Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mari melancong ke masa lalu, menelusuri sebuah tempat nun di tengah keluasan savana Sumba Barat. Sepanjang mata memandang, hanya terlihat hamparan padang rumput dan tanah kering kerontang. Bila angin bertiup, debu beterbangan bagai kabut. Nyaris tak ada pohon besar di kawasan seluas hampir 21 ribu hektare di Kecamatan Loura, Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT). Di sana-sini terlihat gerombolan ternak warga berebut rerumputan kering yang tersisa. Gersang dan panas. Inilah wajah Loura pada dua dekade lalu.
Cobalah sekarang kunjungi kecamatan berpenduduk 25 ribu jiwa itu. Tanah yang tandus telah berubah menjadi hutan jati, mahoni, dan kutulak—bahan pembuat pernis. Padang gersang itu telah menjadi sumber penghasilan penduduk. Ada kebun mangga, jambu mete, dan kelengkeng. Setidaknya, 1.500 hektare lahan telah memberi keteduhan dan penghasilan berarti bagi warga pengelolanya.
Cerita indah itu tak mungkin terjadi jika Elan Wukak Victor tak pernah menginjakkan kaki di Pulau Sumba 40 tahun silam. Pemuda asal Pulau Lembata, Flores, itu tadinya berencana merantau ke Surabaya. Di tengah jalan dia turun dari kapal dan memilih berdiam di Sumba Timur—sebelum pindah ke Sumba Barat. Dari situ, ia memulai sebuah ikhtiar yang membuatnya tampil di Istana Negara pekan lalu. Elan menerima Hadiah Kalpataru, penghargaan presiden bagi penjaga kelestarian lingkungan.
Elan bersama 11 orang lain dari pelbagai daerah menerima penghargaan yang sudah digelar sejak 1980 itu. Ada empat kategori: Perintis Lingkungan, Pengabdi Lingkungan, Penyelamat Lingkungan, Pembina Lingkungan, dengan masing-masing tiga pemenang. Untuk kategori Perintis Lingkungan, Elan berada pada peringkat satu, disusul Amandus Kaize dari Merauke, Papua, dan Slamet Tugiyanto dari Magelang, Jawa Tengah.
Ya, di penghujung 1966, Elan yang lulusan Sekolah Seminari Hokeng di Flores Timur membuka sekolah menengah pertama. Dari gereja setempat, ia mendapat tanah enam hektare. Jangan bayangkan tanah penuh pepohonan. Ini adalah padang tandus berkapur. Debu selalu mengganggu k egiatan di kelas karena jendela tak berkaca. Walhasil, alih-alih menangkap materi pelajaran, tak sedikit murid yang terkena gangguan pernapasan.
Apa artinya sekolah jika lingkungan tak mendukung? Ini yang dipikirkan pria kelahiran Lembata, 24 Agustus 1944 ini. Menanam pohon adalah satu-satunya cara mengurangi debu. Tapi, lahan kering tak bisa langsung ditanami tumbuhan keras. Ia memulai dengan lamtoro dengan sistem terasering. ”Lamtoro mudah tumbuh di lahan kritis,” katanya kepada Tempo pekan lalu.
Setiap hari guru muda itu menanam lamtoro. Hasilnya, setelah tiga tahun, lamtoro tumbuh subur. Tanah pun mulai bisa ditanami tumbuhan keras. ”Yang terpenting sekolah bebas dari debu,” ucapnya.
Gereja menganggap Elan sukses mengelola sekolah. Maka, pada 1968 ia disekolahkan ke Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Setelah meraih gelar Sarjana Muda Bahasa Inggris pada 1971, Elan kembali ke Sumba Timur. Kali ini ia menjadi guru bantu di SMA Andaluri. Sama seperti yang ia lakukan di sekolah sebelumnya, kawasan yang semula tandus di sekitar Andaluri kini menjadi rimbun oleh pepohonan.
Pada 1986, barulah Elan memiliki sekolah sendiri. Ia mendapat bantuan dari Yayasan Kasimo. Di atas tanah seluas 14 hektare di Sumba Barat, suami Theresia ini tak hanya menyuburkan lahan dengan pohon lamtoro, tapi juga menanam tumbuhan bernilai ekonomis seperti jambu mete, mangga, mahoni, jati. dan kutulak. Sekolahnya dia jadikan pusat pembibitan. Hasil pembibitan dibagikan kepada masyarakat sekitar.
Dari sekolah, ayah dua anak ini mulai mengajak warga ikut menanam pohon. ”Saya tekankan pada mereka bahwa pohon yang ditanam akan menjadi tabungan untuk biaya kuliah anak-anak kelak,” katanya. Dengan menganjurkan menanam tumbuhan-tumbuhan yang cepat panen, berarti warga bisa membayar sekolah anak-anak mereka. ”Jadi, berdayakan masyarakat. Kita akan mendapat imbal baliknya,” ucapnya.
Kerja keras Elan mendapat perhatian lembaga donor asing, antara lain Australian Agency for International Development (Ausaid) dan Christian Children’s Fund (CCF) dari Amerika Serikat. Dari CCF, Elan mendapat bantuan Rp 500 juta per tahun. ”Meski kami lembaga donor untuk anak-anak, kami tahu bahwa kegiatan Pak Elan membantu perkembangan anak-anak,” kata Yusastro, Kepala Area CCF di NTT.
Sedangkan Ausaid membantu proyek pembuatan kolam-kolam penampungan air hujan untuk setiap tiga sampai empat kepala keluarga. Kolam berukuran 3 x 4 x 2 meter itu tak hanya memenuhi kebutuhan dasar warga, tapi juga untuk menyiram tanaman. Hasilnya, saat ini sudah lebih dari 1.500 hektare lahan yang dihijaukan. Lahan seluas itu dikelola oleh 53 kelompok pelestari lingkungan yang ia bina sendiri sejak 20 tahun silam.
Jika kini Elan dan warga tinggal menikmati hasil jerih payah mereka, tidak demikian halnya ketika kerja keras ini dimulai. Dia harus memulai sendiri untuk memberi contoh kepada warga. ”Ketika saya ajak, warga tak berminat. Mereka lebih suka beternak,” katanya. Setelah tanah di sekitar sekolahnya teduh, dan tanaman bisa menghasilkan uang, barulah warga mulai tertarik mengikuti langkahnya.
Tak cukup sampai di situ, Elan turun tangan sendiri mencangkul lahan. ”Kalau saya pegang cangkul, mereka akan sungkan,” katanya. Ia mengatakan, pesan yang selalu diberikannya pada warga adalah: ”Hewan ternak bisa mati kena penyakit dan umurnya singkat, tapi pohon bisa menjadi tabungan dan harga kayunya mahal.” Sekarang, kayu-kayu yang dihasilkan bisa membuat warga membiayai anak-anak mereka kuliah ke Jawa.
Kepeloporan dan kerja keras inilah yang membuat Kementerian Lingkungan Hidup menempatkan Elan pada peringkat satu penerima Hadiah Kalpataru untuk kategori Perintis Lingkungan. ”Memang tak mudah menanam pohon di Sumba. Kondisi sosial masyarakat di sana kurang mendukung,” kata Jonny Purba, anggota tim penilai.
Di usia senja, 63 tahun, Elan bertekad akan meneruskan pekerjaannya. ”Saya ingin meraih Nobel,” katanya. Ya, jika mendapat penghargaan bergengsi berhadiah Rp 10 miliar itu, ia tentu bisa melakukan lebih banyak hal di Sumba. Bandingkan dengan hadiah Rp 8 juta—itu pun belum termasuk potongan pajak 15 persen—yang ia peroleh dari Kalpataru, dan sebuah mobil pikap yang masih sebatas janji Menteri Kehutanan.
Adek Media
Para Pemenang
Kategori Penyelamat Lingkungan:Kelompok Tani Mandiri, Sleman, Yogyakarta
- Pengembangan hutan rakyat seluas 75 hektare dan kelompok tani dengan tanah garapan seluas 40 hektare.
- Penanaman 707 ribu pohon.
Kategori Pembina Lingkungan:Marthin Billa, Bupati Malinau, Kalimantan Timur
- Penetapan 90 persen (3,8 juta hektare) wilayah kabupaten sebagai kawasan konservasi.
- Penetapan hutan adat masyarakat Dayak Kenyah, seluas 5.300 hektare.
- Penyusunan kurikulum pendidikan lingkungan.
Kategori Perintis Lingkungan:Elan Wukak Victor, Sumba Barat, NTT
- Pengembangan kebun sekolah seluas 14 hektare.
- Penangkaran bibit tanaman produktif dan penghijauan (lamtoro, jati putih, jambu mete, mahoni, nimba, mangga, cendana, sawo) sebanyak 400 ribu pohon tiap tahun.
- Gerakan penghijauan berbasis masyarakat dengan membagikan 500 ribu bibit tanaman.
- Pengembangan kelompok pelestari lingkungan dengan lahan seluas 1500 hektare.
Kategori Pengabdi Lingkungan:Sudarno, Surabaya, Jawa Timur
- Mengolah sampah nonorganik menjadi bata merah.
- Meneliti penjernihan air lindi dengan lumpur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo