehingga
batu di sisi timur cukup kering. Kerusakan di sisi selatan,
karena kurang mendapat sinar matahari (matahari di Borobudur
ternyata lebih banyak berada di utara), terjadi kerusakan
biologis. Demikian pula sisi utara dan barat, karena kelembaban
rata-rata sampai 90%.
Batu-batu yang dirumahsakitkan ini disikat dengan sikat ijuk.
Ada pula yang harus dikorek pelan-pelan dengan jarum. Setelah
bersih, batu kemudian diguyur dengan pasta, kemudian dicopot,
diberi zat pembersih kimiawi dan terakhir dimasukkan ke ruang
hampa udara. Proses itu memerlukan waktu dua minggu untuk setiap
batu. Kemudian pekerjaan melompat ke hal rumit lainnya. Bagaikan
anak kecil bermain dengan jigsaw puzzle, tidak banyak berbeda
dengan menata kembali batu-batu candi ke tempat semu!a. Tetapi
dalam jumlah yang ratusan ribu.
Untung ada komputer. Lewat alat ultra modern ini, tiap batu
dicatat. Komputer juga bertindak sebagai kontrol manajemen
pekerjaan. Setiap kali dia memberikan tanda kemajuan perencanaan
kerja. Bahkan ia mengingatkan mana pekerjaan yang akan
menghasilkan keterlambatan atau kemajuan. Tugas komputer yang
ketiga dan tersulit ialah menjodohkan batu ke asalnya. Terutama
untuk mencocokkan tubuh-tubuh Budha yang tanpa kepala dengan
kepala-kepala Budha yang tadinya berserakan.
Menjodoh-jodohkan kepala Budha dengan tubuhnya ini telah
dilakukan sejak 1969 Bermula dilakukan cara yang paling
sederhana tapi cukup merepotkan. Yaitu dengan membawa kepala
Budha yang beratnya sekitar 15 kg ke sekitar 280 patung Budha
tanpa kepala. Tentu cara ini paling tidak efektif. Tahun 1973,
kemudian dicoba dengan membuat cetakan dari sebagian leher pada
kepala. Seorang pegawai purbakala kemudian berkeliling mencari
leher lain yang jodoh. Hasilnya pun tak banyak. Tahun 1975,
"kami mencoba menawarkan jasa kami," kata Vijay K. Khandelwal,
insinyur IBM Australia yang khusus diproyeksikan untuk
Borobudur.
Semula para arkeolog angkat bahu. Prof. Roosseno juga turut
bertanya: "Apa yang bisa dilakukan oleh sebuah komputer?"
Khandelwal terus terang juga angkat bahu. G. Sumariyono, Kepala
Pemasaran IBM, orang yang pertama kali mempunyai ide ingin
membantu Borobudur dengan komputer, juga geleng kepala. Selama 6
bulan pertama, pihak IBM mencoba mencari-cari pekerjaan.
Komputerisasi pekerja terlalu kecil. Proyek Borobudur cuma
memakai tenaga sekitar 700 orang. Di bidang lain seperti
penyelidikan tanah, foto dan bagian lainnya, kurang efektif.
Akhirnya IBM bisa dipakai untuk mencatat data, perencanaan dan
menjodohkan letak semula batu.
Meskipun Khandelwal dan teman-temannya bekerja sampai tahun 1977
saja, masuknya komputer di proyek pemugaran ini merupakan
katalisator semangat kerja. Kewalahan kerja yang dicatat
komputer menjadi mengecil, karena jauh sebelumnya teknologi
modern ini telah memberi tanda peringatan. "Kalau dijumlah dalam
bentuk uang," kata Khandelwal, "tidak berarti sama sekali."
Tetapi jasa yang lebih besar adalah dilatihnya sekitar 30 orang
tamatan SMA setempat tentang bagaimana menggunakan komputer.
Pemakaian komputer untuk bidang arkeologi memang bukan pertama
kali di Borobudur. Sebelumnya, UNESCO telah menerapkan komputer
di proyek Abu Simbel, patung raksasa di zaman Mesir berfiraun.
Ketika bendungan Aswan dibuat, Abu Simbel ini terendam air dan
berhasil dinaikkan. Tetapi tidak ada laporan tertulis yang
kemudian bisa dikaji. Untuk proyek Borobudur, paling sedikit ada
3 buku laporan tentang hal ini. Dalam hal ini, aplikasi komputer
dapat diandalkan.
Cuma dalam menjodoh-jodohkan kepala Budha, komputer harus
berhadapan dengan faktor alami. Sebab kalau batu sudah aus,
komputer kehilangan kemampuannya. Khandelwal mengatakan bahwa
sampai Mei 1977, cuma ada 6 kepala Budha yang menurut dugaan
komputer cocok. "Tapi kata akhir ada di tangan arkeolog,"
ujarnya. "Kami cuma memberikan data yang di mata awam tampaknya
juga jodoh." Tapi tidak jodoh di pikiran dan perasaan ahli
purbakala. Di sinilah muncul konflik antara Ilmu Eksakta dan
Ilmu Sosial. Menurut Khandelwal, kalau batu-batu itu dicocokkan
secara manual -- tanpa bantuan komputer -- "seluruh pekerjaan
akan selesai dalam waktu 70 tahun," ujarnya.
"Ah, saya rasa, tanpa kami-kami ini, Borobudur sekarang belum
selesai," kata Ahmad Kahardi, 69 tahun, seorang tukang setel
batu. Sebanyak 20 orang seperti Pak Ahmad dipekerjakan di proyek
ini dengan gaji rata-rata Rp 1.200 per hari. Bermula dari tukang
angkat batu-batu candi, mereka kemudian diminta membantu
menerapkan kembalinya batu ke tempat semula. Dan jadilah mereka
pekerja dengan pengalaman di atas 20 tahunan. "Pengalaman kami
karena terbiasa," kata Abdul Kamari, "sebab batu yang tidak
jodoh itu akan terasa di perasaan dan tangan kami."
Mereka bekerja tanpa melihat foto. Juga tidak memahami jalan
ceritera yang ada di relief. Dan semuanya berpendapat bahwa
memugar candi Prambanan lebih mudah ketimbang Borobudur.
Prambanan lebih gampang dicocokkan, sementara di Borobudur batu
dan patung-patungnya banyak yang sama. Belum lagi harus
dicocokkan dengan salah satu dari empat sisi candi asal batu
tersebut. Tidak jarang, seharian penuh mereka tidak bisa
menjodohkan batu. "Di saat itulah, kami tidak enak makan dan
tidur," kata Wakijo, 72 tahun.
Secara resmi, pemugarannya selesai Februari ini. Cuma 10 tahun,
sedangkan pemugaran gugusan Loro Jonggrang di Prambanan telah
menelan waktu 35 tahun (1918-1953). Perkiraan biaya semula, cuma
US$ 7,75 juta (1973). Sejak semulaUNESCO menyanggupi akan
menyumbang sebesar US$ 6 juta. Kenyataannya, seluruh pembiayaan
untuk menolong kemusnahan Borobudur ini menja di US$ 25 juta.
UNESCO sampai 31 Juli 1982, telah berhasil mengumpulkan dana
sebesar US$ 6.500.630. Uang ini adalah hasil kampanye UNESCO
lewat radio, film, prangko, poster dan pameran Borobudur di
seantero negeri. Jepang sebagai negara penyumbang terbesar (US$
1.150 ribu) dari 23 negara. Penyumbang terkecil adalah Cyprus
(US$ 484,80). Selain itu ada pula penyumbang swasta seperti
American Committee for Borobudur (US$ 1.280.036) dan Japanese
Association for the Restoration of Borobudur (US$ 10.296,20).
Pemerintah Indonesia ternyata membiayai 75% dari seluruh biaya
pemugaran. Ditambah lagi dengan biaya peresmian yang kabarnya
menelan biaya ratusan juta rupiah. Mahal?
Rupanya memang tidak ada batas harga untuk suatu karya besar
bersejarah seperti Borobudur. Selain itu banyak pula "hasil
sampingan" yang menguntungkan. "Kami telah belajar cara-cara
konservasi," ujar Samidi Kepala Sektor Kemiko-arkeologi. Kini
ada sekitar 40 kemiko-arkeolog yang tersebar di berbagai museum
di Indonesia. Asal muasal mereka belajar ya ketika Borobudur
dipugar. Kini Indonesia menjadi pusat studi konservasi monumen
untuk kawasan ASEAN.
Hasil sampingan lainnya selama pemugaran Borobudur ialah
ditemukannya sejumlah gerabah yang diperkirakan alat upacara,
ribuan stupika dari tanah liat, lempeng perak, timah hitam dan
emas. Temuan itu didapat di pelataran depan pendapa. Mungkin
dulu ada semacarn padepokan, karena tampak bekas fondasi
meskipun hanya sebagian. Lempengan dengan tulisan Pallawa itu
ternyata catatan mantra-mantra. "Tampaknya di bagian selatan dan
barat candi digunakan sebagai tempat upacara pemujaan," kata
Drs. Boechori, epigraph dari FSUI.
Masalah lain, apa tindakan selanjutnya kalau Borobudur telah
dipugar? "Perawatan," jawab Soekmono cepat. Reaksi dari
disembuhkannya batu-batu yang sakit perlu pula diteliti. Samidi
menyatakan paling tidak harus ada 70 orang yang merawat candi.
Selain laboratorium, nanti ada pula pusat studi Borobudur. "Dan
itulah saatnya saya menulis dan mencoba menyingkap misteri
Borobudur," kata Soekmono. Menurut bekas Kurator Borobudur dan
Prambanan Drs. Harsono, ceritera yang ada di relief Borobudur
baru berhasil diungkapkan 20% saja.
Lepas dari masalah penelitian ilmiah itu, Soekmono berkata
mantap: "Batas kemampuan manusia itu jelas ada. Secara maksimal,
kita cuma memperlambat kemusnahan Borobudur."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo