Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KHOIRUL Anam dari Dusun Klagen, Desa Tropodo, Kecamatan Krian, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, mengaku kini jeri mengkonsumsi telur ayam. Sebab, telur ayam buras milik bapaknya menjadi sampel laporan bertajuk “Sampah Plastik Meracuni Rantai Makanan Indonesia” yang ramai diberitakan media nasional dan mancanegara. Hasil penelitian International Pollutants Elimination Network (IPEN) yang dirilis 15 November lalu itu menyebutkan konsentrasi dioksin dalam telur Tropodo 80 kali nilai baku mutu. “Setelah tahu mengandung dioksin, jadi takut makan telur,” kata pria 47 tahun itu.
Telur ayam dalam penelitian IPEN, yang bekerja sama dengan mitranya di Indonesia, Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) dan Nexus Foundation for Environmental Health and Development (Nexus3 Foundation), menjadi indikator masuknya dioksin ke rantai makanan manusia. Dioksin alias senyawa kimia organik sangat beracun dan persisten itu berasal dari pabrik tahu di Tropodo yang menggunakan bahan bakar limbah plastik impor.
Khoirul, yang sempat mengelola pabrik tahu warisan bapaknya, mengatakan limbah plastik dipilih pengusaha karena jauh lebih murah ketimbang sekam atau kayu bakar. Sebagai gambaran, satu truk kayu bakar untuk pemakaian empat hari berbiaya Rp 1,5 juta, sementara ongkos satu truk limbah plastik impor hanya Rp 100 ribu. “Kalau pakai kayu, tidak bisa bersaing dengan pengusaha lain yang memakai plastik,” ucap Khoirul, yang akhirnya menutup pabrik tahunya pada 2002.
Direktur Eksekutif Ecoton, Prigi Arisandi, mengatakan penelitian itu bermula ketika ia mengumpulkan tiga butir telur dari Dusun Klagen dan tiga butir lain dari Dusun Kalitengah, Desa Bangun, Kecamatan Pungging, Kabupaten Mojokerto, pada 30 April lalu. Prigi membawa telur-telur yang telah ia rebus selama 15 menit itu ke Jenewa, Swiss, dalam rangka menghadiri Konferensi COP14 Konvensi Basel, 3 Mei lalu. “Saya serahkan telur itu ke peneliti Arnika, yang punya akses ke laboratorium State Veterinary Institute di Praha, Republik Cek,” tuturnya.
Menurut Prigi, hanya sedikit laboratorium di dunia yang bisa menguji dioksin dengan 14 parameter. “Di Indonesia belum ada laboratorium yang dapat menguji dioksin. Selain itu, biayanya sangat mahal,” ujar peraih Goldman Environmental Prize 2011 tersebut. “Biaya uji satu telur dengan 14 parameter itu sekitar US$ 2.500.”
Dari hasil pengukuran laboratorium, Prigi menjelaskan, konsentrasi dioksin atau polychlorinated dibenzo-p-dioxin (PCDD) dan furan atau polychlorinated dibenzofuran (PCDF) dalam telur ayam Tropodo mencapai 200 pikogram per gram lemak. Angka itu tertinggi kedua di Asia. “Hanya terpaut 48 pikogram dari telur ayam dari Bien Hoa, Vietnam,” kata Prigi. Bien Hoa adalah situs bekas pangkalan udara Amerika Serikat yang tanahnya tercemar Agent Orange atau herbisida yang menjadi senjata kimia.
Padahal, Prigi melanjutkan, Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 8 Tahun 2018 tentang Batas Maksimum Cemaran Kimia dalam Pangan Olahan mengatur konsentrasi dioksin dalam telur olahan maksimal 2,5 pikogram per gram lemak. Baku mutu itu sama dengan standar Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan Uni Eropa. Adapun telur ayam asal Desa Bangun, yang terdapat tempat penimbunan sampah plastik, memiliki konsentrasi dioksin 10,8 pikogram per gram lemak.
Agus Haryono, peneliti kimia polimer Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, mengatakan pada umumnya dioksin dihasilkan secara tidak sengaja dari proses pembakaran limbah atau proses industri yang melibatkan senyawa halogen—senyawa dari unsur golongan VII pada tabel berkala. “Jenis dioksin yang diemisikan ke udara itu ratusan. Yang paling berbahaya tetrachlorodibenzo-p-dioxin (TCDD),” tutur Agus, yang menjabat Deputi Kepala LIPI Bidang Ilmu Pengetahuan Teknik.
Pekerja pabrik tahu di Desa Tropodo memasukkan limbah plastik impor sebagai bahan bakar pengganti kayu./Tempo/Nur Hadi
Menurut Agus, dioksin mencemari udara melalui asap yang ditimbulkan dari pembakaran plastik yang mengandung halogen atau wadah halogen, seperti klor, fluorin, bromin, iodin, dan astatin. “Jika terkena hujan, dioksin akan jatuh dan mencemari tanah. Puing pembakaran juga mengandung dioksin yang dapat mencemari tempat puing itu dibuang,” ujar anggota Persistent Organic Pollutants Review Committee—komite ilmiah yang mengevaluasi bahan kimia organik bersifat persisten—mewakili Asia-Pasifik tersebut.
Prigi menduga ayam-ayam yang hidup di kandang terbuka berukuran 3 x 10 meter di belakang rumah ayah Khoirul, Karmawi, terpapar dioksin yang mengendap di lantai tanahnya. Menurut Khoirul, rumah bapaknya, yang berseberangan jalan dengan rumahnya, hanya berjarak 50 meter dari pabrik tahu yang membakar plastik. “Bapak memelihara ayam sejak saya kecil. Telur dan dagingnya dimakan sendiri,” ucap pegawai Kantor Urusan Agama Krian itu.
Penelitian Prigi hanya menguji dioksin dalam telur dan tidak memeriksa di lingkungan ataupun makhluk hidup. Namun, dia menambahkan, saat ini tengah dilakukan survei kesehatan terhadap warga Tropodo dan desa tetangganya, Sedenganmijen. “Kami menemukan penyakit yang paling banyak diderita di Tropodo dan perumahan Griya Krian Residence di Sedenganmijen adalah asma kronis, sesak napas, jantung, tumor otak, dan flek paru-paru,” tutur Prigi.
Data kesehatan yang diperoleh Ecoton menunjukkan adanya kemiripan. Menurut data itu, sepanjang 2019, sepuluh penyakit yang paling banyak dikeluhkan warga Tropodo adalah nyeri otot (myalgia), hipertensi, diabetes, infeksi saluran pernapasan akut, peradangan dinding lambung (gastritis), sakit kepala (cephalgia), diare, sakit gigi, asma, dan peradangan kulit (dermatitis).
Pabrik tahu di Dusun Klagen, Desa Tropodo, 22 November 2019./Ecoton/Prigi Arisandi
Penelusuran Tempo di Tropodo dan Se-denganmijen menemukan penduduk yang menderita penyakit terkait dengan kualitas udara buruk di kampung yang terkepung sekitar 40 pabrik tahu itu. Susi, 48 tahun, penduduk asli Klagen, merasa terganggu oleh asap hitam yang selama 12 jam per hari keluar dari cerobong asap pabrik tahu. “Tak terhitung anak kecil yang sakit karena udara kotor ini,” kata Susi.
Oktarini, 48 tahun, yang tinggal di perumahan Griya Krian Residence, juga mengeluhkan asap yang membuat anaknya yang berumur 10 tahun harus bolak-balik ke rumah sakit karena asma yang kambuh. “Kata dokter yang mendiagnosis, asap dan debu dari pabrik tahu yang memperburuk asma akut anak saya,” ujar Oktarini, yang pindah dari Surabaya pada 2013.
Menurut guru besar bidang pencemaran lingkungan di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, I Made Djaja, dioksin berbahaya bagi manusia karena mengganggu metabolisme di dalam tubuh, seperti produksi dan penyebaran hormon, pertumbuhan, imunitas, dan proses modifikasi enzim. “Terpapar dioksin dengan konsentrasi di atas baku mutu secara kronis dapat menyebabkan kanker, bayi lahir cacat, dan gangguan kesuburan,” ucapnya.
Dia menambahkan, jika hanya menguji telur, akan sulit menyimpulkan manusia telah keracunan dioksin. “Pasien yang mengkonsumsi telur atau ayam itu harus diperiksa darah dan urinenya, apakah mengandung dioksin dalam konsentrasi di atas baku mutu,” kata Made Djaja, yang pada 1980-1990-an meneliti emisi dioksin dan furan pada pabrik petrokimia, bubur kertas, serta insinerator sampah rumah sakit di Jakarta.
Menurut Made Djaja, terlalu dini untuk mengatakan dioksin telah masuk ke rantai makanan karena yang diperiksa baru telur ayam dengan sampel yang sangat sedikit. “Harus dilakukan penelitian tentang jalur rantai makan dioksin. Periksa kadar dioksin di udara, di pakan ternak, di dalam lemak dan daging ayam, serta di darah dan urine manusia,” ujarnya. Bagi dia, penelitian IPEN itu baru menyatakan konsentrasi dioksin dalam telur ayam Tropodo di atas baku mutu.
DODY HIDAYAT, NUR HADI (SIDOARJO)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo