Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Suhu Bumi Terus Meningkat dalam Satu Abad, Ini Tandanya

Rata-rata suhu bumi meningkat dari 25,4 pada masa 1900, menjadi 26,2 derajat Celsius pada masa kini.

24 Juli 2024 | 03.54 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Sepanjang satu abad ini, suhu udara di Indonesia dilaporkan terus mengalami peningkatan. Rata-rata suhu meningkat dari 25,4 pada masa 1900, menjadi 26,2 derajat Celsius pada masa kini. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyebut fenomena ini sebagai dampak perubahan iklim secara global.

Peneliti Ahli Utama pada Pusat Riset Limonologi dan Sumber Daya Air BRIN, Irfan Budi Pramono, menyebut tren peningkatan suhu ini berjalan secara konstan atau sama sekali tak pernah menurun. “Justru kecenderungan suhu udara di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup signifikan," kata Irfan dalam sebuah agenda daring di BRIN pada Selasa, 23 Juli 2024.

Peningkatan suhu udara ini ditandai dari berkurangnya debit air pada sungai-sungai besar yang ada di Pulau Jawa. Irfan mendapati persediaan air di Sungai Ciujung, Cikapundung, Cimanuk, Citanduy, Bengawan Solo, hingga Brantas, sudah kian surut dari waktu ke waktu.

“Sehingga kita harus waspada bahwa air kita itu sudah semakin berkurang. Jika tidak diantisipasi, bagaimana mempertahankan air yang ada ini untuk masa depan nanti?"

Laporan Dana Anak-Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) sebelumnya juga pernah mengidentifikasi terjadinya pengurangan cadangan air dalam tanah akibat peningkatan suhu bumi. Diikuti dengan intensitas bencana hidrometeorologi.

Dampaknya adalah potensi kekeringan ekstrem lantaran persedian air dalam tanah terus berkurang. Ahli hidrologi itu memprediksi akan terjadinya krisis air bersih di masa depan. Tersebab peningkatan suhu acapkali dibarengi evapotranspirasi sehingga dapat mengurangi cadangan air tanah. Evapotranspirasi adalah gabungan evaporasi dan transpirasi tumbuhan yang hidup di permukaan bumi. Air yang diuapkan oleh tanaman dilepas ke atmosfer.

Selain itu, perubahan iklim juga memperburuk ketahanan pangan imbas tidak menentunya pola hujan yang terjadi. Di satu sisi, juga dapat merembet ke fenomena bencana hidrometeorologi. “Bahkan dapat memicu migrasi massal dan meningkatkan konflik sosial serta politik," ujar alumnus doktoral Ilmu Lingkungan pada Universitas Sebelas Maret, Surakarta, tersebut.

Irfan merekomendasikan seluruh pihak bisa berkolaborasi bersama dalam menahan laju perubahan iklim dan peningkatan rata-rata suhu udara. Menurut dia, langkah dini yang bisa dilakukan adalah penyadaran untuk menjaga lingkungan. Termasuk melakukan reboisasi hutan dan di lahan-lahan yang gersang.

Wakil Kepala BRIN, Amarulla Octavian, mengungkapkan dampak perubahan iklim terhadap sumber daya air. Di antaranya krisis air bersih perkotaan, kerawanan pangan, meningkatnya frekuensi penyakit, perubahan pola curah hujan, dan kerawanan bencana. "Perubahan iklim juga meningkatkan suhu bumi, dampaknya akan kita rasakan secara langsung atau tidak langsung," kata dia.

Amarulla memberi fokus pada peningkatan bencana hidrometeorologi. Seperti banjir, longsor, kekeringan, puting beliung, kebakaran hutan, dan gelombang pasang atau terjadinya abrasi. Dia berharap, para profesor riset di BRIN dapat memberikan kontribusi nyata dan secara aktif untuk mengembangkan ilmu pengetahuan di Indonesia sekaligus memberikan solusi akan permasalahan aktual yang tengah dihadapi. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus