Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

lingkungan

Tak Lagi Tebas Bakar

Yayasan Mitra Tani Mandiri mendapat penghargaan dari lembaga pembangunan PBB, UNDP, karena berhasil mengubah cara bertanam tebas bakar sekaligus meningkatkan pendapatan petani.

4 Oktober 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rumahnya di Desa Jak, Kecamatan Miomafo Timur, Timor Tengah Utara, beratapkan lem­bar­an seng yang awet, bukan alang-alang. Separuh dinding dibuat dari tembok, tidak hanya dari kayu. Pemilik rumah itu, petani 35 tahun bernama Basilus Kollo, juga bisa membanggakan sepeda motor Honda Supra X yang setiap saat siap mengantarkan jagung atau padi panenannya ke pasar.

Kehidupan Basilus sebelumnya jauh dari keadaan itu. Belasan tahun silam, ia hanya bisa memanen satu kuintal jagung dan 40 kilogram padi per tahun. Dengan jumlah ini, jangankan membeli Honda Supra X atau menembok separuh dinding rumah, ”Hasil itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dalam setahun,” katanya.

Hasil minim itu didapatkan dengan sistem tradisional tebas bakar. Beberapa tahun sekali ia dan tetangganya begitu saja meninggalkan lahan yang sudah tidak subur. Sebagai gantinya, mereka menebas hutan dan membakarnya untuk lahan baru yang masih subur.

Tapi kemudian ada Yayasan Mitra Tani Mandiri. Lembaga ini mengubah cara bertanam Basilus dari tebas bakar menjadi pertanian menetap. Sebanyak 5.000 dari total 9.000 petani di 40 desa, termasuk Basilus, mereka dampingi. Total lahan yang dikelola para petani itu mencapai 2.600 hektare.

Prestasi yayasan itu rupanya dilirik Equator Initiative, kegiatan yang dimotori lembaga pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa, UNDP. Dua pekan lalu, mereka memberikan penghargaan Equator Prize di New York, Amerika Serikat. Selain Yayasan Mitra Tani Mandiri, lembaga Indonesia yang mendapat penghargaan juga uang US$ 5.000 adalah Komunitas Nelayan Tomia di sekitar Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara.

Bukan hal gampang bagi Yayasan Mitra Tani Mandiri untuk mendapat pengakuan keberhasilan. Pemimpin Yayasan, Vincentius Nurak, 46 tahun, memulai organisasi dari nol. Saat itu, 1988, ia adalah insinyur pertanian yang bersama teman ku­liahnya suka menelusuri desa-desa Kecamatan Boawae, Kabupaten Ngada, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Tindakan ini tidak disukai keluarganya, yang ingin dia, seorang insinyur, menjadi pegawai negeri. ”Oleh keluarga, kami dianggap orang gila, karena kuliah sarjana tapi tinggal di desa tanpa penghasilan,” katanya.

Vincentius memimpikan para peta­ni mendapat penghasilan lebih bagus, dan lingkungan lebih terjaga, dengan pola wanatani—pola yang mencampur tanaman jangka panjang dengan jangka pendek. Ia lalu mendirikan lembaga pendamping petani, Yayasan Geomeno, pada 1988. Setelah mendapat sedikit modal, tiga tahun berikutnya mereka menyeberang ke Pulau Timor, bekerja di desa-desa yang kering dan tandus serta rawan pangan di Kabupaten Timor Tengah Utara.

Masalah pertama yang dihadapi Vincentius ternyata di luar dugaan: politik. Saat itu pemerintah Orde Baru berada di puncak kekuasaan dan menjelang pemilihan umum. Para petani curiga mereka akan mengajak ke partai oposisi. ”Petani menganggap kami orang PDI yang harus dihindari,” katanya.

Kesulitan itu membuat mereka hanya bisa membujuk dua keluarga mencoba meninggalkan tebas bakar. Tapi perlahan hasilnya mulai tampak dan sejumlah petani lain bergabung, termasuk Basilus. Petani ini mendengar keberhasilan program dari desa tetangga, Mahumean, pada 1995.

Basilus mulai menanam pohon jangka panjang, seperti jambu mete, di samping tanaman pertanian jangka pendek, seperti jagung, sayuran, atau padi. Hasilnya lumayan. Sekarang dalam setahun ia bisa mendapatkan Rp 2 juta dari pisang, Rp 1 juta dari sirih, Rp 3 juta dari jambu mete, dan Rp 6 juta dari sayuran. Itu di luar penghasilan dari 400 kilogram jagung dan padi 20 karung.

Petani lain, Yoventa Sa’u, 32 tahun, warga Desa Fatusene, Miomafo Timur, sebelumnya hanya mendapat Rp 250 ribu dari sayuran, Rp 500 ribu dari jeruk, serta tiga atau empat karung padi, yang hanya cukup untuk dimakan keluarga sendiri. Sekarang setahun ia bisa mendapatkan Rp 7,5 juta dari sayuran dan 10 karung padi.

Program Yayasan Geomeno, yang bersalin nama menjadi Yayasan Mitra Tani Mandiri pada 1997, mulai disambut dan bantuan mengalir dari pemerintah Amerika Serikat dan Australia serta beberapa lembaga nirlaba, seperti Veco dari Belgia atau organisasi Katolik CRS. Total bantuan yang mereka terima sampai saat ini mencapai US$ 1,8 juta atau sekitar Rp 16 miliar. ”Dengan bantuan dana itu, program ini menjadi lebih besar,” kata Vincentius. Sebagian dana juga dikucurkan untuk bantuan infrastruktur seperti membuat waduk penangkap air hujan, yang tidak sering datang di wilayah itu.

Meski hasilnya sudah positif, tidak semua petani menggunakan pola yang ditularkan Yayasan Mitra Tani Mandiri. Basilus, yang kini sering membantu Yayasan Mitra Tani Mandiri berbagi pengalaman dengan petani lain, masih belum mampu mengubah pandangan ayahnya sendiri. Ayahnya sampai sekarang masih menggunakan pola bertani tebas bakar.

Nur Khoiri, P. Yohanes Seo (Kupang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus