Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TANGKUY terlihat girang bila bertemu dengan manusia. Perilakunya sama sekali tak menunjukkan rasa takut atau curiga. Ia malah bertepuk tangan, berguling-guling di tanah, atau melompat ke sana-kemari seolah-olah ingin menunjukkan kegembiraannya. Tangkuy adalah orang utan yang cukup sehat dan berumur 12 tahun. Meski riang, hidup Tangkuy sebenarnya tak normal.
Selama bertahun-tahun Tangkuy tak pernah menghirup udara segar di hutan. Ia bahkan tak bisa memanjat pohon, membuat sarang, dan mencari makan sendiri. Yang bisa ia kerjakan adalah melakukan aksi akrobat atau berkelahi. Perilaku Tangkuy sudah mirip manusia. Sebab, selama ini ia memang dididik untuk berpolah seperti manusia.
Tangkuy dulu pemain sirkus. Ia, bersama 51 orang utan lainnya, diselundupkan dari Kalimantan ke Thailand. Di sana Tangkuy dibiasakan berakrobat dan bergulat. Orang utan lainnya dilatih menjadi pembawa papan ronde ketika Tangkuy naik ring. Bila tidak mengikuti perintah, mereka ditampar, dipukul, atau ditendang.
Trauma berkepanjangan itu berbekas hingga ia dipulangkan ke Indonesia. Agar bisa kembali hidup normal, Tangkuy dan puluhan orang utan lain disekolahkan di Pusat Reintroduksi Orangutan Nyaru Menteng milik Yayasan Borneo Orangutan Survival (BOS) di Desa Nyaru Menteng, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, yang terletak di hutan belantara.
Di sekolah ini Tangkuy dan kawan-kawan diajari hidup sebagai orang utan. Pengasuh satwa sesekali memancing mereka untuk memunculkan sifat liar dan kemampuan mengenali habitat baru di hutan. Ini bukan pekerjaan mudah karena hampir semua orang utan yang ditangani Yayasan BOS dulu adalah hewan peliharaan.
Anton Nurcahyo, manajer program rehabilitasi, mengatakan orang utan yang diselundupkan ke Thailand itu dikembalikan pada November 2006. Kementerian Kehutanan menunjuk Yayasan BOS untuk merawat 48 orang utan. Sisanya dipercayakan kepada Orangutan Foundation International (OFI), lembaga konservasi orang utan yang juga berbasis di Kalimantan Tengah.
Meliarkan kembali orang utan bukan perkara mudah. Birute Mary Galdikas, primatolog dan pendiri OFI, ingat betul saat kedatangan pertama empat orang utan ke pusat perawatan orang utan OFI di Pasir Panjang. "Semua berjalan dengan dua kaki, tak bisa memanjat pohon, dan takut air," katanya. Bahkan ada yang berjalan sambil mengangkat kedua tangannya karena terbiasa mengangkat papan ronde.
Keempat orang utan betina dan berusia remaja itu setiap hari dilepaskan ke hutan sembari didampingi pengasuh satwa. Tidak ada perlakuan khusus bagi mereka. Keempat orang utan itu bisa berkelana ke mana saja. Mereka juga dibebaskan belajar dari melihat orang utan lain yang sudah tiba lebih dulu.
Birute melihat kondisi empat orang utan itu mulai pulih. Semua sehat, tak ada yang "gila". Mereka sudah bisa memanjat pohon. Dua di antaranya malah bisa membikin sarang sendiri. Dua kemampuan itu sangat vital mengingat orang utan tergolong hewan arboreal, yang menghabiskan sebagian besar waktunya di kanopi hutan.
Anton menuturkan hal senada. Orang utan dikatakan normal jika telah mampu membuat sarang dan mencari makan sendiri. Mereka juga harus mengenali bahaya, seperti menghindari ular. Masalahnya, sulit bagi pengasuh untuk mengajarkan kemampuan dasar itu. Orang utan ini lebih senang bermain seperti saat masih menjadi pemain sirkus.
Kesulitan kembali menjadi hewan liar juga dialami Boni. Orang utan jantan berusia 17 tahun ini adalah penghuni tetap Wildlife Rescue Center (WRC) di Kulon Progo, Yogyakarta. Boni menjadi korban salah asuh. Sejak kecil ia diajari menyapu, mengepel lantai, hingga mencuci mobil. Ini berlangsung selama enam tahun hingga akhirnya Boni disita oleh petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam dan dititipkan ke WRC.
Proses rehabilitasi menjadi sulit karena Boni terus bertingkah bak manusia. Pernah suatu saat petugas konservasi di WRC meletakkan sejumlah ranting dedaunan ke dalam kandang Boni. Pada kondisi normal di hutan, orang utan liar biasa menggunakan dahan dan ranting untuk membuat sarang, lalu tidur di atasnya. "Tapi ranting itu dipakai untuk menyapu lantai kandang, baru kemudian ia tidur," ujar Heru Catur Nugroho, Sekretaris Yayasan Konservasi Alam Yogyakarta, lembaga yang menaungi WRC.
Sejak berdiri pada 2003—saat itu bernama Pusat Penyelamatan Satwa Jogjakarta—WRC telah merawat dan merehabilitasi sekitar 4.600 ekor satwa. Kini masih ada 150 ekor satwa yang tinggal di tempat ini, meliputi orang utan, siamang, owa, beruang madu, elang, nuri, kakatua, merak, kura-kura, buaya, dan musang. Ada juga satwa yang mati atau dipindahkan ke lembaga konservasi lain.
Semua satwa di WRC merupakan titipan BKSDA setelah mereka melakukan razia satwa yang diperdagangkan secara ilegal. Umumnya status hewan itu dilindungi atau langka. Ada pula satwa yang disita berdasarkan laporan masyarakat. Sisanya merupakan hasil penyerahan sukarela dari warga yang memeliharanya.
Sayangnya, tidak semua satwa di WRC dapat dilepasliarkan. Yang tua, berpenyakit, atau cacat harus dirawat seumur hidup di sana. Satwa yang gagal menjadi liar juga tertahan, seperti orang utan yang setelah direhabilitasi bertahun-tahun tapi tak bisa lepas dari kebiasaan merokok dan makan mi instan.
Kondisi habitat juga menjadi pertimbangan penting saat melepasliarkan satwa. Habitat asli satwa kini banyak berkurang. Heru mencontohkan orang utan yang sulit bertahan hidup saat dilepasliarkan karena banyak hutan yang berubah menjadi perkebunan kelapa sawit. "Kebun kelapa sawit tidak menyediakan makanan untuk orang utan," ucapnya.
Hutan, kata Birute, menjadi syarat utama ketika memulangkan orang utan. Masalahnya, kini sangat sulit memperoleh hutan yang luas, terlindung, serta banyak pohon dan buah. "Semua menjadi kebun kelapa sawit. Hutan hampir tak ada," ujarnya. Bahkan OFI mengurungkan niat melepas 50 dari 320 orang utan yang mereka rawat karena minimnya hutan di Kalimantan.
Yayasan BOS Nyaru Menteng juga bernasib apes. Belum lama ini mereka hanya bisa melepaskan 82 orang utan karena keterbatasan tempat. Padahal masih ada 569 orang utan di pusat perawatan, termasuk 48 orang utan yang dikembalikan dari Thailand. Meski begitu, proses rehabilitasi tetap terus berjalan meski tak mudah.
Di sekolah hutan, nasib Tangkuy masih menggantung. Peluangnya pulang ke rimba sangat bergantung pada perilakunya. Di kalangan pengasuh satwa, Tangkuy dikenal cukup pintar dibanding orang utan lain. Tapi tentu mustahil baginya menjelajahi kanopi hutan jika tingkah lakunya masih seperti pemain sirkus: melakukan aksi akrobat dan bergelut.
Mahardika Satria Hadi, Karana Wijaya (Palangkaraya), Pito Agustin Rudiana (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo