Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Pemutihan Sawit Bukan Pemulihan Hutan

Pemerintah memilih pemutihan sawit ilegal ketimbang pemulihan hutan yang rusak. Perusakan gambut tidak dihitung sebagai denda.

14 Mei 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENGETAHUI ada 2.130 perusahaan yang bakal mendapat privilese untuk diampuni dosanya, Abil Salsabila agak terkejut. Juru Kampanye Pantau Gambut itu bertambah kaget karena perusahaan yang membuka perkebunan sawit di kawasan hutan tanpa izin tersebut adalah korporasi raksasa. “Semula kami kira hanya seribuan, ternyata perusahaan yang menikmati kebijakan pemutihan sawit ini lebih dari 2.000,” kata Abil saat dihubungi pada Senin, 13 Mei 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kebijakan pemutihan yang dimaksudkan Abil merujuk pada amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 atau Undang-Undang Cipta Kerja. Di dalamnya terdapat Pasal 110A dan 110B yang digunakan sebagai skema impunitas atas kesalahan korporasi yang membabat hutan menjadi perkebunan sawit ilegal. Perusahaan hanya diwajibkan membayar penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dan denda administratif.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tindak lanjut dari program pemutihan ini, Presiden Joko Widodo lantas membentuk Satuan Tugas Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara (Satgas Sawit) melalui Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2023. Tim ini berada di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi. Tujuannya adalah mendata ribuan bisnis sawit ilegal yang telah membabat 3,3 juta hektare kawasan hutan.

Abil merongseng lantaran kebijakan impunitas ini menghapus mekanisme pidana yang semestinya dijeratkan kepada ribuan korporasi tersebut. Lebih-lebih ketika penerapan denda administratif tidak mengakomodasi kerusakan lingkungan yang telah terjadi. “Pemerintah hanya melihat seolah-olah pembabatan hutan sekadar persoalan administratif belaka. Tanpa membebankan ongkos kerusakan ekologis yang akan ditanggung,” tuturnya.

Perkebunan kelapa sawit yang terindikasi masuk ke dalam kawasan hutan di Desa Paduran Sebangau, Kecamatan Sebangau Kuala, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, 21 Desember 2023. TEMPO/Riani Sanusi Putri

Kritik Abil itu merujuk pada temuan lebih dari 407 ribu hektare area kesatuan hidrologis gambut (KHG) yang rusak akibat dibabat perusahaan. Lokasinya berada di dalam 3,3 juta hektare kawasan hutan. Mayoritas ada di Kalimantan Tengah yang merupakan penyumbang gambut terbesar di Pulau Borneo. Mirisnya, hampir setengah juta hektare gambut itu dalam kondisi rusak sehingga mengakibatkan kebakaran hebat pada 2015 dan terus berulang hingga kini.

Gambut secara sederhana digambarkan oleh Abil sebagai spons raksasa yang berfungsi sebagai penyimpan air. Terbentuk dari kubah material organik yang terendap selama ribuan tahun. Tak mengherankan gambut mendapat julukan sebagai salah satu penyimpan karbon terbesar di bumi. Namun fungsi ini dapat mendatangkan petaka bila terjadi deforestasi di atas lahan gambut yang mengakibatkan kekeringan dan acap mudah terbakar.

Pemerintah semestinya berfokus menerapkan sanksi untuk tujuan memulihkan kawasan hutan yang telanjur dirusak, khususnya terhadap wilayah gambut yang rentan terbakar. Persoalannya, Abil tak melihat itu terjadi. Justru skema pemutihan ini menjadi kedok untuk melegalisasi bisnis-bisnis milik korporasi raksasa yang dulunya ilegal. “Analisis kami bersama Greenpeace Indonesia, sedikitnya ada 25 grup korporasi sawit raksasa yang menikmati skema ini,” tutur perempuan 21 tahun yang pernah masuk BBC 100 Women itu.

Deputi Pencegahan dan Monitoring Komisi Pemberantasan Korupsi, Pahala Nainggolan, menyebutkan lembaganya melalui tim Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas-PK) telah mendata korporasi nakal yang semestinya diwajibkan membayar kewajiban dan denda. Jumlahnya mencapai 2.130 perusahaan yang tersebar di hampir semua provinsi. “Pendataan itu sudah kami mulai sejak 2017 sebagai upaya pencegahan korupsi,” katanya.

Pendataan sawit ilegal dalam kawasan hutan dimulai dari Kalimantan Tengah, Riau, Papua, Sulawesi Barat, hingga Kalimantan Timur. Prosesnya melibatkan pemerintah provinsi dan kabupaten bersama Badan Informasi Geospasial. Juga melibatkan United Nations Development Progamme, Balai Pemantapan Kawasan Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Badan Pertanahan Nasional, Yayasan Auriga Nusantara, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia-Riau, Jikalahari, serta organisasi masyarakat sipil lain.

Pada akhir 2023, Stranas-PK memperluas cakupan ke area Kalimantan Barat, Aceh, Jambi, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Bengkulu. Tim Pahala melakukan verifikasi dan penyandingan data di lapangan, verifikasi ke perusahaan, serta menganalisis spasial dan legal. Data-data tersebut lantas diteruskan ke KLHK sebagai pijakan untuk memberlakukan tarif PNBP atau skema denda administratif.

Dari data yang dimiliki Pahala, sedikitnya ada 761 perusahaan yang dikenai tarif PNBP dengan luas 655.123 hektare. Korporasi diwajibkan membayar provisi sumber daya hutan-dana reboisasi (PSDH-DR) atau tanpa denda sesuai dengan Pasal 110A Undang-Undang Cipta Kerja. Kemudian ditemukan 486 perusahaan dengan luas 217.809 hektare yang dikenai denda administratif sesuai dengan Pasal 110B. Ditambah adanya 1,34 juta hektare kawasan hutan yang dikangkangi perusahaan belum teridentifikasi pelakunya.

Adapun data KLHK bersama tim Satuan Tugas Sawit mendata 2.130 unit perusahaan yang teridentifikasi bakal dikenai sanksi sesuai dengan Pasal 110A dan 110B. Jumlah tersebut merujuk pada Surat Keputusan Data dan Informasi yang diterbitkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar dengan nomor I hingga XX. Mereka kemudian mengirim surat keputusan tagihan yang harus dibayarkan 365 perusahaan sesuai dengan Pasal 110A.

Pemerintah menargetkan dapat memberi impunitas terhadap 2.130 korporasi perkebunan sawit yang masuk kawasan hutan tanpa izin.

Dari 365 unit perusahaan, hanya ada 155 korporasi yang membayar PSDH-DR dengan nilai total Rp 648,8 miliar. Adapun 210 korporasi lainnya belum membayar kewajibannya. Data ini juga ditambah surat keputusan tagihan denda administratif terhadap 49 perusahaan sesuai dengan Pasal 110B. “Namun yang sudah membayar baru delapan perusahaan dengan nilai Rp 175,5 miliar. Adapun sisanya belum membayar.”

Pahala masih menghadapi masalah besar lantaran 1.716 perusahaan sisanya belum rampung dianalisis. Dengan demikian, perusahaan-perusahaan itu belum dapat dikenai sanksi menggunakan mekanisme Pasal 110A atau 110B. Proses ini tengah dikebut oleh tim Satuan Tugas Sawit bersama Stranas-PK. Terlebih terdapat beberapa masalah, seperti perbedaan data, sehingga perlu sinkronisasi. Misalnya terdapat subyek hukum yang teridentifikasi dalam data Stranas-PK, tapi tidak ada dalam data KLHK.

Dua sumber Tempo yang mengetahui kerja-kerja tim Satuan Tugas Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara sempat menceritakan ihwal seretnya proses analisis 1.716 korporasi sawit ilegal. Menurut dia, hal itu disebabkan oleh tim yang disokong KLHK tak kunjung mengumpulkan peta digital rencana tata ruang wilayah (RTRW) di setiap provinsi. “Dokumen itu penting untuk memastikan fungsi tata ruangnya,” ucap sumber ini.

Selain itu, perusahaan yang disasar belum banyak menyetorkan data perizinan sawit sebagai dasar analisis denda. Mirisnya, sumber ini juga menyebutkan pemerintah memang sama sekali tidak mengitung kerusakan lingkungan yang diakibatkan perkebunan sawit ilegal. Bahkan pemerintah sengaja tak memasukkan kerugian atas kerusakan 407 ribu hektare gambut dalam kawasan hutan sebagai basis pengenaan sanksi ke perusahaan.

Hal itu terjadi lantaran Satuan Tugas Sawit merujuk pada turunan UU Cipta Kerja. Salah satunya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021 tentang Sanksi Administratif dan PNBP yang di dalamnya hanya mengatur ketentuan potensi ekonomi, yakni hilangnya tegakan kayu. Adapun sanksi kerugian lingkungan hidup yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sengaja tidak dipakai.

Tempo berupaya meminta penjelasan dari Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi Jodi Mahardi. Namun Jodi menyarankan agar menghubungi Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Maritim Firman Hidayat. Namun Firman belum merespons hingga laporan ini diterbitkan.

Satuan Tugas Sawit sebelumnya menceritakan bahwa lembaganya masih berfokus mencari dokumen peraturan tata ruang daerah, khususnya pada tahun saat korporasi sawit pertama kali melakukan ekspansi di kawasan hutan. Hal ini sebagai dasar bagi pemerintah untuk menentukan mekanisme penanganan masalah pada setiap perusahaan.

Kepala Biro Hubungan Masyarakat KLHK Mamat Rahmat juga menyarankan Tempo mengirim surat secara resmi melalui situs web kementeriannya. “Nanti kami teruskan kepada eselon I terkait untuk mendapat jawaban,” katanya.

Pekerja memanen kelapa sawit di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, 12 Mei 2024. ANTARA/Henry Purba

Sebelumnya Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono sempat menyebutkan sedikitnya sudah ada 90 persen perusahaan yang telah mengurus izin. “Dalam satu sampai dua hari ini, kami yakin semuanya bisa masuk dalam subyek hukum,” katanya, seperti dikutip dari Antara pada 30 Oktober 2023.

Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia Gulat Manurung melihat kebijakan pengenaan sanksi denda sebagai hal kontroversial, khususnya terhadap pengenaan denda sesuai dengan Pasal 110B. “Masalahnya ketika sudah membayar kemudian dicabut izinnya atau lahannya dikembalikan ke negara dengan kesempatan satu kali daur. Itu sama saja dengan membunuh kami,” ucap Gulat.

Menurut dia, setiap perusahaan dikenai denda bervariasi, dari Rp 17 juta hingga Rp 30 juta per hektare lahan sawit yang masuk kawasan hutan tanpa izin. Semestinya perusahaan diberi izin lantaran sudah membayar denda. Terlebih pemerintah sedang berupaya mengejar peningkatan produksi crude palm oil untuk kebutuhan bahan bakar nabati atau biodiesel 40.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus