Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SORE itu Murti bersemangat mandi. Gerah udara Surabaya memang masih sangat terasa. Ketika sibuk menggosok tubuhnya dengan sabun, mata Murti sempat menangkap beberapa benda kecil kemerahan berkelebat meluncur bersama air dari kran leding. Murti curiga. Diperhatikannya benda-benda kecil yang sedang melayang dalam air di bak mandinya itu. "Iihh, ternyata segerombolan cacing," tutur gadis berkulit langsat ini. Sejenak dia tertegun. Lalu disambarnya handuk untuk mengelap tubuhnya yang berbelepotan sabun. Mandinya yang baru "setengah matang" itu disudahinya. "Habis, jijik, sih," tutur mahasiswi yang tinggal di kawasan Darmawansa, Surabaya, itu. Cacing rupanya tak hanya bertamu di kamar mandi Murti. Dalam tiga pekan ini, cacing-cacing merah itu meneror warga Surabaya, di berbagai penjuru kota. Bak-bak mandi seolah kebanjiran cacing merah. Protes pun datang dari segala penjuru. Puncak aksi protes itu terjadi pekan lalu. Beberapa pelanggan datang ke kantor PDAM Surabaya di Jalan Basuki Rahmat. Mereka membawa botol-botol berisi cacing, umumnya berukuran 1-4 cm, yang ditemukan di bak mandinya. Gedung DPRD pun jadi sasaran pengaduan. "PDAM perlu memiliki penyaringan dan pengolahan air yang lebih baik," kata Dr. Fuad Amsyari M.P.H., yang bak mandinya juga kedatangan cacing-cacing itu. Ahli studi lingkungan Universitas Airlangga ini khawatir atas penyebaran cacing-cacing itu. "Jika cacingnya terbawa aliran air PDAM," kata Fuad, yang juga Ketua Walhi (Wahana Lingkungan Hidup) Surabaya, "bisa dipastikan telur-telurnya juga ikut terangkut." Memang belum ada kepastian tentang jenis cacing itu. Namun, dari sebuah sampel telah ditemukan cacing gelang. Tak tertutup kemungkinan, ada jenis lain, cacing tambang, misalnya. Mereka adalah cacing parasit, yang menggerogoti tubuh manusia yang dihuni. Jika jenis-jenis ini yang menyebar, "Akibat bagi kesehatan masyarakat bisa diramalkan bakal gawat," ujar Fuad Amsyari. Cacing memang menyebar hampir kesemua penjuru kota. Dari kawasan Ngagel atau Dinoyo di belahan selatan, Plemahan pusat kota, atau Darmawangsa dan Kertajaya di timur. Melihat penyebarannya, Fuad Amsyari punya dugaan kuat bahwa cacing-cacing itu berasal dari bak-bak instalasi PDAM Surabaya di Ngagel, yang berkapasitas 3.000 liter per detik itu. Dugaan Fuad ini ditolak oleh Ir. Sonny Soenarsono, Kepala Lab Teknik Penyehatan ITS. Sonny, yang tergabung dalam tim peneliti cacing ini, menduga makhluk kecil itu memasuki saluran air minum melalui bocoran pipa. Cacing dan butiran tanah, menurut Sonny, memasuki sistem saluran air ketika pipa dalam keadaan kosong, karena giliran atau ada perbaikan pipa. Tanah di sekitar pipa bocor hampir selalu basah. Ketika saluran leding itu kosong, terjadi aliran yang sebaliknya: air mengalir ke saluran melalui lubang bocoran itu, yang mengangkut pula material tanah, mungkin juga cacing. Sonny mengesampingkan kemungkinan tandon air minum PDAM di Ngagel sebagai sumber cacing. Selain secara fisik telah dilakukan penyaringan, "Sisa-sisa klor, sebagai disinfektan, yang ada dalam bak itu cukup banyak jumlahnya," ujarnya. Cacing sulit bertahan hidup di situ. Direktur Utama PDAM Surabaya, Ir. Zaenuddin Djapri, sependapat dengan Sonny. Cacing-cacing yang berukuran beberapa senti itu tak bertolak dari bak penampungan PDAM. Sebelum didistribusikan, air PDAM itu harus melewati saringan-saringan halus. "Bisa dipastikan cacing-cacing itu masuk melalui pipa-pipa yang bocor," ujarnya. Kepala Kanwil Departemen Kesehatan Ja-Tim, dr. Harly Soeradi, S.K.M., mengakui bahwa air produksi PDAM Surabaya adalah "air bersih", tapi bukan "air sehat". Dengan mendidihkan air leding itu, katanya seperti dikutip Surabaya Post, segala bala yang terlarut di dalamnya akan sirna. Derajat pencemaran pada air leding itu, kata Harly, masih pada tingkat yang wajar. "Masyarakat tak usah cemas," ujarnya. Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup (KLH) Emil Salim pun memerlukan datang meninjau instalasi PDAM Surabaya, pekan lalu. Tim Emil memeriksa kolam-kolam air minum di Ngagel. Mereka tak menemukan gerombolan cacing itu. Emil menduga cacing masuk lewat pipa-pipa yang bocor. Menteri KLH ini mengharap agar masyarakat tak usah memberikan reaksi lebih keras, mengajukan tuntutan hukum, umpamanya. "Walaupun agak terganggu, toh kualitas air masih dalam batas yang aman," katanya. Cacing yang masuk ke saluran air minum pernah terjadi di Jakarta beberapa tahun lalu. Masuknya hewan kecil itu ke saluran, menurut Dirut PAM Jaya Gustav Panjaitan, melalui lubang-lubang pipa yang keropos karena usia. Maklum, sebagian saluran air minum Jakarta dibangun pada 1932 dan 1940. Kini, selain pemberian bahan kimia untuk mengendalikan mikroba dan cacing, instalasi air minum PAM Jaya dilengkapi dengan saringan halus dan berlapis. Sebelum didistribusikan, air dilewatkan pada saringan pasir yang satu meter tebalnya. "Tak mungkin cacing itu berasal dari instalas PAM," ujarnya. Gerombolan cacing itu memasuki pipa ketika air berhenti mengalir, pada saat listrik padam, misalnya. Namun, ketika air kembali mengalir, benda-benda itu tak punya jalan untuk memasuki pipa. "Tekanan air dalam pipa cukup besar, kotoran tak bisa masuk," tambah Gustav. Di Bandung pun cacing pernah bertamu melalui pipa-pipa tua yang keropos, seperti di daerah Bandung Utara. Di kawasan ini, air PAM tak 24 jam mengalir. Di saat pipa kosong itu, menurut Dirut PAM Bandung, Ir. Ibrahim Suryamiharja, cacing bergerak masuk. Begitu air kembali mengalir, cacing pun hanyut sampai bak mandi. Banyaknya pelanggan yang menempatkan pompa isap di mulut kran leding, untuk menyedot air lebih banyak, sebetulnya memperburuk keadaan. Isapan kuat dari pompa itu, "Bisa menarik kerak, kotoran-kotoran lain, juga cacing," ujar Zaenuddin Djapri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo