Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Suhu Maksimum Ekstrem di Bandung Kembali Capai 35,6 Derajat Celcius

Suhu terpanas yang tergolong ekstrem di Bandung 35,6 derajat Celcius kembali terulang. Sebelumnya, ini pernah terjadi 8 Oktober lalu.

17 Oktober 2023 | 13.37 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Suhu maksimum atau terpanas yang tergolong ekstrem di Bandung yaitu 35,6 derajat Celcius kembali terulang, Senin 16 Oktober 2023. Temperatur serupa sebelumnya pernah terjadi pada 8 Oktober lalu. “Masyarakat diimbau untuk tidak panik,” kata Teguh Rahayu, Kepala Stasiun Geofisika Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika atau BMKG Bandung, Selasa 17 Oktober 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurutnya panas terik dan angin kencang pada siang hingga sore hari adalah kondisi cuaca yang lazim terjadi pada puncak kemarau. Masyarakat diminta mempersiapkan diri menghadapi kondisi cuaca seperti menggunakan tabir surya apabila sering berkegiatan di luar ruangan pada siang hari.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sementara musim hujan diperkirakan sekitar sebulan lagi. “Wilayah Bandung Raya diprediksi akan memasuki musim hujan pada dasarian II hingga dasarian III November 2023,” ujarnya. Puncak musim hujan di wilayah Bandung Raya diperkirakan akan terjadi pada Februari hingga Maret 2024 dengan sifat hujan normal hingga di bawah Normal. 

Beberapa hari belakangan ini, suhu maksimum di Bandung pada 11 Oktober 2023 yaitu 34,6 derajat Celcius. Kemudian 12 Oktober (32,5 ºC), lalu naik pada 13-14 Oktober (33,4 ºCelcius). Lalu pada 15 Oktober (33,2 ºC), dan 16 Oktober mencapai 35,6 derajat Celcius. 

Dibandingkan dengan suhu maksimum normal yang terukur di BMKG Bandung untuk bulan Oktober adalah 30,1 derajat Celcius, maka suhu udara ekstrim terjadi di Bandung selama lima hari. Waktunya menurut Rahayu pada 11, 13, 14, 15, dan 16 Oktober 2023. Penyebabnya yaitu pengaruh El Nino dan IOD positif yang membuat musim kemarau ini menjadi lebih kering dari kondisi klimatologisnya. 

Kondisi itu juga ditandai oleh kondisi awan yang relatif lebih sedikit dibanding kondisi perawanan normal klimatologisnya. Dengan demikian, kata Rahayu, maka permukaan bumi pada siang hari menjadi lebih panas, karena tidak ada penyerapan maupun proses pemantulan sinar gelombang pendek yang dipancarkan oleh matahari.

Kondisi panas di permukaan bumi menurutnya juga menyebabkan terjadinya perbedaan tekanan udara antara satu lokasi dengan lokasi lain sehingga meningkatkan kecepatan angin dengan skala lokal. Selain itu, kemunculan bibit siklon 99W di Laut Cina Selatan sebelah timur Vietnam ikut berdampak. “Membuat berkurangnya tutupan awan di Jawa Barat,” katanya.

Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus